Mubadalah.id – Di sebagian masyarakat kita, perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan merasakan kekerasan lebih parah, karena kebanyakan dari kita tidak memperikan pemihakan kepada korban. Sehingga pelaku bisa jeluasa dan lepas kendali untuk terus melakukan kekerasan, dengan tanpa rasa bersalah.
Bahkan, bisa berbalik menyalahkan korban. Perempuan yang menjadi korban pun, akan semakin sulit untuk memperoleh keadilan, baik di tingkat masyarakat maupuan di pengadilan.
Kebanyakan masyarakat berkeyakinan, masalah dalam keluarga adalah masalah internal keluarga masing-masing. Termasuk juga persoalan kekerasan di dalamnya. Keluarga pihak suami, atau pihak istri, bahkan perempuan korban itu sendiri, akan merasa malu jika aib keluarga terdengar sampai keluar rumah.
Karena itu, kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan akan tetap dibiarkan dan ia hanya diminta bersabar, tabah dan berdoa. Keadaan ini semakin menyulitkan perempuan untuk bisa lepas dari siklus kekerasan yang menimpa dirinya.
Ada banyak faktor sosial, yang melestarikan adanya KDRT dan menyulitkan korban memperoleh dukungan dan pendampingan dari masyarakat.
Pertama dan yang utama adalah adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan berempuan, baik di rumah tangga, maupun dalam kehidupan publik. Ketimpangan ini, yang memaksa perempuan dan laki-laki untuk mengambil peran-peran gender tertentu, yang pada akhirnya berujung pada perilaku kekerasan.
Di keluarga misalnya, kebanyakan masyarakat percaya bahwa suami adalah pemimpin bahkan penguasa keluarga. Istri diposisikan seperti milik penuh suami, yang berada pada kontrol dan pengawasannya. Sehingga apapun yang dilakukan istri, harus seizin dan sepengetahuan sumai.
Tidak sebaliknya. Ketika terjadi kesalahan sedikit saja dari istri dalam cara pandang sumai, istri harus berhadapan dengan pengawasan dan pengontrolan dari suami.
Suami merasa dituntut untuk mendidik istri dan mengembalikannya pada jalur yang benar, menurut cara pandang suami. Pengontrolan ini tidak sedikit, yang pada akhirnya menggunakan tindak kekerasan.
Ketergantungan Istri kepada Suami
Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh. Terutama untuk masalah ekonomi, yang membuat istri benar-benar berada di bawah kekuasaan suami. Posisi rentan ini sering menjadi pelampiasan bagi suami, ketika dia menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya berada di luar rumah tangga.
Banyak penelitian yang menunjukkan beberapa suami yang mengalami kekerasan atau pelecehan di tempat kerja, dia lalu melampiaskannya di rumah kepada istri atau anak-anak.
Suami akan menggunakan ketergantungan ekonomi istri, untuk mengancamnya jika tidak mengikuti apa yang ia inginkan dan memenuhi apa yang ia butuhkan. Seperti ancaman tidak memberi nafkah sampai ancaman perceraian.
Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cenderung abai. Seperti pada kasus Suyatmi. KDRT menjadi urusan internal dan hanya menyangkut pihak suami dan istri belaka.
Paling jauh, keluarga terdekat dari pihak suami maupun istri. Itupun masih sangat jarang. Masyarakat pasti akan bertindak jika melihat ada perempuan yang diserang orang tidak dikenal, tetapi jika yang menyerang adalah suaminya sendiri, justru mereka mendiamkannya.
Jika kekerasan suami ini terjadi di luar rumah, masyarakat hanya akan menasihati untuk dibawa ke dalam rumah saja. Ada catatan pendamping korban, yang menulis ungkapan seorang satpam: “Waktu satpam itu melerai suami yang memukuli istri di tempat parkir, ia mengatakan: “Istighfar pa. Sekarang bulan puasa. Kalau mau pukul istri di rumah saja, jangan di tempat umum seperti ini…..”. (Komnas Perempuan) []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir