Mubadalah.id – Secara psikologis ASI memberikan ketenangan batin bagi seorang bayi saat menyusu, karena ia berada dalam buaian dan kasih sayang langsung dari ibunya, begitu pula sebaliknya.
Dekapan keduanya dapat saling memberikan kehangatan dan kasih sayang di antara mereka. Ibu yang mau menyusui anaknya berarti peduli terhadap kesehatan dan kecerdasan maupun emosi anaknya.
Oleh sebab itu, berikut beberapa ketentuan normatif mengenai ASI:
Pertama, UU Perlindungan Anak menjamin bahwa anak berhak memperoleh ASI, sehingga merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhinya dan tidak boleh mengabaikannya.
Kedua, masa menyusui anak, apabila ingin sempurna adalah dua tahun penuh sebagaimana dianjurkan al-Qur’an. Meskipun setelah bayi berusia empat bulan sudah bisa diberikan makanan tambahan berupa sereal atau bubur bayi, sebaiknya ASI terus diberikan.
Bahkan, bagi seorang ibu yang siang harinya bekerja pun sebaiknya pada malam hari memberikan kesempatan kepada bayinya untuk tetap memperoleh ASI, supaya reproduksi ASI tidak terhenti.
Karena, jika semakin sering ASI dikeluarkan, maka ASI akan semakin banyak. Sebaliknya, semakin jarang ASI dikeluarkan, maka akan semakin berkurang dan lama-kelamaan menjadi kering, sehingga dengan sendirinya tidak dapat keluar.
Ayah Ikut Bertanggung Jawab
Ketiga, ayah bayi turut bertanggung jawab membantu ibu agar ASI tersedia cukup, dengan cara menyediakan makanan yang bergizi sesuai yang ibu butuhkan, dan menciptakan suasana tenteram dalam rumah tangga. Serta tidak membebani ibu dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang dapat mengganggu proses penyusuan tersebut.
Keempat, masa penyusuan tersebut boleh dihentikan sebelum dua tahun, dengan syarat harus mempertimbangkan kondisi kesehatan dan kepentingan anak.
Keputusan tersebut harus berdasarkan atas persetujuan bersama antara suami istri setelah keduanya membicarakan berbagai kemungkinan yang akan anak hadapi. Serta memastikan bahwa anak akan memperoleh makanan pengganti ASI sebaik mungkin.
Kelima, apabila ayah bayi tersebut sedang bepergian atau telah meninggal. Maka salah seorang anggota keluarganya harus mengambil alih kewajibannya memelihara bayi tadi. Terutama dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhan bayi dan ibunya, agar bayi tetap mendapatkan ASI.
Keenam, seorang ibu yang dapat menyusui anaknya tidak boleh mengalihkan kewajibannya kepada orang lain. Islam mewajibkan ayah bayi tersebut menanggung biaya dan seluruh kebutuhan hidup ibunya agar menyusui anaknya, meskipun telah bercerai.
Dalam hal ini, Islam menjamin agar bayi tersebut tetap memperoleh hak untuk mendapatkan ASI sebagaimana yang ia butuhkan. []