Mubadalah.id – Tren “we listen, and we don’t judge’, semakin popular belakangan ini. Berbagai video pendek yang mengikuti tren tersebut berseliweran kita temui di berbagai media sosial. Mulai dari pasangan, antar teman, bahkan orang tua dan anak, mencoba membuat video “we listen and we don’t judge”.
Pengakuan-pengakuan yang mereka ungkapkan ada yang terdengar lucu, ada pula yang mengagetkan. Nyaanya, setiap orang menyimpan rahasia yang mereka pendam sendiri. Bagi saya, tren “we listen and we don’t judge” ini barangkali membawa hal positif, salah satunya memberi kesempatan seseorang untuk lebih terbuka terhadap seseorang terdekatnya.
Frasa “we listen, and we don’t judge”, jika dibahasa Indonesia kan, kurang lebih akan bermakna “kami mendengarkan, dan kami tidak menghakimi”. Tren ini menjadi popular belakangan ini dan ramai diikuti pengguna media sosial.
Sederhananya, konsep “we listen, and we don’t judge” ini mendorong partisipannya untuk saling mendengarkan tanpa harus berkomentar dan menghakimi, sehingga kita harapkan sang partisipan dapat berbagi cerita dengan jujur tentang hal-hal yang selama ini dia pendam diam-diam. Entah itu keluh kesahnya terhadap seseorang, kesulitannya, pengalaman unik, ataupun hal-hal kecil yang akhirnya ia syukuri.
Ruang Aman
Seperti yang kita tahu, semakin ke sini rasanya semakin sedikit ruang aman untuk berbagi banyak hal. Muncul berbagai ketakutan dalam diri untuk menyampaikan sesuatu. Jangan-jangan akan dinilai begini, jangan-jangan akan dikomentari begitu.
Seringkali ternyata seseorang hanya perlu kita dengar cerita-cerita hidupnya. Tanpa perlu kita komentari, apalagi disalah-salahkan atas keputusan yang telah mereka buat. Beberapa mengikuti tren ini hanya untuk hiburan dan bersenang senang. Namun beberapa lagi memaknai dengan lebih dalam.
Belakangan ini semakin banyak kita jumpai keretakan hubungan sebab kurangnya keterbukaan dalam berkomunikasi. Padahal rasa saling percaya akan semakin erat ikatannya melalui komunikasi yang berlangsung hangat dan terbuka. Dengan adanya tren “we listen, and we don’ judge”, bisa menjadi kesempatan untuk lebih terbuka. Melepaskan beban emosional dan menghilangkan stigma terkait berbagi masalah pribadi.
Pada hakikatnya, kebutuhan akan rasa aman dan kebebasan bersuara merupakan hak asasi manusia yang menuntut untuk terpenuhi. Menurut hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan akan rasa aman masuk ke dalam tingkatan 5 kebutuhan dasar manusia yang perlu kita penuhi untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Demikian pula dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menjadi hukum dasar di Indonesia, menjamin pula tentang hak atas rasa aman. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Sisi Positif dan Negatif
Meskipun tren “we listen, and we don’t judge’’ ini membawa sisi positif, namun perlu kita ingat pula untuk tetap melakukannya dalam konteks yang aman dan penuh rasa hormat. Jangan sampai tren ini menjadi bumerang untuk diri sendiri maupun merugikan orang lain.
Setiap kebebasan yang kita miliki, tentu terbatasi oleh kebebasan milik orang lain. Sebagaimana HAM seseorang terbatasi oleh HAM orang lain, supaya manusia tidak serta merta melakukan segala sesuatu seenaknya. Jangan sampai tren ini kemudian menjadi sebab terbukanya aib diri sendiri atau tersebarnya aib dan keburukan orang lain. Di mana hal ini berujung mencemari nama baik pihak tertentu.
Jika sudah terlanjur demikian, maka tidak menutup kemungkinan kejadian tersebut menjadi awal mula berurusan dengan hukum. Karena pihak yang kita terlibat tidak terima dan menuntut. Jika kita menengok lebih jauh ke belakang, sebenarnya sudah ada tren lain yang bisa kita bilang seupa dengan tren “we listen, and we don’t judge”.
Pernah ada sebelumnya tren “Mbak Taylor, ………”, yang diikuti curhatan-curhatan pengakuan netizen, karena seringnya Taylor Swift, penyanyi asal Amerika Serikat ini dalam membuat lagu yang relate dengan kehidupan mereka. Demikian pula tren, “Gak bisa Yura,…….”
Kemudian berlanjut dengan curahan-curahan hati partisipan, karena Yura Yunita, penyanyi solo asal Indonesia ini pernah menyanyikan lagu Risalah Hati milik Dewa19. Jika kita renungkan, tren-tren tersebut sama-sama bisa menjadi kampanye keterbukaan dan kesempatan seseorang untuk melampiaskan perasaannya yang sudah lama terpendam. []