Bulan November tahun lalu saya diminta oleh Dr. Nur Rofiah untuk menjadi asistennya. Kebetulan beliau sedang menjadi konsultan roadmap Sunat Perempuan atau P2GP (perlukaan atau pemotongan genitalia perempuan). Dari sanalah saya mengetahui sedikit banyak terkait sunat perempuan.
Dua hari yang lalu saya mendapatkan link di grup yang memberitakan terkait sunat massal perempuan terbesar di Indonesia. Saya miris namun enggan mengklik. Malam ini ketika saya membuka twitter, link berita tersebut muncul kembali. Saya tidak bisa tidak mengklik dan hati saya sakit membacanya.
Masalah terkait sunat perempuan ini lumayan rumit. Tradisi keagamaan dan budaya menjadi hal yang paling mempengaruhi. Dalam workshop terkait sunat perempuan, salah satu bidan mengaku dia pernah melakukan medikalisasi sunat perempuan.
Hal tersebut ia lakukan atas ajaran dari bidan senior di tempatnya bekerja. Para bidan melakukan hal tersebut juga karena tuntutan masyarakat. Terdapat salah satu kasus masyarakat memberikan surat aduan ke walikotanya karena rumah sakit tertentu tidak mau mempraktikkan sunat perempuan.
Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi kesehatan lain sebenarnya sudah sepakat bahwa sunat perempuan atau P2GP itu berbahaya. Dalam perkuliahan mereka tidak pernah sekalipun diajarkan standar operasional prosedur (SOP) sunat perempuan, namun lagi-lagi kondisi masyarakat memaksa mereka harus melaksanakannya.
Jika tenaga kesehatan tidak melakukan maka masyarakat akan melakukannya sendiri. Mereka bisa meminta kepada dukun sekitar untuk menyunat anak perempuan mereka. Hal tersebut dikhawatirkan membuat kondisi lebih parah, karena dukun tidak memiliki sama sekali pengetahuan terkait vagina perempuan sehingga yang dipotong bisa lebih besar dan lebih membahayakan.
Budaya dan Agama
Hal yang paling mempengaruhi mengapa masih dilakukan sunat perempuan adalah agama dan budaya. Banyak masyarakat di Indonesia melakukan sunat perempuan dengan alasan agama. Penelitian dari PUSKA Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia (2016) menyatakan bahwa 96% orang tua menyunat anak perempuannya karena dianjurkan oleh agama, sedangkan 94,3% karena budaya dan adat mereka juga menganjurkan hal yang sama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah memberikan fatwa tentang hukum pelarangan sunat perempuan. Dalam hal tersebut MUI melarang jika pelarangan khitan perempuan. Walaupun poin dari pelarangan tersebut adalah perlindungan terhadap hak anak, yaitu perlindungan dari dampak negatif yang ditimbulkan akibat tindakan berlebihan dalam berkhitan (Soleh, 2012)
Menurut Soleh, fatwa MUI terkait khitan perempuan sebenarnya memiliki beberapa dimensi. Salah satunya adalah penegasan akan pentingnya regulasi dan sosialisasi akan praktik khitan perempuan yang berasaskan syar’i dan aman secara medis.
Kesehatan
Pada praktiknya, kesehatan perempuan begitu rentan ketika dilakukan sunat. Vagina perempuan sudah sempurna bahkan jika diambil sedikit dapat berbahaya karena memiliki fungsi yang bermacam-macam. Dr. Ekarini menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 fungsi dari vagina perempuan, yaitu fungsi kopulasi, jalan lahir anak dan fungsi haid.
Sementara, jika dilakukan sunat dapat memiliki efek samping berupa disfungsi seksual, komplikasi pada kehamilan dan terutama persalinan, dispareni, nyeri panggul kronis, dan perubahan kepercayaan diri. Resiko lain yang mungkin juga terjadi adalah persalinan lebih sulit 3 kali lipat, perdarahan obstetrik 2 kali lipat dan memungkinkan terjadinya kematian perinatal. Perempuan dengan sunat perempuan juga memiliki kualitas kehidupan seks yang lebih rendah. Sehingga, sunat perempuan tidak memiliki manfaat sama sekali secara medis.
Fatwa Progresif terkait Sunat Perempuan
Sudah terdapat kitab terkait sunat perempuan berjudul “Khitanul Inats laysa min sya’airil Islam” yang memiliki arti bahwa sunat perempuan bukan syariat Islam karya Mahmud Hamdi Zamzuq. Mengutip dari tulisan KH.Husein Muhammad, disebutkan disana bahwa Sayed Thanthawi, Syeikh al-Azhar menyatakan bahwa “Khitan perempuan tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadist Nabi.”
Puncaknya adalah ketika terdapat kematian anak perempuan, Budur Ahmad Syakir setelah dikhitan oleh seorang dokter. Ketua Dewan Fatwa Mesir, Dr. Ali Gom’ah kemudian menyatakan bahwa khitan perempuan adalah haram.
Kesimpulan
Dari semua kalangan, baik yang mengharamkan atau memberi larangan pengharaman menuju jalan yang satu yaitu tidak boleh menyakiti apalagi menimbulkan mafsadat bagi perempuan. Tubuh kita adalah amanah dari Allah untuk dijaga dan tidak boleh dilukai. Alat kelamin juga harus dijaga untuk fungsi prokreasi dan rekreasi. Kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga tubuh perempuan agar sehat sejak dilahirkan hingga ia mati.[]