Mubadalah.id – Perbedaan adalah keniscayanan. Beda pendapat adalah kelaziman. Klasik tapi kayaknya sulit ya untuk diterapkan? saya terkadang dibikin heran dengan kelakukan warganet yang gampang sekali menulis kata kasar, mengatakan sesat/kafir, atau bahkan doxing (merujuk pembongkaran identitas pribadi tanpa izin yang bersangkutan) pada orang yang beda pendapat.
Microsoft pada Februari kemarin mengeluarkan laporan tahunan yang mengukur tingkat kesopanan netizen bertajuk Digital Civility Index (CDI). Laporan ini menyebut bahwa negara Indonesia menjadi negara dengan netizen paling tidak sopan, berada di urutan nomer 29 dari 32 negara. Survei Microsoft terbukti benar karena setalah laporan tersebut dirilis, Instagram Microsoft panen hujatan netizen Indonesia yang tak terima hasil tersebut.
Lalu pada April kemarin, Instagram mubadalah.id menjadi ramai sekali saat mengunggah perihal Perempuan Haid Boleh Berpuasa yang ditulis oleh Kyai Imam Nakha’i. Di kolom komentar netizen (yang mungkin kebanyakan belum membaca tulisan keseluruhan) menyebut tulisan ini sesat, tak berdasar, membuat perpecahan bahkan melenceng dari syariat Islam.
Padahal postingan tersebut hanya sebatas infografis awalan saja belum keseluruhan tulisan. Hal ini menunjuakan bahwa sebagain (atau mayoritas) masyarakat belum siap adanya perbedaan dalam hal apapun baik itu tentang tafsir hadist, tafsir agama, keyakinan bahkan hasil survei sekalipun. Mungkin disebabkan jari yang lebih cepat berkomentar daripada mata yang membaca.
Kondisi macam ini sebenanya sudah lama terjadi, dalam ingatan saya terlintas bagaimana cendekiawan Muslim, Quraish Shihab, dihujat saat menunjukan tasfir tentang hijab dari berbagai pandangan. Padahal dari kedalam ilmu pun tak usah diragukan. Beliau merupakan salah satu tamu kehormatan Al-Ahzar Mesir dan seorang penulis dengan karya terkenalnya, Tafsir Al-Misbah. Sayangnya, oleh beberapa kelompok pandangan yang tidak “umum” tersebut diplintir sedemikian rupa hingga mencap Quraish Shihab sebagai sesat dan anti-jilbab.
Padahal boleh saja berbeda pendapat toh itu dijamin di konstitusi negara, namun alangkah baiknya sebagai muslim yang berakal bisa menghormati sebuah perbedaan, apalagi pendapat dari seorang ulama. Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, seorang ulama mazhab Syafii, menegaskan dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat. Sebab mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.
Marah dengan pandangan yang berbeda menunjukan bahwa umat muslim makin tertinggal. Tidak usah menyalahkan kelompok yang dicap liberal atau produk westernisasi karena biang ketertinggalan umat muslim hari ini ada pada dirinya sendiri. Menurut Ahmet Kuru, Guru Besar Ilmu Politik San Diego State University, untuk menjadi umat muslim yang maju perlu memilik sikap yang terbuka, menjunung keragaman, kreatfif, kompetitif dan toleran.
Ia menekankan bahwa berpikiran terbuka, demokratis, dan toleran bukanlah produk barat namun itu adalah nafas Islam yang sesungguhnya. Bahkan Fatima Mernissi, cendekiawan asal Mesir menyebus muslim generasi pertama (abad 11-12) menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai makanan kesehariannya. hemat saya, ini bisa menjadi penegasan bahwa sikap open minded bukanlah produk barat namun sejalan dengan semangat Islam itu sendiri.
Dari peristiwa tersebut kenapa kita tidak belajar menghargai perbedaan dalam hal apapun itu termasuk perbedaan dalam tafsiran agama. Kenapa kita lantas mencak-mencak jika ada pendapat berbeda, padahal kerendahan hati adalah yang utama. Jika pun tak bisa menerima perbedaan, tak bisakah jari ini mengetik hal yang baik-baik saja?
Terakhir, mari coba kita renungkan perkataan dari Imam Syafii perihal beda pendapat, “pendapatku benar tetapi mengandung kemungkinan salah. Pendapat orang lain keliru, tetapi mungkin benar.” Semoga kita menjadi orang yang bijak dalam berpendapat dan menilai orang lain. []