Mubadalah.id – Sebagai perempuan yang tumbuh dan besar di tengah tradisi jawa dan kental akan nilai agama, awalnya mengira jika tradisi khitan perempuan yang berlangsung di masyarakat secara turun temurun adalah bagian dari ajaran agama yang berakulturasi dengan budaya setempat. Namun setelah membaca berbagai sumber literasi, salah satunya buku Fiqh Perempuan karya KH Muhammad Husein rupanya khitan perempuan merupakan produk budaya yang telah usang.
World Health Organisation pun menyatakan khitan perempuan merupakan bagian tindakan mutilasi yang dilarang atau FGM (Female Genital Mutilation) yang melanggar Hak Asasi Manusia. FGM ini bisa menyebabkan infeksi vagina, disfungsi seksual, infeksi saluran kencing, sakit kronis kemandulan, kista kulit, kompilasi saat melahirkan bahkan kematian.
Khitan dalam kamus bahasa Arab diartikan sebagai pemotongan quluf untuk laki-laki dan nawah untuk perempuan. Quluf adalah kulit yang menutupi hashafah (alat kelamin laki-laki), sedangkan nawah adalah kulit yang menyerupai lembing ayam jantan terletak di atas farji (alat kelamin perempuan).
Tradisi khitan perempuan berasal dari Mesir kuno sejak zaman Firaun, lalu menyebar di tanah Arab jauh sebelum Islam berkembang pesat. Penemuan mumi perempuan dengan klitoris yang terpotong pada abad 16 SM dan diperkuat dengan adaya relief-relief tentang FGM di Mesir yang berasal dari tahun 2800 SM menjadi bukti tradisi tersebut berkembang pesat di wilayah Mesir.
Di Islam sendiri, praktek khitan pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim di usia delapan puluh tahun. Sementara khitan perempuan pertama kali dilakukan oleh Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim, sekaligus juga menindik daun telinganya. Tindakan tesebut diyakini sebagai bentuk ritual penyucian jiwa. Maka tidak salah jika tradisi khitan dijumpai di zaman Mesir kuno. Mesir kuno adalah wilayah yang dihuni oleh orang Bani Israil dan keluarga Fir’aun. Bani Isra’il adalah keturunan anak kedua Nabi Ibrahim, yakni Nabi Ishaq.
Praktek khitan perempuan di Mesir kemudian menyebar ke wilayah benua Afrika. Lalu sampailah tradisi tersebut ke tanah Arab, khususnya kota Madinah. Rasulullah menjumpai tradisi khitan setelah berhijrah ke kota Madinah dan menasihatkan agar tidak dilakukan secara berlebihan. Jika berlebihan dan mengganggu reproduksi tentu saja Rasulullah melarangnya.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum khitan. Ada yang mengatakan wajib bagi lelaki dan perempuan. Ada yang mengatakan sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan pula wajib bagi lelaki, tetapi tidak wajib bagi perempuan.
Jika mengikuti mazhab Hanafi dan Maliki, khitan bagi laki-laki sunnah mua’akkadah (sunnah yang dekat kepada wajib) dan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan (yang kalau dilaksanakan) disunnahkan tidak berlebihan sehingga tidak terpotong bibir vagina. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, khitan adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan. Namun beberapa alasan yang dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi’i yang mendukung khitan wajib kebanyakan diperuntukkan oleh laki-laki.
Perbedaan pendapat ini kemungkinan besar didasarkan adanya intervensi tradisi dan budaya yang memengaruhi kebijakan pengambilan ijtihad ulama dalam menerima dan memahami teks-teks agama, apalagi tradisi khitan memang sudah mengakar masyarakat Yahudi, Arab, dan masyarakat lain sebelum Islam datang.
Sejauh ini, dari beberapa sumber menyebutkan kalau 100 hingga 130 juta perempuan telah dikhitan. Angka yang cukup fantastis. Rata-rata alasan mereka di khitan adalah untuk menjalankan perintah agama daripada alasan tradisi. Itu pun dilakukan pada saat bayi dimana sosok individu tersebut belum mampu menentukan sikap atas dirinya sendiri.
Dalam perspektif medis, ilmu kedokteran tidak pernah mengajarkan praktek khitan untuk perempuan. Teori khitan hanya diperuntukkan untuk laki-laki yang disebut teori “sirkumsisi”. Jadi belum ada standar khusus mengenai cara bagaimana mempraktekkan khitan perempuan. Bahkan ada rumah sakit yang tidak pernah memberikan aturan dan anjuran untuk melakukan khitan bagi bayi perempuan, kecuali permintaan tersebut dari pihak pasien.
Teknik pengkhitanan pun dengan melakukan penggoresan secara hati-hati dengan menggunakan kapas. Karena pada organ wanita terdapat pembuluh-pembuluh darah yang sangat sensitif, jika dilakukan sembarangan hal ini bisa berdampak negatif, salah satunya hilangnya sensitifitas rangsangan seksual dan itu termasuk memangkas hak asasi perempuan.
Tentu saja ini bisa dijadikan rujukan dalan menentukan kebijakan hukum tentang khitan perempuan. Bahwasanya melukai anggota badan/tubuh jika tidak ada maslahat yang kembali kepadanya maka hukum dasarnya adalah haram. Islam mengharamkan tindakan melukai diri sendiri dan atau orang lain.
Sesungguhnya kepuasan dan kenikmatan seksual secara paralel merupakan hak sekaligus kewajiban lelaki dan perempuan. Seperti dalam konsep Imam al-Ghazali, seseorang berhak memperoleh kepuasan dari istrinya dan berkewajiban memuaskan istrinya, begitu juga sebaliknya. []