Mubadalah.id – Suatu hari seorang ayah dan anak perempuannya naik mobil. Ayah yang jadi sopir. Keduanya akan ke kota untuk suatu keperluan. Nah ketika tiba di perempatan jalan mobil berhenti.
Anak : Mengapa kita berhenti ayah?
Ayah : Karena lampu merah sudah menyala
Anak : Mengapa kalau lampu merah menyala harus berhenti?
Ayah : Kalau terus jalan, ditangkap polisi
Anak : Mengapa polisi harus menangkap?
Ayah : Karena melanggar peraturan.
Anak : ya, tapi mengapa?
Ayah : Sebab kalau diteruskan akan bisa membahayakan
Anak : Mengapa?
Ayah : Nanti bisa tabrakan, dan jalanan jadi semrawut, macet.
Ayah dengan sabar menjelaskan lagi: kita tidak boleh menyakiti orang lain. Sebagaimana kita juga tidak ingin disakiti. Apakah kamu mau disakiti?
Anak : Tentu tidak, ayah.
Ayah : Nah, begitu pula orang lain. Mereka tak ingin disakiti.
Nabi mengatakan:
اَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ
“Cintailah orang lain, sebagaimana engkau ingin dicintai”
Anak itu masih belum puas. Dia sangat kritis. Dia bertanya lagi: mengapa demikian?
Ayah: ya karena manusia itu sama.
Nah demikianlah proses dan cara menemukan ajaran kesalingan. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menyebutnya “Mubadalah”. Orang lain menyebutnya “Resiprokal” atau “Resiprositi”. Syeikh Syams al Tabrizi bilang “Tabadul”.
Tampak jelas ia berpijak pada ajaran fundamental Islam yakni kesetaraan manusia.
Gagasan dan ajaran untuk hidup dalam kesalingan ini sejatinya telah menjadi esensi ajaran agama-agama dan etika kemanusiaan. Para bijak bestari dari berbagai agama dan aliran spiritual menyerukan dikembangkannya etika kesalingan menghargai dan mencintai ini:
عَا مِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ اَنْ يُعَامِلُوكَ
“Perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan” Atau sebaliknya
وَلَا تُعَامِلِ النَّاسَ بِمَا لَا تُحِبُّ اَنْ يُعَامِلُوكَ
“Janganlah kau perlakukan orang lain dengan cara yang kau sendiri tidak menginginkannya”. []