Mubadalah.id – KUPI adalah kepanjangan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Meskipun didalamnya terdapat diksi Ulama Perempuan namun dalam jaringan KUPI tidak hanya terdiri dari para ulama perempuan saja. Jaringan KUPI adalah jaringan ulama yang memiliki kesadaran akan perjuangan kesetaraan gender, maka para pemikir, akademisi, ulama yang memiliki konsen dalam memperjuangkan kesetaraan gender, masuk dalam jaringan ini.
Secara resmi, KUPI dibentuk dalam acara kongres yang diselenggarakan di Pesantren Kebon Jambu al-Islami, Cirebon, Jawa Barat. Dihadiri oleh 1.280 ulama dan cendekia perempuan membahas permasalahan kontemporer. KUPI dibentuk atas kegelisahan bersama akan dominasi produk fikih dan kitab-kitab klasik yang male oriented (bernuansa patriarki) sehingga tidak menyentuh pengalaman perempuan. Bahkan fikih perempuan pun juga ditafsirkan menggunakan perspektif laki-laki. Pun relasi yang dibangun antara laki-laki dan perempuan adalah relasi yang mendominasi satu gender di atas gender lainnya, bukan relasi kerjasama dan kemitraan.
Meskipun Sayyidah Aisyah ra adalah juga seorang ulama perempuan yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi, namun dewasa ini penyebutan ulama perempuan masih asing. Karena pemahaman yang selama ini terpatri dalam benak muslim, bahwa ulama adalah seorang laki-laki.
Hal ini disebabkan karena peradaban patriarkis yang cukup kuat di negara muslim. Belum lagi ditambah dengan narasi ekstrimis yang bernuansa peyoratif terhadap perempuan. Seperti ketidakmampuan perempuan dalam memimpin karena kurangnya akal, ketidakbolehan kepemimpinan perempuan, narasi domestikasi sebagai standar keshalehan perempuan, sehingga perempuan hanya diletakkan sebagai makhluk nomer dua yang dilegetimasi dengan tafsir-tafsir dalil naqli.
Maka kehadiran KUPI adalah momentum berharga sebagai upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Kehadirannya diharapkan mampu melahirkan produk fikih yang ramah gender, tidak diskriminatif gender, dan berlandaskan pengalaman perempuan dan laki-laki. Mampu menyelesaikan problem kekerasan seksual, perdagangan manusia yang seakan tak pernah habis di negara kita. Dan sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa pun jika sudah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi ulama, perempuan pun bisa menjadi seorang ulama yang fatwanya bisa dirujuk sebagaimana ulama laki-laki.
Fatwa dan tiga isu besar perjuangan KUPI
Pertama, penghapusan kekerasan seksual baik didalam maupun di luar perkawinan. UU penghapusan kekerasan seksual dan hukum pidana pemerkosaan masih menggunakan perspektif laki-laki. Tak jarang, korban kekerasan seksual justru dianggap sebagai sumber terjadi kekerasan seksual. Dianggap mengumbar aurat, menyebabkan fitnah, dan meletakkan seluruh kesalahan justru di pihak korban.
Tak ada akses keadilan yang dapat oleh korban menyebabkan banyak korban memilih diam dan bungkam. Karena selain mendapatkan penghakiman sebagai perempuan yang tidak benar, ia juga akan dialeniasi oleh masyarakat. Pun demikian dengan kekerasan seksual dalam perkawinan. Pemahaman teks yang patriarki, yang menyamakan perempuan dengan sebuah ladang sehingga bebas untuk digunakan kapanpun oleh pemiliknya justru sering memunculkan kekerasan baru berbalut penegakan syariat.
Melalui KUPI, jaringan ulama perempuan memberikan rekomendasi-rekomendasi dan membangun berbagai narasi tentang pentingnya memasukkan pengalaman perempuan dalam merumuskan sebuah regulasi. Bahwa korban kekerasan seksual bagaimanapun adalah korban yang membutuhkan perlindungan dan tempat yang aman, yang bebas dari segala stigmatisasi hanya karena sang korban adalah perempuan.
Dan istri dalam sebuah hubungan rumah tangga adalah mitra, termasuk mitra dalam melakukan hubungan seksual. Maka membangun komunikasi, membangun keharmonisan dalam rumah tangga harus dilakukan oleh keduanya dengan posisi yang imbang dan equal.
Kedua, pencegahan perkawinan anak. Perkawinan anak seringkali terjadi dengan alasan menghindarkan anak dari zina. Seolah menempatkan tujuan perkawinan hanya sebagai media pelampiasan nafsu hewani saja. Padahal perkawinan tidak hanya masalah seksualitas semata, didalamnya ada tanggung jawab besar yang harus dilakukan. Tanggung jawab akan pemenuhan nafkah, tanggung jawab pendidikan anak, tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik, dan tanggung jawab berat lainnya yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang berusia dewasa. Tak semua usia dewasa mampu melaluinya, apalagi di usia anak.
Melalui KUPI, langkah struktrural dalam pencegahan perkawinan anak dilakukan dengan mendukung tuntutan pengubahan usia perkawinan anak yang diajukan di Mahkamah Konstitusi, memberikan rekomendasi pada KUA dan Pegawai Pencatatan Perkawinan untuk tidak melegalkan perkawinan anak, serta menekankan kepada Kementerian Pendidikan agar lebih menekankan lagi program wajib belajar 12 tahun sehingga tak ada lagi anak-anak yang berambisi untuk melakukan perkawinan anak.
Ketiga, keharaman melakukan perusakan alam. Alam atas dasar apapun tidak boleh dikomersialisasi untuk keuntungan golongan tertentu terutama untuk alasan pembangunan. Alam adalah milik seluruh penduduk bumi tanpa terkecuali. Namun akibat kapitalisme, alam saat ini telah terkooptasi. Bahkan untuk minum saja, dikomersialisasi dengan alasan menambah pendapatan negara.
Guna memperkuat fatwa tersebut, maka KUPI memberikan rekomendasi pada negara untuk menyiapkan sebuah instrumen yang menjamin hak masyarakat untuk bisa mengakses alam dengan biaya murah, mendorong pemerintah untuk merumuskan sanksi bagi siapapun pelaku perusakan alam, dan memperbanyak kajian serta penelitian tentang teknologi yang ramah lingkungan.
Apa yang difatwakan oleh KUPI dan isu yang sedang diperjuangkan pada hakikatnya adalah problem kita semua, tidak hanya dialami oleh gender tertentu. Maka segala perjuangan yang bertujuan untuk kebaikan bersama tentunya harus mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Ulama perempuan hadir untuk membuktikan bahwa sebagai sesama khalifatullah fil ardhi perempuan juga memiliki hak yang sama termasuk hak untuk ikut serta dalam merumuskan suatu hukum dan memberi masukan dalam kebijakan.
Kehadiran ulama perempuan sama sekali bukan suatu upaya untuk melawan ulama laki-laki ataupun mempertentangkan keduanya. Namun bertujuan untuk menghadirkan regulasi dan kebijakan yang ramah gender untuk mewujudkan Islam yang Rahmatan Lilaalamin. []