Hari Perempuan Internasional telah menjadi hari besar yang diperingati dan dirayakan dalam lintas negara dan bangsa. Selama beberapa dekade, International Women’s Day (IWD) telah tumbuh semakin kokoh tiap tahunnya.
Selama beberapa tahun, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menggelar konferensi untuk mengkoordinasi upaya-upaya internasional untuk memperbaiki hak-hak perempuan dan partisipasi dalam proses sosial, politik maupun proses ekonomi.
Pada tahun 1975, PBB menetapkan “Tahun Perempuan Internasional”. Organisasi-organisasi perempuan dan pemerintah di seluruh dunia juga merayakan IWD setiap tahunnya, pada tanggal 8 Maret dengan menggelar acara. Baik dalam skala besar maupun kecil.
Acara itu untuk menghormati peran dan prestasi perempuan. Secara bersamaan, tetap juga mengingatkan untuk terus waspada dan meneruskan aksi bahwa menjamin kesetaraan perempuan adalah kemenangan dan tugas yang harus terus dipelihara dalam segala aspek kehidupan.
Dengan semangat itu, Women’s March Indramayu pada Sabtu 2 Maret 2019 menggelar diskusi film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Bertempat di Red Truck Caffe. Saya sendiri, diminta oleh kawan-kawan Wadon Dermayu (Perempuan Indramayu) yang tergabung dalam kelompok Women’s March, untuk menemani proses diskusi itu, bersanding dengan Dewi Nurmalasari, Anggota KPU Kabupaten Indramayu.
Kegiatan seperti ini, berdiskusi dengan mengumpulkan beberapa simpul perempuan, dan bicara tentang perempuan, baru pada momentum Womens March tahun sekarang di Indramayu. Karena biasanya hanya terpusat di kota-kota besar.
Saya menyambut baik semangat dan gerakan kawan-kawan, terutama yang diinisiasi Tiana Jeanita bersama komunitas Mangga berliterasi. Selain menumbuhkan kepercayaan diri perempuan untuk bisa melakukan sesuatu, juga memacu mereka agar lebih berani bersuara.
Dalam proses diskusi itu, saya menangkap kegelisahan para perempuan Indramayu, yang masih terbelenggu budaya patriarkhi, sehingga mereka merasa tak mampu mengembangkan sayap potensi diri, hingga memilih diam tak melakukan apa-apa.
Pertanyaan ini disampaikan Cici, aktivis muda dari Tukdana Indramayu. Seperti pulang lewat sore, atau sudah selepas maghrib. Masyarakat masih melihat jika perempuan yang sering pulang malam itu dianggap tidak baik, dan cenderung liar. Sementara kegiatan organisasi dan aktivitas pengembangan diri lainnya, kadang seringkali sampai lewat malam.
Memang perempuan harus bekerja dua kali lipat dari laki-laki, agar bisa dipercaya dalam hal apa saja. seperti pembuktian kalau perempuan yang sering pulang malam tidak semuanya negatif, tetapi ada sisi positif yang juga dilakukan. Semisal bekerja, dan melembur hingga melewati jam kantor.
Sedangkan pertanyaan berikutnya dari Gema, aktivis pers kampus dari LPM Fatsoen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, yang mengatakan bagaimana caranya agar kesetaraan laki-laki dan perempuan itu bisa menjadi kebiasaan, agar perempuan tak perlu lagi berteriak lantang untuk menuntut haknya.
Karena selama ini, masyarakat masih melihat jika gerakan kesetaraan gender dan feminisme itu membuat perempuan dianggap menjadi lebih berani melawan dominasi laki-laki. Sementara kultur masyarakat sendiri masih melihat bahwa peran laki-laki itu lebih baik dibandingkan perempuan.
Lalu pertanyaan kedua, masih dari Gema, bagaimana caranya agar perempuan berani mengatakan jika ia pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Sedangkan ketika peristiwa itu terjadi tidak ada saksi, dan ia juga merasa adalah aib yang tidak pantas untuk diumbar ke hadapan banyak orang.
Saya merespon beberapa pertanyaan itu, sebelum Dewi juga menjawabnya. Pertama, terkait streotype perempuan yang sering pulang malam. Perempuan harus membuktikan apa yang dilakukannya itu merupakan hal positif.
Maka sudah seharusnya pula perempuan merebut segala ruang yang memungkinkan untuk perempuan terlibat di dalamnya. Setelah itu membuktikan diri jika perempuan bisa dipercaya dan mampu melakukan apa saja yang menjadi tugas serta tanggung jawabnya.
Sementara terkait kesetaraan laki-laki dan perempuan, saya mengenalkan perspektif Mubadalah atau kesalingan, yang bicara relasi laki-laki perempuan dengan prinsip kemaslahatan atau kebaikan diantara keduanya. Sehingga tidak akan ada lagi tafsir misoginis pada ayat Alqur’an dan atau Hadits, yang selama ini dianggap menyudutkan perempuan.
Berikutnya untuk merespon persoalan pelecehan dan kekerasan, perempuan harus berani speak up, atau bersuara dengan apa yang pernah dialami. Dengan bercerita pada orang yang bisa dipercaya. Jika kadar trauma itu berat, maka harus melibatkan layanan konseling atau psikolog. Karena pengalaman perempuan bisa menjadi basis pengetahuan, yang bermanfaat bagi orang lain.
Jika perempuan tidak pernah bicara, orang lain tidak akan pernah tahu kalau apa yang sudah ia alami merupakan pelecehan dan kekerasan. Dengan begitu akan ada pembiaran, sehingga ketika itu terjadi maka pembiaran menjadi kebiasaan, dan menganggap seolah-olah pelecehan itu tak pernah ada.
Kemudian Dewi menambahkan bahwa pengalaman orang lain bisa menjadi pengetahuan untuk kita. Sama halnya dengan analogi racun. Jika orang lain mati karena meminumnya, kenapa kita harus minum racun yang sama hanya untuk membuktikan kebenaran.
Dewi berharap dengan kegiatan diskusi Women’s March seperti ini, para wadon dermayu (perempuan Indramayu), lebih berani untuk bersuara atas kegelisahan yang kerap kali mereka rasakan. Karena perubahan nasib perempuan yang cemerlang, harus di mulai dari diri sendiri, dari hal kecil, dan lakukan pada saat sekarang juga. Maka perempuan, mari bergerak suarakan suaramu pada Women’s March tahun 2019 ini.[]