“Perempuan, anak-anak dan orang miskin adalah prioritas saya, dan itu tidak bisa diganggu gugat”. Suster Eustochia mengatakan ini dengan suara lembut namun tegas, mimiknya serius, matanya tajam menatap saya dan kawan-kawan yang duduk melingkarinya.
Mubadalah.id – Awal bulan Juni lalu, saya tergabung dalam tim Susur Selubung yang diinisiasi oleh Maria Ludvina Koli untuk meriset dan mendengar cerita perempuan. Tujuan kami menemui Suster Eustochia untuk berdiskusi tentang masyarakat inklusi gender di Maumere. Siang itu, kami disambut oleh Suster Eustochia, Suster Ika dan Pater Ignas Ledot.
Suster Eustochia adalah koordinator Tim Relawan untuk Kemanusiaan divisi Perempuan Flores atau lebih dikenal dengan sebutan TRuK F yang berlokasi di Maumere – NTT. TRuK F merupakan lembaga independen yang bergerak dalam perlindungan perempuan korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Suster Eustochia berusia lebih dari 60 tahun, namun semangatnya masih sangat menyala. Ia menggebu-gebu ketika bicara tentang kekerasan yang dialami perempuan. Perawakannya kecil, tetapi keberaniannya sangat besar. Nyalinya tak ciut walau harus berhadapan dengan aparat, hakim, jaksa, dan pelaku kekerasan. Lebih dari 20 tahun, Ia berada di garda terdepan berjuang untuk kemanusiaan di Flores.
Tragedi kemanusiaan terbesar pertama yang TRuK F tangani adalah para pengungsi Timor Leste. Ia tak tega melihat perempuan dan anak-anak menjadi korban konflik politik. Saat itu banyak perempuan menerima kekerasan ganda. Di rumah mereka dipukul suami, di luar rumah mereka diteror oleh aparat.
Sejak saat itu, tahun 1998 TRuK F makin populer. Banyak perempuan korban kekerasan mulai mempercayakan kasusnya. Konsistensinya memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak membuat TRuK F didaulat sebagai bagian dari Komnas Perempuan di tahun 2001. Kebesaran nama TruK F yang hingga kini masih bertahan tak lepas dari peran para relawan yang dikomandani Suster Eustochia.
Saat ini, ada 2600 kasus kekerasan di Flores. Belakangan, kasus yang sedang menjadi perhatian adalah maraknya kasus istri yang dijual oleh suaminya sendiri, kasus pelecehan seksual pada anak, kasus human trafficking, dan incest.
Dengan mata berkaca-kaca, Suster Eustochia menuturkan kegeramannya akan penyalahgunaan adat belis. Ironis, belis yang dipercaya sebagai cara menghargai dan menghormati perempuan justru menjadi petaka. Banyaknya korban kekerasan karena penyalahgunaan belis membuat Ia tak gentar melawan adat leluhurnya.
Sebagai salah satu syarat sah nya sebuah pernikahan di NTT, belis banyak disalahgunakan untuk menekan perempuan. Laki-laki menjadi sewenang-wenang karena merasa telah membayar belis. Perempuan menjadi sulit membela dirinya. Ketika mereka mengadu kepada keluarganya, keluarganya pun menolak karena merasa telah menerima belis yang tinggi dan takut jika dituntut mengembalikan belis tersebut.
Pater Ignas mengatakan bahwa selain adat, ada pula budaya patriarki yang masih berakar kuat dan kian menjebak perempuan. Budaya patriarki itulah yang membuat perempuan menjadi tidak mandiri secara finansial dan harus tergantung kepada laki-laki, sehingga sulit untuk memerdekakan dirinya.
Keberadaan TRuK F sangat berarti. Shelternya telah menampung ribuan korban kekerasan. Selain menjadi ruang aman bagi korban, TRuK F juga melakukan advokasi. Mereka turut mengupayakan permasalahan korban kekerasan melalui jalur hukum. TRuK F ada untuk semua. “Kita tidak bedakan kau agama Islam, Kristen, Hindu, kau kaya, kau miskin”, ujar Suster Eustochia. Ia selalu melayani setiap anak, perempuan dan orang miskin yang datang. Ia meyakini mereka adalah wujud dari tuhan Yesus.
Sebelum korban dipulangkan, tim memastikan korban mempunyai ruang yang aman. Lingkungan kondusif dan keluarga yang akan menerima kehadirannya. Biasanya, korban pulang dalam kondisi yang lebih sehat. TRuK F selalu memberikan asupan yang bergizi, air bersih, dan pakaian yang layak. Korban pelan-pelan menjadi pulih dan percaya diri.
Ada pertemuan rutin tahunan untuk korban yang telah pulih dan berkehidupan mapan. Pertemuan ini menjadi ajang silaturahmi, saling berbagi kabar dan pengalaman. Sebagai penyintas kekerasan membuat mereka harus tetap mawas diri dan saling menjaga.
Meskipun jumlah kasus kekerasan terus meningkat, namun Pater Ignas Ledot sangat optimis di masa mendatang perempuan akan lebih mandiri dan menjadi pribadi yang bebas berekspresi. Kekerasan tidak akan lagi menjadi salah satu cara penyelesaian masalah dalam rumah tangga.
Siang itu di bawah pohon Ketapang yang tumbuh besar di depan shelter TRuK F, perbincangan mengalir dengan santai namun serius. Hampir dua jam Suster Eustochia, Pater Ignas dan Suster Ika membagi kisah perjuangannya kepada kami. Kisah yang mampu membuat kami semua kelu. Kadang kala, butuh banyak waktu untuk mencerna kisah getir korban kekerasan.
Seiring usainya perbincangan, suara Suster Eustochia mulai melambat. Akhir diskusi tak membuat saya lega. Saya dipenuhi beragam pertanyaan, mengapa dan bagaimana kekerasan bisa terus terjadi? Apa yang sudah saya perbuat untuk meringankan beban mereka? Mengapa negara seolah tak punya daya berhadapan dengan pelaku kekerasan? kapan perempuan dan anak-anak tak lagi menjadi korban? Berharap mendapat jawaban, saya pandangi wajah Suster Eustochia dengan lekat. Wajah penuh kedamaian yang telah memberikan rasa aman dan asa bagi banyak perempuan. []