Mubadalah.id – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu tindak kekerasan yang tidak pernah selesai. Setiap hari, kasus KDRT selalu ada di sebagian masyarakat kita.
Merujuk data Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menyebutkan angka KDRT di Kabupaten Bogor dalam rentan waktu Januari-November 2023 tercatat ada 85 laporan kasus KDRT. Angka ini meningkat jika dibandingkan data 2019 atau sejak Covid-19 sebesar 63 kasus.
Dalam laporannya, P2TP2A mencatat beberapa kasus yang dialami istri terdiri dari kekerasan verbal dan fisik, pelecehan, hingga kasus penelantaran.
Selain itu, P2TP2A mengungkapkan ada beberapa faktor terjadinya kasus KDRT. Beberapa faktor tersebut di antaranya, faktor ekonomi, perselingkuhan, hingga penelantaran anak. Adapun tempat terjadinya kasus KDRT terbanyak, berada di lingkungan rumah tangga dan sekitarnya.
Bagi saya rumah tangga menjadi salah satu tempat yang sangat rentan untuk terjadinya kekerasan seksual. Apalagi soal faktor ekonomi dan perselingkuhan, hal inilah yang jadi pemercik api kekerasan. Lalu setelah kekerasan itu muncul, maka yang akan menjadi korban belipat-lipat adalah sang anak.
Anak akan mengingat seluruh bentuk kekerasan apa yang dilakukan oleh ayah kepada ibunya. Bahkan memori ingatan ini akan membuat anak menjadi trauma sangat mendalam. Bisa jadi anak akan merasa sangat benci kepada ayah atau laki-laki.
Sehingga dalam kasus KDRT yang perlu kita perhatikan adalah kondisi anak dan perempuan (ibu). Karena sebagian besar pelaku KDRT adalah ayah (laki-laki).
Lima Langkah Pencegahan KDRT
Oleh sebab itu, apabila ada anak atau ibu yang menjadi korban kekerasan sebaiknya kita melakukan 5 langkah pencegahan di bawah ini. Lima langkah pencegahan ini seperti yang saya kutip di website Narasi.tv.
Pertama, beri dukungan tanpa menghakimi. Jika kamu mendapati tanda-tanda (red flag) KDRT, kamu bisa memberikan dukungan bagi korban. Hindari menghakimi korban, apalagi jika korban sedang bercerita. Usahakan untuk menciptakan ruang aman bagi korban.
Kedua, pahami dan bantu cari solusi. Selama menjadi ruang aman, cobalah untuk memahami setiap kebutuhan korban. Alih-alih memaksakan kehendakmu terhadap korban, kamu bisa menanyakan kebutuhan korban seperti konselor atau lembaga pendampingan.
Ketiga, perhatikan kondisi kesehatan. Pastikan agar korban tetap bisa makan dan istirahat teratur. Kamu pun juga harus memberikan penguatan secara mental agar korban tidak merasa sendiri.
Keempat, berhati-hati akan ancaman. Korban yang enggan melaporkan kasusnya bisa jadi karena mendapat tekanan dan ancaman dari pelaku. Oleh karena itu, sebagai pendamping korban pun kamu harus tetap berhati-hati.
Kelima, ikut mendampingi selama proses pelaporan. Kamu bisa mengambil peran untuk mendampingi korban selama proses pelaporan. Kamu bisa membantu menyiapkan bukti atau administrasi tertentu.
Oleh karena itu, lima langkah di atas dapat kita praktikkan saat kita atau teman-teman kita menjadi korban KDRT. Bahkan untuk melaporkan kasus tersebut kita juga bisa melaporkan ke lembaga-lembaga pendamping yang konsen dalam isu tersebut.
Bahkan pemerintah sendiri sudah memberikan Pusat Pelayanan Terpadu P2TP2A yang berada di berbagai provinsi. Layanan tersebut berada di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Republik Indonesia.
Selain itu, kita juga bisa menghubungi lembaga lain seperti Komnas Perempuan melalui telepon di nomor 021-3903963 atau email [email protected].
Dengan begitu, para korban merasa tidak sendiri terlebih mereka juga sudah mendapatkan payung hukum yang jelas. Seperti dalam Pasal 44 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2004 tentang pelaku KDRT akan mendapatkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Para korban KDRT, ingat, kamu tidak sendiri. []