Mubadalah.id – Bagi banyak orang Isra’ Mi’raj adalah kisah mistis. Al- Qur’an mencatatnya dalam surat Al Isra’ (surat ke 17) ayat 1, yang dalam tafsirnya diartikan tentang perjalanan hambaNya (Nabi Muhmmad) dari Masjidil Haram ke Masjdil Aqsa, lalu naik ke Sidratul Muntaha. Umat Islam memperingatinya sebagai sejarah turunnya perintah shalat.
Nyatanya di seluruh dunia Isra’ Mi’raj dirayakan dengan rupa-rupa cara dan upacara. Di Jawa, misalnya, ini diperingati dengan ritus “selametan”. Di Keraton Yogyakarta ada kirab Rajeban, menggotong Paksi Buraq (burung Buraq) keluar dari keraton. Di Jawa Barat ada pawai obor atau hajatan Mapag Rajab (menjemput Rajab). Di Temanggung ada tradisi Khataman Kitab Arya karya KH Ahmad Rifai Al Jawi yang didalamnya terdapat kisah Isra’ Mi’raj dalam versi keyakinan Islam Jawa.
Di luar Jawa terutama di Sumatera seperti Aceh, Melayu Riau ada “Kenduri Apam”. Kaum perempuan memasak dan membawa kue apam di mesjid atau ke balai rakyat. Sejenis kenduri kue juga dilakukan warga pesisir Pariaman Sumatera Barat yang menyebutnya Mendoa Sambareh. Di Takalar Sulawesi Selatan, upacara bulan Rajab disebut Sangkobala untuk tolak bala.
Puncak perayaan Isra’ Mi’raj di Indonesia biasanya diisi dengan ceramah agama di mesjid-mesjid kaum/ besar. Di Istana Negara, peringatan Isra’ Mi’raj telah berlangsung sejak tahun 1951 sebagai upacara keagamaan resmi yang masuk ke dalam kalender Istana. Di masa Soekarno, pidato Isra’ Mi’raj presiden termasuk yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam Indonesia.
Jelaslah, peringatan Isra’ Mi’raj adalah tafsir. Isra’ Mi’raj diperingati sebagai peristiwa sosial keagamaan yang penting. Lalu, apa artinya bagi kita sekarang? Menanyakan hal itu penting, sebab dalam Isra’ Mi’raj terkandung ajaran yang sangat fundamental tentang nilai-nilai monoteisme Islam.
Dalam Isra’ Mi’raj terdapat “historical background” tentang perjanjian pembebasan manusia dari tuhan-tuhan lain selain Allah. Ini adalah ikrar totalitas ketundukkan manusia yang mungkin melampaui deklarasi hak asasi manusia karena hanya kepada Allah-lah manusia bergantung dan berserah diri!
Pada malam Sabtu 12 Maret 2021 lalu, saya mengajukan pertanyaan ini sebagai pemantik diskusi Kajian Gender dan Islam (KGI) yang diasuh Nyai Dr. Nur Rofiah, dosen PTIQ dan salah seorang penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Dalam tafsiran saya, Isra’ Mi’raj menggambarkan dua “etape” perjalanan yang patut diteladani. Pertama, etape horizontal, menggambarkan perjumpaan-perjumpaan manusia dengan manusia lain; dan etape kedua, perjalanan vertikal untuk mengangkat kemulian manusia melalui pembebasannya dari penghambaan kepada manusia lain.
Melalui Nabi Muhammad SAW, Umat Islam telah menerima ikrar tauhid itu. Demikian pentingnya perjanjian itu, hingga umat Islam melafalkannya berulang kali dalam ritual shalat : “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah semata, Tuhan Semesta Alam yang tidak ada sekutu bagi-Nya”.
Dalam renungan feminis saya, peristiwa Isra’ Mi’raj ini menuntun kita untuk mengevaluasi diri seberapa jauh ketundukkan total manusia hanya kepada Allah. Seberapa jauh ketundukan perempuan untuk tidak menyekutukan yang lain dan hanya tunduk kepada Allah. Ini karena dalam kehidupan sehari-hari manusia berhadapan dengan relasi-relasi kuasa yang potensial menindas yang menjadikan manusia kehilangan kesanggupannya untuk hanya menyembah dan bergantung kepada Allah.
Dalam perjalanan horizontal manusia, terjadi perjumpaan-perjumpaan yang melahirkan sistem dan struktur sosial yang seharusnya linier – horizonal berubah menjadi bertingkat/ berkelas/ berstruktur. Disanalah muncul kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan sosial yang tidak setara dan bahkan menindas.
Terutama karena sistem sosial itu telah menciptakan kesenjangan yang genjang dan membentuk hirarki: kaya-miskin, kuat-lemah, maksulin (dominan)-feminin (subrdinat), mayoritas – minoritas, dan seterusnya. Tanpa kesadaran kritis tentang adanya relasi dan ketergantungan yang dapat merampas kebebasan manusia, orang akan menerima kesenjangan itu sebagai hal yang alamiah dan wajar.
Pada kenyataannya sejarah manusia telah memperlihatkan bagaimana kesenjangan itu menjadi basis penindasan berdasarkan ras, suku, kelas sosial, umur, agama, gender, keadaan fisik dan pembeda-pembeda lain yang dikonstruksikan manusia demi kepentingan kekuasaannya.
Dalam struktur sosial yang timpang serupa itu, perempuan, sebagaimana anak-anak, kaum miskin, orang dengan disabilitas, kelompok minoritas berada di satu posisi, berhadap-hadapan dengan kelompok lain yang berpotensi menjadi penguasa dan penindasnya: lelaki/ patriarki, orang dewasa, orang dengan sumber daya lebih, kaum non-disabilitas, dan mayoritas.
Dalam struktur yang timpang serupa itu perempuan menjadi lebih rentan. Antara lain karena dalam ragam identitas itu terdapat irisan interseksional. Sudahlah perempuan, miskin, minoritas, powerless lagi. Kenyataannya, begitu banyak hal yang membuat perempuan menjadi tergantung atau mengikatkan diri dan takut kehilangan ikatan-ikatan itu: perkawinannya, status perkawinannya, anak dan suaminya, sumber ekonominya, jabatan suaminya dan seterusnya.
Dalam kadar tertentu hal itu sedemikian rupa membuatnya begitu tergantung dan menganggapnya sebagai tuhan-tuhan kecil mereka tempat mereka bergantung dan berlindung, bahkan untuk perkawinan yang memunculkan penderitaan seperti perkawinan poligami dan perkawinan dengan kekerasan.
Situasi itu dapat menjebak mereka masuk ke dalam penghambaan-penghambaan sosial baru yang sistemik. Apalagi jika penghambaan itu dilegitimasi oleh pandangan keagamaan yang patriarki maskulin. Selesai sudah!
Hal yang lebih mengerikan adalah karena yang terjebak ke dalam sistem penghambaan itu bukan hanya mereka yang kehilangan kebebasannya sebagai manusia, melainkan juga mereka yang memperhambakan manusia lain dalam relasi-relasi timpang yang terus dibangun dan diglorifikasikan. Mereka menjadi tuhan-tuhan baru dalam kehidupan manusia terutama bagi mereka yang dilemahkan dalam stuktur sosial seperti perempuan, anak-anak dan kaum miskin.
Tak sedikit perempuan diajari tentang kewajiban menyembah, patuh, tunduk dan pasrah kepada suaminya laksana menyembah Tuhannya. Dalam relasi itu sang suami juga menikmati konstruk budaya, agama, dan politik, yang memposisikannya sebagai pelindung (untuk tidak dikatakan penguasa) atas istri dan anak-anaknya.
Tanpa ada kesadaran kritis, kedua pihak, masuk ke dalam sistem penghambaan di mana manusia yang satu menciptakan ketergantungan eksploitatif kepada manusia lain. Dalam relasi serupa itu kedua pihak telah membangun dan mempercayai berhala-berhala baru tempat manusia memuja dan dipuja, bergantung dan berlindung.
Dengan demikian, kedua pihak– baik korban eksploitasi maupun pelakunya, telah terjebak dalam cengkeraman relasi hamba dan tuan yang sekaligus menghapus esensi dari deklarasi manusia untuk mengakhiri sistem penghambaan sebagaimana diikrarkan Nabi Muhammad SAW melalui perjalanan spiritual Isra’ Mi’raj.
Di titik ini renungan Isra’ Mi’raj dengan memperbaharui deklarasi untuk membebaskan diri dari penghambaan manusia atas manusia lain, perempuan kepada lelaki, buruh kepada majikan, minoritas kepada mayoritas, adalah cara untuk memperingati hakekat Isra’ Mi’raj. []