Setiap tangal 1 Mei selalu diperingati sebagai hari buruh Internasional, atau biasa disebut dengan may day. Pada peringatan ini biasanya para buruh akan turun ke jalan untuk melakukan aksi damai dan menyampaikan segala aspirasinya kepada pemerintah. Kecuali di tahun sekarang, saat ini masyarakat Indonesia tengah melakukan segala aktivitas di dalam rumah, guna memutus rantai penyebaran Covid-19. Sehingga, tidak ada aksi memperingati hari buruh internasional.
Walaupun Mei kali ini tidak ada aksi damai, kepedulian kita terhadap hak-hak para buruh harus tetap sama. Kita tahu, pada masa sulit karena pandemi Covid-19 ini banyak para buruh yang di PHK dan dirumah kan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Begitupun nasib buruh tani perempuan yang dari dulu sampai sekarang, ya gitu-gitu aja. Mereka banyak yang mendapatkan upah tidak sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukannya. Seperti hal yang terjadi di kampung halaman saya, yaitu di salah satu daerah Kabupaten Garut.
Di sana, mayoritas masyarakatnya memang menjadi petani, baik petani sayuran, padi, teh dan tanaman kebun lainnya. Para petani yang mempunyai lahan yang cukup luas, biasanya mereka akan menyewa buruh laki-laki dan perempuan untuk membantu mengurus lahannya tersebut.
Seperti halnya di Desa Pancasura, ada beberapa warga yang mempunyai sawah yang cukup luas, sehingga dalam mengurus dan mengelola sawah tersebut, mereka harus mempekerjakan beberapa buruh tani. Pekerjaan yang dilakukan pun beragam, mulai dari mencangkul, membajak sawah dengan menggunakan kerbau, menanam padi, membersihkan, memberi pupuk dan memanen padi.
Tentu pekerjaan-pekerjaan tersebut, tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, tetapi juga banyak dilakukan oleh pekerja perempuan. Namun, perempuan hanya akan dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, seperti menanam padi, membersihkan, memberi pupuk dan memanen padi. Sehingga, jarang ditemukan perempuan yang bekerja sebagai pencangkul, apalagi membajak sawah menggunakan kerbau.
Alasannya cukup sederhana, hanya karena mereka berjenis kelamin perempuan dan anggapan masyarakat umum, tenaga perempuan tidak sekuat tenaga laki-laki, dengan begitu mencangkul atau membajak sawah, hanya akan dikerjakan oleh laki-laki.
Padahal, saya sering loh, menemukan beberapa perempuan yang mencangkul dan membajak sawahnya sendiri, dan hasil karyanya tidak jauh berbeda dengan hasil pekerjaan laki-laki. Mengapa saya mempersoalkan hal tersebut? Karena pekerjaan mencangkul dan menanam padi, akan berpengaruh terhadap upah yang didapatkan oleh setiap pekerjanya.
Beberapa hari yang lalu, saya mencoba ngobrol ngalor ngidul dengan beberapa buruh tani perempuan di kampung, termasuk soal upah buruh tani. Ternyata, persoalan upah ini cukup membuat lara ati. Gimana nggak gitu. Hal ini, lebih sakit dibandingkan ditinggal gebetan pas lagi baper-bapernya. Rasanya Ambyar buanget.
Menurut penuturan salah satu pekerja perempuan, waktu yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan untuk bekerja di sawah relatif sama, yaitu mulai dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang dan tenaga yang dikeluarkan juga sama beratnya, malah justru mungkin lebih berat.
Sebab, jika laki-laki hanya mencangkul saja, perempuan justru mempunyai dua pekerjaan sekaligus yaitu babut (mengambil benih padi dari lahan) kemudian menanam padi di sawah yang sudah dibajak. Tetapi, hak berupa upah yang didapatkan laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Buruh perempuan perhari akan diberi upah senilai dua puluh lima ribu rupiah, sedangkan laki-laki akan dibayar tiga puluh ribu rupiah perhari.
Dalam pola biaya makan, buruh laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Selain makan, laki-laki biasanya akan diberi rokok, kopi dan cemilan lainnya. Sedangkan perempuan hanya akan diberi makan dan jajanan warung saja, itu pun kadang-kadang.
Hal ini jelas tidak adil, waktu dan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh tani laki-laki dan perempuan sama. Tetapi, hak yang diperolehnya sangat berbeda. Padahal, upah itu adalah hak semua pekerja, baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan. Dan upah yang diberikan oleh majikan juga harus sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukannya.
Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan “Berikan segera upah pekerja sebelum keringatnya kering” (al Jami; al Shaghir,1/76).
Tentu tujuan dari pernyataan hadis tersebut ialah para majikan dituntut untuk menyegerakan membayar upah setiap pekerjanya.sebab itu merupakan hak pekerja. Serta, point pentingnya ialah tidak boleh ada perbedaan upah karena alasan perbedaan jenis kelamin.
Dengan begitu, perempuan ataupun laki-laki harus diberi upah yang sama dalam setiap pekerjaan yang sama-sama telah dilakukannya.
Dalam hal ini Allah SWT juga telah memberikan tuntunan dalam al-Qur’an. seperti yang tergambar dalam Surat an-Nahl ayat 97 yang artinya ” Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Jadi, ayolah, perempuan ataupun laki-laki jika sama-sama bekerja, ya harus mendapatkan upah yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah dilakukannya. jangan lagi ada dusta perbedaan di antara buruh perempuan dan laki-laki. karena kalau masih begitu, fix, situ nganu-nya kebangetan.
Terakhir, saya mengucapkan selamat hari buruh Internasional, bagi semua buruh di dunia, termasuk buruh perempuan. Tetap semangat dan terus berjuang. Semoga nasib buruh akan sejahtera dan bahagia.[]