• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Childfree adalah Bentuk Kemerdekaan Bagi Perempuan

Childfree bukan trend, ataupun gerakan. Childfree adalah keputusan personal. Boleh ditiru boleh juga diabaikan. Semua kembali kepada individu. Dan memiliki keturunan bukan hanya satu-satunya tujuan pernikahan

Rofi Indar Parawansah Rofi Indar Parawansah
23/08/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Childfree

Childfree

741
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir banyak sekali yang “memperbincangkan” masalah Childfree. Yang kalau kita search di google arti childfree itu sendiri maka akan langsung muncul yang menurut wikipedia, bahwa Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Penggunaan istilah Childfree untuk menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di akhir abad 20. Karena itu, banyak orang yang berasumsi bahwa Childfree artinya tidak ingin memiliki anak sama sekali.

Hal ini sebetulnya bukanlah hal baru, hanya saja semakin hangat karena kata childfree keluar dari seorang Gita Savitri, influencer yang cukup vokal menyuarakan hal-hal yang berkaitan dengan isu perempuan. Sebagai subjek kehidupan, perempuan berhak mengambil keputusan atas semua yang ada pada dirinya. Kita tahu bahwa hamil, melahirkan dan menyusi merupakan kodrat perempuan. Hal yang tidak bisa ditukar dengan kaum laki-laki, bersifat terberi.

Kodrat inilah yang dianggap sebagai kewajiban dan ciri keperempuanan. Maka, apabila seorang perempuan tidak memenuhi kodratnya ia akan dianggap sebuah produk gagal yang tidak berharga. Begitulah budaya patriarki menempatkan perempuan dalam kehidupan.

Sayangnya, perempuan zaman sekarang sudah beberapa langkah lebih maju. Kesadaran akan banyaknya peran yang bisa dimainkan oleh perempuan melahirkan sebuah keinginan untuk memegang kendali atas dirinya sendiri. Bahwa peran perempuan bukan hanya mengurus ruang domestik dan menjadi mesin pencetak keturunan, ada banyak ruang publik yang menanti dan harus kita isi.

Gita Savitri bukanlah satu-satunya perempuan yang memilih childfree. Bisa jadi ada banyak perempuan yang sebetulnya enggan untuk memiliki keturunan. Hanya saja tidak berani bersuara. Kita tidak bisa langsung menjustifikasi bahwa yang memilih childfree berarti menentang kodratnya sebagai perempuan, mempermainkan salah satu tujuan dari pernikahan hingga menuduh melawan kehendak Tuhan.

Baca Juga:

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

Islam dan Persoalan Gender

Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

Menurutku pilihan Gita untuk childfree ini realistis. Pertama, Gita dan suami tinggal di luar negeri dengan segudang kesibukan yang mereka jalankan. Memiliki anak tentu hanya akan membuat semua yang mereka rencanakan berantakan. Toh, walaupun hanya berdua mereka selalu terlihat bahagia, dengan saling mendukung satu sama lain.

Memiliki anak perlu kesiapan dari keduanya, pengalaman biologis laki-laki tentu berbeda dengan perempuan. Jika laki-laki cukup sekali melakukan pembuahan, maka perempuan harus mengalami sembilan bulan masa kehamilan. Dilanjutkan dengan proses persalinan yang sangat menyakitkan. Lalu mengASIhi hingga usia 2 tahun idealnya.

Lho, katanya sudah lebih maju? ASI bisa difreez atau ganti formula, anak bisa di asuh oleh orang lain.

Betul, hanya saja tetap semuanya tidak bisa berjalan dengan semudah itu. Justru, karena mereka yang memutuskan untuk childfree lebih tahu bahwa ada beberapa hal yang membuatnya merasa tidak mampu dan tidak mau untuk melibatkan anak dalam kehidupan yang dijalaninya saat ini.

Alasan kedua, memiliki anak dengan situasi pandemi seperti sekarang bukan hal mudah. Ditambah belum ada kepastian kapan semuanya akan kembali normal.

Ketiga, setelah dewasa kita semua akan semakin sadar bahwa memiliki keturunan bukanlah hal yang mudah. Perlu kesiapan mental, finansial dan lingkungan yang mendukung. Membesarkan seorang anak bukan hanya dengan mencukupi semua kebutuhannya, tapi memastikan keberlangsungan hidupnya seumur hidup.

Ketiga opini di atas terdengar pesimistis dan egois. Dan itu memang benar.

Bagaimana bisa tidak merasa pesimis, ketika banyak anak terlantar dan menjadi korban kekerasan karena “hadir” tidak diinginkan oleh kedua orangtuanya. Atau, dia memang hadir atas dasar keinginan, hanya saja langsung dibentuk untuk memenuhi ambisi keduanya. Belum lagi jika anak dijadikan sebuah investasi, jaminan hari tua nanti. Banyak lho, diantara orang yang kontra dengan childfree ini karena khawatir tidak ada yang menjaminnya saat tua nanti.

Tidak ada salahnya menjadi egois, dengan melawan arus. Di saat pasangan lain berlomba-lomba melahirkan keturunan, Gita dan suami justru ingin fokus pada diri mereka dan cita-citanya. Bukankah kita sering sekali berkata bahwa letak kebahagian seseorang tidak bisa disamaratakan. Setiap pasangan punya goals nya masing-masing. Ada yang ingin memiliki keluarga yang bahagia, dengan jumlah anak yang lebih dari dua. Ada juga yang merasa cukup dengan hanya tinggal berdua bersama pasangan.

Childfree bukan trend, ataupun gerakan. Childfree adalah keputusan personal. Boleh ditiru boleh juga diabaikan. Semua kembali kepada individu. Dan memiliki keturunan bukan hanya satu-satunya tujuan pernikahan.

Ketika seorang perempuan berani mengatakan bahwa ia tidak ingin memiliki keturunan. Ia bukan sedang menistakan pemberian Tuhan. Melainkan menyuarakan keinginan atas pilihan yang ingin dia jalankan. Dan menurut saya, itu adalah salah satu bentuk kemerdekaan perempuan. Karena tidak semua perempuan berani speak up apa yang dia inginkan. Bisa jadi ada beberapa perempuan di luar sana yang dibungkam dan dipaksa untuk selalu bereproduksi dengan dihantui dalil yang mengatas namakan perintah agama dan patriarki. []

Tags: anakChildfreeGenderGita savitrikeadilankeluargaKesetaraanorang tuapatriarki
Rofi Indar Parawansah

Rofi Indar Parawansah

Perempuan belajar menulis

Terkait Posts

Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Harapan Orang Tua

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

12 Juli 2025
Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Disabilitas

    Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID