Mubadalah.id – Memasuki usia kepala dua, banyak perempuan terbiasa membicarakan seputar berkeluarga atau mencari pasangan masa depan. Topik tersebut seringkali datang dari percakapan bersama orang-orang terdekat, misalnya orang tua, kerabat atau sahabat. Dalam perjumpaan di meja makan, acara arisan keluarga, atau tempat tongkrongan, seringkali menyinggung soal jodoh dan pernikahan, memberi pandangan, nasihat, dan kiat mencari pasangan hidup yang baik.
Tapi, apakah petuah-petuah tersebut benar-benar menjamin pilihan kita nanti? Bagaimana jika kita dihadapkan dengan perasaan yang tak satupun orang mengerti? Atau kita sebaiknya bersikap realistis saja dalam memilih pasangan?
Perasaan cinta memang sangat penting dalam suatu hubungan. Apalagi dalam sebuah ikatan pernikahan, untuk menuju sakinah (ketenangan jiwa) membutuhkan mawaddah (rasa cinta) agar menciptakan rahmah (kasih sayang pada ketidaksempurnaan sekalipun) dalam bahtera rumah tangga. Maka, perasaan cinta adalah salah satu hal yang harus hadir dalam suatu hubungan. Lalu, apa dengan melibatkan perasaan saja sudah cukup?
Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Imam Al-Muslim, dari sahabat Abi Hurairah Rasulullah bersabda: “Wanita umumnya dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Karena itu, pilihlah yang memiliki agama, maka kalian akan beruntung”.
Secara prinsip mubadalah (kesalingan) yang digagas oleh Dr. Faqihudin Abdul Kodir, hadis tersebut sama halnya diperuntukkan bagi perempuan dalam memilih suami. Maka, dari hadis di atas kita bisa menyimpulkan bahwa ada 4 kriteria dalam memilih pasangan yaitu finansial, keturunan, penampilan, dan keimanan.
Selain itu, dari hadis tersebut juga tidak disebutkan mengenai keterlibatan perasaan dalam memilih pasangan. Jadi, bermodalkan perasaan saja tidak cukup untuk menentukan jodoh kita. Diperlukan logika untuk bisa menyeimbangkan suatu pilihan yang menentukan baik buruknya masa depan. 4 kriteria pasangan ideal yang telah disebutkan di atas, sangat merepresentasikan wujud hubungan yang baik.
Finansial yang kuat menandakan kesiapan membangun bahtera rumah tangga dengan kebutuhan yang bermacam-macam. Keturunan yang baik mencerminkan didikan yang baik pula. Setiap orang sangat normal jika melihat pasangan dari segi penampilannya juga, walaupun terkait penampilan itu sendiri bersifat relatif.
Kriteria yang lebih ditekankan adalah perihal keimanan, yang berkaitan dengan agama. Apabila seseorang mengenal Tuhan dan ajaran-Nya dengan baik, maka akan memberikan dampak positif untuk kemaslahatan yang seluas-luasnya.
Tak hanya itu, dengan menggunakan logika dalam menjalin hubungan, dapat menghindarkan kita dari Toxic Relationship, hubungan yang tidak sehat. Banyak kasus relasi pasangan yang kandas atau bahkan berakhir tragis oleh sebab dorongan emosional yang berlebih.
Misalnya, sebuah peristiwa yang terjadi di Palembang beberapa bulan yang lalu ialah seorang laki-laki nekat membunuh kekasihnya karena hubungan mereka yang tidak direstui oleh orang tua perempuan karena suatu alasan. Alih alih melepaskan cinta dengan ikhlas, pelaku justru bertindak abusive.
Itu baru satu kasus dari jutaan lainnya yang terjadi. Michael Levine, seorang penulis dan konsultan hubungan menjelaskan bahwa sisi emosional manusia mendorong 80% dalam bersikap, sedangkan nalar berpikir hanya terlibat 20% saja dalam pengambilan keputusan.
Padahal, berdasarkan buku Jean Oestrie yang berjudul What is Logic and Why Should We Study Logic disampaikan bahwa untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dengan lebih baik, manusia membutuhkan kerja nalar yang baik dan optimalisasi berpikir logis.
Pentingnya berpikir logis dalam memilih pasangan juga bertujuan untuk memperkokoh landasan hubungan itu sendiri. Setiap orang pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam membangun suatu relasi. Mislanya, tujuan yang bersifat materil, sosial ataupun spiritual. Tujuan yang dibentuk dari logika tersebut yang kemudian bisa menuntun kita untuk menjalin suatu hubungan yang serius.
Sayangnya, jatuh cinta justru seringkali memabukkan. Menurut Professor Stephanie Ortigue dari Syracuse University di kota New York, otak manusia saat jatuh cinta mengalami euforia seperti kecanduan kokain yang dipengaruhi oleh hormon seperti okistosin. Perasaan senang yang berlebihan dan mendominasi ini membuat orang sulit berpikir secara logis, seperti orang yang sedang mabuk.
Apalagi, perasaan itu sendiri seringkali berubah-ubah. Dalam penelitiannya yang berjudul The Science of Compassionate Love: Theory, Research and Applications, masih dari Professor Stephanie Ortigue, ia menjelaskan bahwa euforia jatuh cinta itu memiliki fase di mana hormon cinta bisa berkurang dari waktu ke waktu.
Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Maka dari itu, tidak jarang terjadi pasangan yang manis di awal hubungan dan malah renggang setelah jalan beberapa bulan atau tahunan.
Oleh sebab itu, para pecinta membutuhkan pikiran yang logis untuk membangun suatu hubungan yang kemudian diperkuat dengan adanya komitmen. Namun, tidak jarang beberapa dari kita yang masih terperdaya oleh cinta. Bahkan, sampai bisa dibutakan oleh perasaannya sendiri terhadap pasangannya.
Selalu mengalah dengan asumsi bahwa pasangannya akan berubah di kemudian hari atau bahkan memaklumi jika pasangan berbuat kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Sikap tersebut adalah alarm yang mencerminkan hubungan tidak sehat dan pasangannya yang jauh dari kata ideal.
Adapun ciri pasutri ideal dalam pandangan Ibu Nyai Dr. Nur Rofiah Bil, Uzm, seorang dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) dalam bukunya yang berjudul Nalar Kritis Muslimah, menyebutkan bahwa salah satu ciri pasangan yang ideal adalah mereka yang menjadikan pasangannya subjek penuh dalam kehidupan.
Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki perlakuan dan nilai yang sama sebagai manusia. Istri harus menghormati suami, begitupun suami harus menghormati istri. Tidak ada ketaatan mutlak selain kepada Allah SWT.
Sikap saling menghormati dapat diperoleh dari membangun perspektif kesalingan, memiliki prinsip kesetaraan dan keadilan gender, sehingga membentuk kepribadian yang maslahah bagi pasangannya, kemudian hidup bersama untuk menebar kebaikan seluas-luasnya. Memilih pasangan senyatanya tidak cukup hanya berlandaskan perasaan cinta saja karena kadarnya bisa naik turun tak kenal waktu, tidak dengan karakter yang sudah melekat pada diri setiap orang. []