Mubadalah.id – Sesungguhnya syari’at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih) dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u al-mafasid).
Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-‘adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah).
Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.
Persoalannya, jika acuan hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk merumuskannya.
Untuk menjawabnya, perlu kiranya kita bedakan antara kemaslahatan yang bersifat individual subjektif dan kemashlahatan yang bersifat sosial-objektif.
Yang pertama adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang per-orang yang terpisah dengan kepentingan orang lain. Tentu saja sebagai penentu kemaslahatan pertama ini adalah yang bersangkutan itu sendiri, seperti dalam kasus poligami (perempuanlah penentu kemaslahatan dan keadilan).
Sedangkan jenis kemaslahatan kedua adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang memberikan penilaian adalah orang banyak juga melalui mekanisme syura‘ untuk mencapai konsensus (ijma‘).
Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita. Di sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan.
Al-Qur an mengatakan, urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan diputuskan) bersama di antara mereka sendiri.
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. al-Syura’ ayat 38). []