Mubadalah.id – Al-Baqarah ayat 282 sesungguhnya hanya satu dari sekian banyak ayat dalam al-Qur’an yang bicara tentang kesaksian. Kata “Syahadah” (kesaksian) dalam berbagai bentuk derivasinya disebutkan al-Qur’an tidak kurang dari 140 kali.
Jenis kesaksiannya pun banyak. Ada yang terkait dengan keimanan, keislaman, ketuhanan, kenabian, kesaksian akan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah, kebenaran janji dan ancaman Allah, kesaksian akan datangnya bulan Ramadhan, kesaksian dalam transaksi perdagangan dan segala sesuatu yang terkait dengan harta kekayaan.
Lalu kesaksian dalam masalah perkawinan, seperti ruju’, wasiat, hudud, li’an, dan sebagainya. Pelaku kesaksian pun tidak terbatas pada manusia, melainkan juga rasul, jin, malaikat, bahkan Allah SWT. Bahkan ada juga saksi “bisu” seperti anggota badan dan patung. Semua ini akan tampak jika kita membaca keseluruhan ayat al-Qur’an tentang kesaksian.
Tidak Satu Pola
Yang menarik untuk dinyatakan adalah bahwa kesaksian dalam hal-hal spiritual, keimanan, dan yang menyangkut hubungan vertikal hamba dengan Khaliknya sama sekali tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Hanya dalam soal-soal hubungan antar manusia saja masalah gender mengemuka. Itu pun hanya ada secara eksplisit dalam QS. al-Baqarah ayat 282 tentang kesaksian dalam transaksi utang piutang.
Sementara ayat lain yang menyebut angka saksi, yakni empat orang untuk kasus perzinaan (QS. an-Nisa’/4:15 dan an-Nur/24:4), dan dua orang untuk saksi wasiat (QS. al-Maidah/5:106) dan ruju’ (ath-Thalaq/65:2), semuanya tidak menyebutkan bahwa ayat itu hanya berlaku untuk laki-laki. Bahwa dalam pemahaman fiqh kemudian ada yang melakukan pembatasan, itu soal lain.
Yang jelas al-Qur’an sendiri tidak eksplisit menyatakan demikian. Bahkan dalam hal menolak tuduhan zina, kesaksian istri yang merasa tidak berzina namun tidak bisa menghadirkan empat orang saksi diterima kesaksiannya seorang diri setelah empat kali bersaksi dengan menyebut nama Allah bahwa dirinya benar dan suaminya salah.
Empat kali sumpah istri yang menolak tuduhan zina ini sama jumlahnya dengan empat kali sumpah suami yang melontarkan tuduhan kepada istrinya tanpa ada saksi mata selain dirinya. Bahkan dalam kasus yang demikian kesaksian istri langsung diterima dalam arti tuduhan zina atasnya menjadi gugur. Demikianlah al-Qur’an menjelaskan hal ini secara gamblang dalam QS. an-Nur/24: 6-8. Soal siapa yang benar di antara keduanya, adalah Allah Yang Maha Tahu.
Melihat variasi ayat kesaksian dapatlah kita katakan bahwa kesaksian perempuan dalam al-Qur’an tidaklah dipatok dalam satu pola, yakni bahwa kesaksian perempuan bernilai setengah kesaksian laki-laki. Sebagian besar ayat kesaksian malah tidak mempersoalkan gender.
Pun dalam soal hubungan suami-istri, kesaksian mereka dinilai sama. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kesimpulan yang menyatakan harga perempuan setengah dari harga laki-laki semata-mata hanya berdasarkan satu dari 140 lebih ayat tentang kesaksian adalah tidak tepat. Satu ayat itu pun sesungguhnya jika dipahami secara kontekstual dengan melihat latar belakang dan tujuannya, seperti dijelaskan dalam edisi yang lalu, tidak bisa disimpulkan sebagai bentuk diskriminasi gender.
Soal Integritas dan Kapabilitas
Jika kita mencermati ayat-ayat kesaksian, sesungguhnya ada benang merah yang bisa ditarik. Yakni bahwa masalah kesaksian bukanlah soal pembedaan gender, melainkan soal integritas dan kapabilitas. Buktinya, untuk urusan keimanan dan spiritualitas yang sangat personal antara makhluk dan Khaliknya, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Juga dalam urusan rumah tangga (sumpah li’an) di mana suami dan istri masing-masing dipandang sama nilai kesaksiannya di mata hukum. Hanya dalam hal yang diasumsikan perempuan kurang memiliki akses terhadap dunia tersebut dibanding laki-laki (seperti akses ke dunia perdagangan di masa lalu), kesaksian perempuan tidak sama dengan laki-laki.
Ketika zaman sudah berubah dan akses menuju dunia perdagangan sudah sama antara laki-laki dan perempuan, dan sistem sudah dibuat sedemikian rupa canggih, transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, tentu tidak relevan lagi memperbincangkan rasio 2:1. Bukan berarti umat Islam meninggalkan ayat al-Qur’an, melainkan ada cara lain yang bisa ditempuh untuk menjamin terwujudnya tujuan ayat itu sendiri. Al-Qur’an pun tidak melarang perkembangan seperti itu karena al-Qur’an bukan kitab suci yang anti perkembangan budaya manusia.
Dengan memperhatikan ayat-ayat yang ada, kesaksian sesungguhnya lebih didasarkan pada faktor kapabilitas dan integritas, bukan faktor jenis kelamin. Jika perempuan kapabel dan integritasnya diakui, kesaksiannya tidak perlu dipertanyakan. Bahkan jika ia bersaksi seorang diri. Bukti nyata dari hal ini adalah ketika Rasulullah saw. menerima kesaksian seorang perempuan yang datang bersaksi bahwa dua orang calon mempelai yang akan menikah adalah anak-anak sesusuannya.
Mendengar kesaksian ini, Rasulullah langsung membatalkan rencana pernikahan tersebut. Rasulullah menerima kesaksian seorang perempuan yang beliau percaya integritasnya dan memiliki kapabilitas serta kapasitas untuk memberi kesaksian karena ia adalah pelaku langsung. Peristiwa ini diabadikan dalam hadits Shahih Bukhari.
Di kalangan ahli hadis pun, kesaksian perempuan tidak dipersoalkan. Yang menjadi pertimbangan lagi-lagi adalah soal integritas dan kapabilitas yang berlaku juga untuk kesaksian laki-laki. Para istri Nabi tidak perlu mendatangkan orang lain untuk memperkuat kesaksiannya tentang perkataan dan perbuatan Nabi yang diketahuinya.
Demikian juga sahabat perempuan lain yang terkenal integritas dan kapabilitasnya. Bahkan ada pengakuan jujur dari kritikus hadis terkemuka, adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berisi kritik terhadap para perawi hadis, “Mizan al-I’tidal”. Beliau mengakui bahwa dari 400-an perawi yang tertuduh dusta dan ditinggalkan hadisnya, tidak ada satu pun nama perempuan yang masuk di dalamnya.
Dengan melihat ragam ayat dan fakta sejarah yang terekam dalam khazanah hadis sebagaimana disampaikan di atas, sekali lagi penulis sampaikan bahwa masalah kesaksian perempuan dalam Islam tidak relevan dijadikan tema atau alasan untuk mendiskriminasi atau mensubordinasi perempuan.
Kalaupun masih ada pemahaman yang cenderung demikian, rasanya perlu melihat kembali ayat-ayat dan hadis-hadis secara komprehensif sekaligus memahami ruh, substansi, dan tujuan dari nash-nash tersebut sehingga Islam yang pada hakikatnya ramah terhadap perempuan tidak menjadi sebaliknya akibat pemahaman umatnya sendiri. Wallahu A’lam. []