Mubadalah.id – Ramadan adalah bulan suci yang penuh kerahmatan. Yang selalu menjadi bulannya puncak ibadah bagi seorang muslim. Di mana setiap kegiatan yang kita lakukan terhitung sebagai pahala, bahkan dilipatgandakan. Setiap hari, ibadah puasa terjalani seperti air yang terus mengalir, laju dan tak terasa. Begitu pula dengan Ramadan kali ini. Tanpa terasa kita pun sudah akan memasuki 10 hari terakhir Ramadan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih Ibn Khuzaimah. Pada bulan Ramadan terdapat tiga fase yang masing-masing daripada fase tersebut memiliki keutamaan tersendiri.
“Adalah bulan Ramadan awalnya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan), dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Fase-fase tersebut terindikasi dalam 10 hari pertama, 10 hari kedua, serta 10 hari terakhir Ramadan. Sebagaimana yang paling umum, ibadah puasa berlangsung selama 30 hari maupun 29 hari. Tergantung munculnya hilal penentuan.
Malam Lailatul Qadar pada 10 Hari Terakhir Ramadan
Memasuki 10 hari terakhir Ramadan adalah sebuah kenikmatan untuk beribadah. Konon, malam lailatul qadar lebih sering terjadi pada malam-malam 10 hari terakhir Ramadan. Rasulullah Saw. bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Yang artinya: “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Lailatul qadar adalah malam seribu bulan, di mana malam lailatul qadar sangat dinantikan oleh kaum muslimin. Yang hanya bisa kita dapatkan hanya satu malam dalam setahun. Malam yang penuh keajaiban dan malam terbaik daripada malam-malam Ramadan lainnya.
Padahal, betapa Ramadan telah penuh dengan keampunan dan kerahmatan yang tiada tanding. Namun, lailatul qadar dipercaya memiliki sebuah keajaiban dan ketenangan tersendiri. Hingga membuat semua orang berlomba-lomba mendapatkannya. Khususnya pada malam 10 hari terakhir Ramadan.
Ibadah Para Pekerja Malam
Kendati demikian, bagaimana nasib kaum muslimin yang berprofesi sebagai pekerja, khususnya pekerja di malam hari. Apakah ibadah mereka tampak kurang di mata Allah Swt. karena lebih memilih bekerja daripada beribadah.
Apakah para pekerja malam ini, sama sekali tidak akan bertemu dengan berkahnya 10 hari terakhir Ramadan? Contoh saja, di tempat saya tinggal. Mata pencaharian masyarakat sekitar ialah sebagai seorang nelayan. Di mana baru mulai pergi menjaring ikan, saat sore hari hinggga pagi hari esok baru kembali. Apakah dengan beribadah seadanya, lantas tidak mendapatkan keberkahan 10 hari terakhir Ramadan?.
Dalam hal ini, saya tertarik untuk mengutip perkataan dari Gus Baha, ulama kharismatik asal Rembang:
“Hindari omongan seperti misalnya saat bulan Ramadan, ‘Rugi Ramadan setahun sekali kok nggak salat tarawih di masjid berjamaah’. Itu namanya tak menghargai perasaan orang. Di luar sana itu ada satpam, penjaga toko, tukang ojek, tukang parkir, dan banyak pekerja di malam hari yang mungkin menangis di dalam hatinya. Mereka juga ingin tarawih, tapi apa daya, mereka sedang bekerja. Tarawih itu sunnah, sementara mencari nafkah itu wajib. Menghindari diri dari kemiskinan secara ekonomi supaya tidak menjadi beban orang lain, itu hal yang paling utama.”
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa, janganlah kita merasa lebih unggul dari orang-orang yang secara kasat mata tidak tampak beribadah. Bahwasannya, Allah Swt itu Maha Adil dan Maha Mengetahui. Memang benar kita dianjurkan untuk beribadah lebih unggul pada 10 hari terakhir Ramadan.
Namun, jangan sampai ibadah kita tidak tampak di mata Allah Swt karena kita menganggap orang lain lebih rendah daripada kita yang sering beribadah. Karena sesungguhnya, merasa lebih baik daripada orang lain adalah salah satu sifat arogan, dan arogan bagian dari setan.
Semoga di 10 hari terakhir Ramadan ini, kita lebih berfokus pada diri sendiri. Memperbaiki diri, dan memperbanyak ibadah sesuai kemampuan masing-masing diri. []