Dalam satu kesempatan saya ditanya Ibu Nyai Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, “Mengapa kencing bayi perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI dimasukkan najis mutawassithah, sementara kencing bayi laki-laki yang juga hanya mengkonsumsi ASI dikategorikan najis mukhaffafah?
Mubadalah.id – Saya menjawabnya sederhana. Pertama, pembagian najis itu bersifat ijtihadiyah (hasil pemikiran para ulama). Jika ulama Syafi’iyyah membagi najis ke dalam tiga jenis, najis mukhaffafah (ringan), najis mutawassithah (pertengahan) dan najis mughallazhah (berat), maka Imam Abu Hanifah membaginya pada dua bagian; najis mughallazhah dan najis mukhaffafah.
Menurut Abu Hanifah, najis mughalladah adalah najis yang diitetapkan nash Qur’an atau Hadits dan tidak ada nash lain yang menyangkal kenajisannya (ماورد النص على نجاسته ولم يرد نص أخر معارض له). Dan najis mukhaffafah adalah najis yang diperselisihkan karena ada dalil yang saling bertentangan satu sama lain. (ما تعارض نصان فى طهارته ونجاسته).
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (dua murid Imam Abu Hanifah) berkata: najis mughallazhah adalah najis yang disepakati para ulama (ما اتفق العلماء على نجاسته), sedangkan najis mukhaffafah adalah najis yang diperselishkan para ulama (ما اختلفوا فيه). Kedua, tak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa kencing manusia adalah najis (لا خلاف بين الفقهاء على نجاسة البول من كل حيوان غير مأكول اللحم، ولو كان إنسانًا).
Yang diperselisihkan adalah apakah sama kenajisan kencing bayi laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI? Dan bagaimana cara menyucikan dua najis tersebut?
Ada tiga pendapat tentang itu. Pertama, Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berkata bahwa kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan adalah sama: dua-duanya dibasuh dengan air. Pendapat ini didasarkan pada keumuman hadits: (اكثر عذاب القبر من البول). Kedua, Imam Auza’i juga menyamakan kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Hanya cara menyucikannya beda; bukan dibasuh atau diguyur air, tapi cukup diperciki air (rassyu al-ma’). Ketiga, Al-Imam al-Syafii dan Ahmad ibn Hanbal membedakan keduanya. Jika kencing bayi laki-laki diperciki air, maka kencing bayi perempuan diguyur air (gaslu al-ma’).
Imam Syafii mendasarkan pendapatnya pada hadits yang mengisahkan Ummu Qais membawa bayi laki-lakinya untuk ditahnik Nabi. Ketika sang bayi kencing di pangkuan Nabi, maka Nabi memercikkan air pada najis tersebut.
Nabi bersabda (بول الذكر ينضح وبول الجارية يغسل). Di saat yang lain Nabi bersabda (انما ينضح من بول الذكر ويغسل من بول الانثى). Intinya, kencing bayi laki-laki cukup diperciki air dan bayi perempuan diguyur air.
Atas dasar itu, Ulama Syafi’iyah memasukkan kencing bayi laki-laki ke dalam najis mukhaffafah dan kencing bayi perempuan walau hanya mengkonsumsi ASI ke dalam najis mutawwasithah. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, karena kenajisan kencing manusia didasarkan pada nash yang sharih, maka kencing manusia (bayi atau dewasa, laki dan perempuan) tergolong najis mughallazhah dan bukan najis mukhaffafah. []