Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang wali nikah, maka yang perlu kita pahami kata wali berasal dari bahasa arab berarti penolong atau pelindung atau penanggung jawab.
Salah satu tujuan keberadaannya adalah untuk memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi sang perempuan dalam urusan pernikahan ini. (Baca juga: 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup)
Dengan kata lain, keberadaan wali berguna untuk memastikan pihak perempuan memperoleh haknya dan pernikahan tersebut mendapatkan restui dan berkati.
Sedangkan dalam konteks akad nikah, keberadaan wali dari pihak perempuan merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas imam (pakar) fiqh (hukum Islam). (Baca juga: 5 Pilar Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah)
Pendapat pertama tadi yang mengadopsinya dari UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam untuk kemudian menjadi prosedur baku bagi setiap pasangan yang hendak menikah di wilayah Indonesia.
Oleh sebab itu, keberadaan wali dalam pernikahan merupakan pelindung bagi kepentingan dan kebaikan pihak perempuan.
Termasuk memastikan pihak perempuan mendapatkan haknya sebagai pihak yang terlamar serta sebagai “penyaring” kepantasan dan kualitas calon pengantin pria yang hendak melamar. (Baca juga: 3 Hal yang Perlu Ditegaskan Ketika Perempuan Aktif di Ruang Publik)
Terlepas dari kewenangan tersebut, wali tidak boleh untuk bertindak di luar batas kemaslahatan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. []