“This no, this yes”, kawan kita menegaskan lagi sambil dengan senyum lebarnya (mungkin maksudnya: this no: dia tidak paham dengan bahasa Inggris yang diungkapkan Mujtaba, tetapi “this yes” : paham maksudnya
Mubadalah.id – Di Perguruan Abu Nur Damaskus Syria, antara 1989-1995, aku tinggal di Asrama. Biasa disebut al-Qism ad-Dakhili. Sebuah rumah Arab sederhana berisi sekitar 9 atau 10 kamar (lupa persisnya). Besar dan kecil.
Di antara yang besar, sekitar 7 X 12 bisa berisi 10 ranjang tingkat, dihuni 20 orang. Ada yang lebih besar lagi dan ada yang lebih kecil. Aku tinggal di kamar terkecil. Sekitar 4 X 6 meter: 3 ranjang tingkat: 6 penghuni.
Ada aku, orang Indonesia dari Medan, Amir seorang Afro-Amerika, Mujtaba dari Inggris keturunan Pakistan, satu dari Bosnia (lupa Namanya), satu lagi orang Arab (lupa juga namanya, tapi bermarga al-Hayek, sepertinya satu marga dengan bintang film Hollywood Salma Hayek?). Pernah juga ada orang white Amerika masuk, dipanggil Essa, bergantian dengan orang Arab itu.
Essa pindah ke Saudi Arabia dan beberapa kali berkirim surat padaku pada awal perpindahan. Pernah di dalam surat yang dikirim melalui supir bus dari Jeddah ke Damaskus, tahun 1991, kalau tidak salah, berisi uang 100 USD (wawwww… aku kaget sekali saat itu, dan bahagia buanget).
Amir adalah orang yang pertama kali membelikan kaca mata minusku, tahun 1993 (sampai sekarang minusku tidak nambah dan tidak kurang, masih sama ukurannya sejak tahun itu. Kata banyak optik: aneh sekali. Entahlah). Yang paling berkesan, dan terlalu baik bagiku, adalah Mujtaba Ghiats dari Inggris (lihat catatan di bawah).
Kisah Mujtaba
Sekarang adalah kisah antara Mujtaba dan kawan dari Medan, Mujtaba datang ke Damaskus tanpa tahu sedikitpun Bahasa Arab. Benar-benar memulai dari nol. Sementara kawan Medan juga, saat itu, belum menguasai Bahasa Inggris sama sekali.
Antara keduanya, ketika di kamar, pada awal-awal perjumpaan hanya memakai bahasa isyarat. Mujtaba orang yang cukup serius, pakar biochemical, meninggalkan pekerjaannya di London dan datang ke Damaskus, karena ingin mendalami etika Islam terlebih dahulu. Sebagai bekal untuk meneruskan pekerjaanya. Kawan Medan orangnya sering melucu di depan kami.
Mujtaba menempati ranjang bawah. Kawan Medan di ranjang atasnya. Karena terbuat dari besi yang agak ringkih, tanpa tangga untuk naik turun, jika ada yang naik ke atas, atau ada gerakan yang di atas, ranjang bawah akan ikut berderit dan kadang sampai bergoyang. Sehat kadang bergerak-gerak di atas ranjang.
Ketika tiduran misalnya, kawan Medan kadang membolak-balik badanya. Atau duduk dan berdiri di atas ranjang. Semua ini membuat ranjang atas berderit dan sedikit menggoyang ranjang Mujtaba yang di bawahnya. Terkadang, kawan Medan ini duduk dengan kaki bergelantungan ke bawah. Sehingga ketika Mujtaba mau bangun dan keluar dari ranjangnya yang bawah: harus menepuk kaki kawan kita terlebih dahulu.
Mujtaba lalu berbicara dengan Bahasa Inggris kepadanya, yang aku juga gak paham. Dugaanku ya soal ranjang itu. Setelah selesai berbicara, Mujtaba mengakhiri: Do you understand?
“No ya akhiii”, jawab kawan Medan mantap sekali dan sambil tersenyum.
“Heeehhhh”, Mujtaba mengerang sambil menggerutu terlihat kesal. Juga berusaha melebarkan mulut, antara senyum atau kecut.
Ketika terjadi lagi, sepertinya Mujtaba mengulang kalimat yang sama dalam Bahasa Inggris, dengan suara yang lebih lantang dari sebelumnya. Dan berakhir dengan kalimat pamungkas:
“Do you understand? katanya, sambil gemreget kesal.
“No, ya akhi, no”, jawab kawan kita masih dengan senyum yang sama sambil memperlihatkan giginya tanpa dosa.
“Aaahhhhh…”, gerutu Mujtaba sambil memegang kepalanya. Kali ini, terlihat dia kesal sekali.
Mengambil Buku
Mujtaba mengambil buku tulisnya dan menggambar sebuah ranjang yang mirip. Lalu menjelaskanya kepada kawan kita, masih dengan Bahasa Inggris dengan nada yang amat tegas dan satu persatu kata dengan tempo sangat pelan, sambil membuat gerakan-gerakan dan juga gambar-gambar di kertas buku tersebut.
Kira-kira, yang dikatakan Mujtaba, dengan nada tegas, pelan, satu per-satu kata, adalah:
“You sit and sleep on top, please do not rock around too much, please do not sit with your legs dangling down, this all bothers me. I am uncomfortable, I cannot rest, and I cannot sleep”.
Lalu diakhiri dengan mantra utamanya:
“Ya akhi, now, do you understand?
Kawan kita mengambil kertas itu dan mengatakan: “This yes”.
Lalu, dilanjutkan dengan memperagakan jari-jarinya dengan mengatupkan dan membukanya, seperti gerak mulut berbicara, dan berkata: “This no”.
“This no, this yes”, kawan kita menegaskan lagi sambil dengan senyum lebarnya (mungkin maksudnya: this no: dia tidak paham dengan bahasa Inggris yang diungkapkan Mujtaba, tetapi “this yes” : paham maksudnya, melalui gambar kertas tersebut, untuk bisa tenang, pelan, dan hati hati bergerak di atas ranjang agar tidak mengganggu yang di bawah).
“Alhamdulillaaaaah”, ucap Mujtaba dengan penuh riang gembira.
Aku yang juga menempati ranjang atas mengamati mereka berdua tertawa, walau tidak terbahak-bahak. Aku mengamati kemarahan Mujtaba yang tertunda berkali-kali karena materi kemarahannya tidak dipahami. Tetapi dia mengulang lagi dan lagi, bahkan menggambar dan menjelaskannya dengan gerakan-gerakan.
“Mulia sekali hati orang ini”, pikirku dalam hati.
NB.
1. Nama anaku, Mujtaba Ghiats diambail dari nama temenku dari Inggris ini, karena kebaikan dan jasanya yang sangat besar padaku selama di Damaskus. Aku tidak punya kontaknya sama sekali, pernah cari-cari saat ke London tidak ketemu, aku dengar anaknya juga sekolah/kuliah di Damaskus, jika ada yang bertemu dengannya dan mengenalnya, salam dariku.
2. Di foto-foto bawah ini, ada gambarku di ranjangku yang atas, ada model kamar besar bersama kawan-kawan Indonesia, ada juga gambar bersama Amir, Mujtaba, Essa (silahkan tebak yang mana, he he hee), dan juga kawan Bosnia (sebelum negara ini pecah).
3. Aku membayangkan “This Yes this No” juga saat Cak Yai Imam Nakha’i bercerita tentang keberangkatanya sendirian ke Swiss he he hee.