Mubadalah.id – Cemoohan ataupun perkataan kasar dalam hal pelabelan “perawan tua” acap kali menjadi tradisi. Lebih mirisnya lagi sikap saling menjatuhkan tersebut dilakukan oleh sesama perempuan. Hal seperti itu saya alami beberapa pekan lalu hanya karena saya memilih melanjutkan pendidikan. Kata-katanya membuat saya menangis seketika dan membuat perasaan menjadi carut mawut, bahkan dia yang mengatai saya telah menyandang status sebagai seorang ibu dan istri.
Geram rasanya, ingin rasanya saya membalas dengan kata-kata yang sama menjatuhkan dia yang berstatus sebagai ibu. Tapi sudah lah. Kata-kata perawan tua beberapa saat memenuhi pikiran saya. Jika ditelisik lebih jauh, ketika perempuan saling menjatuhkan dengan sesama perempuan, ada perasaan terancam yang sedang dirasakannya. Cemoohan yang dilontarkan ataupun dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri, dan menunjukkan posisinya yang sekarang lebih bahagia.
Mari sedikit kita renungkan, menikah atau masih single sama-sama tidak ada yang salah. Menjadi seorang ibu mendapatkan keistimewaan surga sang anak, yang nanti akan menempatkannya di bawah telapak kaki sang ibu. Begitupun seseorang yang memilih melajang juga tidak disalahkan, bukan tidak mungkin keterlambatannya untuk menikah di usia yang lazim menjadi patokan masyarakat, terlebih pada masyarakat pedesaaan, dikarenakan alasan tertentu dan keadaan yang memaksanya menjadi tulang punggung keluarga.
Stereotip lain masyarakat yang sering menghubungkan sold outnya seorang perempuan dikategorikan lebih cantik dibandingkan dengan perempuan lain yang belum menikah. Alhasil, perempuan yang tidak cantik menggantinya dengan kelebihan lain dengan pencapaian seperti: prestasi akademik, bakat-bakat, ataupun karir yang bagus.
Kendati demikian, tetap saja budaya kita memang selalu menganggap negatif perawan tua, janda, dan seorang istri yang tidak bisa melahirkan anak (infertilitas). Ketiga kategori tersebut menjadi stigma buruk yang mengakar bagi masyarakat bertradisi patriarki. Predikat yang dicemoohkan pada kita lebih baik jangan diambil pusing dari pada hanya diingat kemudian menimbulkan luka batin dan efek yang buruk bagi kita, maka mulailah dengan tiga tips self healing di bawah ini;
Pertama pilihan memaafkan dan menerima apa yang sudah terjadi. Lalu bagaimana cara memaafkan dan menerimanya? Perihal memaafkan juga disebutkan dalam Al-Quran surah Ali Imron 134. Ketika ada seseorang yang memancing kemarahanmu dan engkau memilih memaafkan (kesalahan) orang yang menyakitimu, dan engkau memilih membalasnya dengan kebaikan, ia akan mendapatkan surga seluas langit dan bumi. Begitu juga sahabat Ali bin Abi Thalib berkata “jadilah seperti bunga yang tetap memberikan keharuman kepada tangan-tangan yang merusaknya.”
Kedua mencoba untuk lebih mencintai diri sendiri melepaskan prasangka dan ujaran orang lain. Hal ini menjadi landasan utama untuk bisa mencintai diri sendiri sebelum berempati dengan orang lain. Kita harus mencoba menerima dan jujur dengan kekurangan diri, daripada berusaha menjadi sempurna dan sejahtera berdasarkan standar dan kriteria masyarakat termasuk standar kecantikan.
Maka, jadilah cantik menurut versi diri kita sendiri yang tidak memandang apapaun dari tampilan fisik. Teori kesejateraan Psikologis Carol D. Ryff yang saya temukan disebuah buku memberikan sebuah gagasan di mana setiap individu bisa dikatakan sejahtera jika memiliki beberapa hal seperti: menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi posistif dengan sesama, mandiri, cerdas membaca lingkungan, dan mengembangkan jati diri.
Kriteria tersebut menjadikan perempuan berdiri secara independen. Perempuan yang berproses di tengah keterbatasan dan tekanan budaya patriarki, memiliki jalannya masing-masing untuk mensejahterakan dirinya menjadi sempurna. Sebagaimana ketika kita bisa menciptakan hal positif dan terlepas dari kekangan tradisi.
Ketiga merefleksikan kembali pengalaman yang menyakitkan menjadi sesuatu yang lebih bermakna. Saya berupaya memikirkan pengalaman yang saya alami tadi, dengan ditemani tangisan yang keluar membasahi pipi saya. Kemudian memahami kesedihan yang saya rasakan. Ketika berusaha ingin membalas, saya mencoba memikirkan tindakan itu jauh ke depan.
Tidak bedakah nanti jika saya melakukan hal yang sama. Saya mengambil keputusan untuk berencana menuliskan dan berbagi pengalaman, toh hal ini sering sekali dialami oleh banyak perempuan di luar sana. Tindakan itu saya ambil untuk melakukan terapi terhadap diri sendiri, dan berharap siapapun yang pernah mengalami pengalaman serupa bisa tergugah untuk berjuang memberikan energi posisif pada setiap diri perempuan. Bukan hanya dalam bentuk tulisan tapi dengan tidak menganggap perempuan lain sebagai saingan atau saling menjatuhkan martabat dan kehormatannya sebagai perempuan. []