Mubadalah.id – Media sosial X saya penuh dengan kabar aspirasi rakyat baik dari kaum laki-laki atau perempuan yang semakin memuncak. Hampir setiap daerah, rakyat bersatu menyalurkan aspirasi-aspirasinya. Tak jarang, beberapa postingan memperlihatkan bagaimana rakyat yang terus ditindas oleh aparat kepolisian dan TNI.
Puncaknya, ketika Almarhum Mas Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring yang dengan sengaja dilindas oleh barracuda milik polisi, padahal beliau sedang menunaikan tugas dalam mencari nafkah. Untuk Mas Affan, Lahul Fatihah…
Dalam cuplikan yang lain, para penyuara aspirasi rakyat banyak yang datang dari kalangan masyarakat akar rumput dan masyarakat kelas bawah. Diantaranya para pengemudi ojek daring, kurir daring, pedagang kaki lima, warga, hingga mahasiswa.
Salah satu hal yang menyorot perhatian saya akhir-akhir ini dalam demo ialah bagaimana peran perempuan yang menjadi garda keselamatan sekaligus aktor dalam menyuarakan aspirasi rakyat. The Power of Emak-emak itu nyata.
Di Pati, Emak-Emak Berkenduri Menyiapkan Bekal Para Demonstran!
Saat terjadi demo besar-besaran di Pati, akibat Bupati Pati yang menantang rakyat membuat rakyat murka. Sehari sebelumnya, banyak kardus-kardus air mineral terttata rapi di depan gedung pemerintahan. Saat hari H, The Power of Emak-emak duduk membuat lingkaran besar dan berkumpul untuk menyiapkan logistik bagi para demonstran.
Logistik yang disiapkan adalah kue-kue basah dan kering yang dibungkus oleh plastik kecil seukuran telapak tangan. Kemudian “pasukan emak-emak” membagikan banyak bungkusan makanan dan camilan untuk diberikan kepada demonstran.
“Ibu-ibu atau para emak kompak guyub rukun ikut bantu bungkusin aneka jajan hasil donasi masyarakat pati,” tulis akun @patisakpore, pada unggahan video tersebut, pada Selasa (12/8/2025).
“Wes koyok wong ape nduwe gawe cah (sudah seperti orang mau punya hajatan)” tambah akun tersebut dalam keterangan video yang terunggah. Hal tersebut seperti menggambarkan suasana yang begitu ramai dan teratur, seakan-akan warga sedang menggelar sebuah hajatan besar.
Bahkan, ketika menulis ini sebetulnya saya menjadi terharu. Terbayang sosok perempuan yang mengingatkan pada “Peran Ibu” yang dengan tenaga seadanya tetap berusaha menyiapkan bekal untuk para anaknya, meski hanya dari bahan makanan yang sederhana.j
The Iconic Color of The 2025: Pink Vs Everybody
Beberapa hari kemudian, perjuangan rakyat dalam menyalurkan aspirasi semakin meluas dan mulai memanas. Para pejabat tetap menutup kuping dari aspirasi rakyat. Puncaknya, ketika para pejabat melecehkan aspirasi masyarakat yang menyulut kemarahan.
Bagaimana tidak marah, di saat masyarakat kesulitan akan ekonomi, para elit politik justru menikmati tunjangan-tunjangan yang sangat besar namun tidak mewakilkan aspirasi rakyat. Belum lagi, peristiwa pelindasan pengemudi ojek daring oleh mobil rantis membuat banyak masyarakat murka. Aparat yang seharusnya bertugas melindugi dan mengayomi justru menjadi garis terdepan melukai suara dan fisik para penyuara aspirasi.
Di tengah-tengah demonstrasi yang panas dan pelik, ada suatu pemandangan yang tak biasa. Seorang Ibu berhijab merah muda berhadapan langsung dengan aparat kepolisian sambil memegang bambu berikatkan bendera merah putih.
Beliau menjadi sorotan saat demo menolak kenaikan tunjangan DPRD di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (28/8/2025). Foto tersebut menjadi perbincangan hangat para warganet mengenai bagaimana satu orang perempuan berdiri tegap melawan oligarki.
Baru saya ketahui bahwa beliau adalah Ibu Ana. Dengan lantang beliau berteriak, “Di luar ini kelaparan, apa gajinya kurang DPR?”tepat di depan aparat yang berbaris dengan tameng dan seragam lengkap. Kalimat itu menggema, direkam kamera, lalu menyebar cepat di media sosial.
Banyak warganet yang menuliskan rasa kagum mereka. “Emak-emak epic banget,” tulis seorang pengguna Instagram. “Hidup perempuan yang melawan! Terima kasih, Bu,” komentar yang lain. Ada pula yang menuliskan, “Kalau semua rakyat seberani beliau, mungkin DPR tidak akan seenaknya.”
Perlu kita pahami, bahwa srikandi-srikandi masa kini tidak kalah “ganas” dengan para srikandi zaman pra dan pasca kemerdekaan. Aksi beliau tentu mengingatkan kita dengan tokoh-tokoh pahlawan nasional perempuan seperti Christina Martha Tiahahu dan Cut Nyak Dien. Karena Ibu Ana lah, warna merah muda menjadi warna pergerakan 2025!
Kalau Emak-Emak Sudah Turun ke Jalan, Berarti Negara Sedang Tidak Baik-Baik Saja!
Belum saja menanggung beban ganda, emak-emak di Indonesia juga sibuk untuk mengurus negara. Peran yang seharusnya dilakukan oleh para wakil rakyat justru harus diambil alih emak-emak. Bayangkan, dalam perannya mereka harus memenuhi kebutuhan keluarga, bekerja, memberikan pendidikan, memberikan kasih sayang kepada anak-anak, sekaligus ikut memikirkan arah bangsa.
Ketika suara emak-emak sudah pecah di jalanan, itu artinya ada yang sangat salah dengan para pemimpin negeri. Mereka tidak lagi bisa menutup mata. Karena yang bersuara sudah bukan lagi mahasiswa atau buruh. Tetapi, para ibu yang seharusnya negara lindungi dan berdayakan.
Negara seharusnya sudah harus berhati-hati jika emak-emak sudah turun di jalanan. Setelah negara gagal melindungi rakyat, kini negara juga tidak dapat menjamin keamanan dan keberlangsungan hidup para perempuan yang sering menjadi korban rentan. Negara tidak boleh meremehkan kekuatan emak-emak. Karena merekalah menjadi pihak yang paling merasakan langsung dampak dari kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Harga kebutuhan pokok yang melambung, biaya pendidikan yang semakin tinggi, kesehatan yang sulit dijangkau, semuanya kembali ke pundak para ibu. Maka, ketika mereka berteriak di jalan, mereka sedang menyuarakan jeritan dari ruang dapur,meja makan, dan kamar anak-anak yang harus tetap belajar meski besok tak tahu masih bisakah menyambung hidup atau tidak.
Negara perlu berbenah diri dalam menjalankan demokrasinya. Para perempuan dan anak-anak yang terutama menjadi korban yang paling rentan harusnya menjadi prioritas dalam setiap kebijakan. Jangan sampai negara hanya sibuk mengurus kursi kekuasaan, sementara rakyat kecil terutama perempuan dibiarkan menanggung beban sendirian.
Kalau emak-emak sudah turun ke jalanan, berarti demokrasi sedang gagal menjalankan fungsinya. Hidup perempuan yang melawan! []