“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Mubadalah.id – Begitulah bunyi dari konstitusi kita yang tertuang dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pendidikan merupakan hak dasar yang harus didapatkan oleh setiap elemen masyarakat, tanpa melihat latar belakang asal daerah, agama, ras, etnis, dan lain sebagainya. Dengan pendidikan, manusia akan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang nantinya berguna bagi kehidupannya.
Indonesia adalah negara yang memiliki luas wilayah sangat besar, tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mendistribusikan berbagai kebijakan dan programnya, agar setiap elemen masyarakat mendapatkan akses terhadap pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara. Salah satunya yaitu hak mendapatkan pendidikan yang layak.
Indonesia Opinion Festival melangsungkan diskusi virtual dengan tema “Pendidikan yang Menjangkau Mereka yang Rentan”, secara spesifik membahas tentang apakah pendidikan di Indonesia sudah menjangkau setiap elemen masyarakat, khususnya mereka yang tergolong ke dalam kelompok rentan.
Diskusi tersebut turut dihadiri oleh beberapa narasumber yaitu Yuni Chuzaifah yang merupakan pegiat HAM perempuan, juga sebagai komisioner purnabakti Komnas Perempuan, Alamsyah M. Djafar merupakan peneliti Wahid Foundation, Dwiyana Supriyatni seorang guru pendidikan khusus yang tergabung ke dalam Komunitas Guru Belajar Nusantara Jakarta Timur, dan Sahabat Pulau Indonesia.
Dari diskusi virtual tersebut, ada dua spektrum yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi dan permasalahan pendidikan di Indonesia dan apakah pendidikan telah berhasil menjangkau mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan. Kedua spektrum tersebut yaitu diskriminasi dan intoleransi, dan kesetaraan gender.
Spektrum pertama yaitu diskriminasi dan intoleransi yang masih mewarnai pendidikan di Indonesia. Bapak Alamsyah M. Djafar, dalam diskusi tersebut menyampaikan masih ada diskriminasi dan intoleransi yang terjadi dalam lingkungan pendidikan yang ada di Indonesia, baik yang dilakukan oleh guru ataupun siswa.
Ia menyampaikan, diskriminasi di sekolah seperti busana yang seringkali identik dengan salah satu simbol keagamaan mayoritas, akses terhadap tempat ibadah yang sulit jika menjadi siswa minoritas, dan sulitnya melibatkan diri dalam berbagai aktivitas yang ada di sekolah seperti OSIS dan menjadi ketua kelas.
Ibu Yuni pun menambahkan, akses pendidikan cukup sulit bagi penganut penghayat kepercayaan. Meskipun secara pendataan kependudukan telah diakui, hal tersebut tidak sepaket dengan pendidikan. Mereka masih mengalami kesulitan untu mendapatkan pengajaran agama mereka dan akhirnya tidak terpenuhi. Bahkan, terkadang mereka harus mengikuti agama lain agar nilai raportnya terisi.
Kemudian, terjadi pula tindakan-tindakan intoleran di sekolah seperti penyebutan non-muslim untuk siswa yang beragama selain Islam. Penyebutan non-muslim tersebut berpotensi melahirkan tindakan diskriminasi dan persekusi. Nahdlatul Ulama (NU) mendorong penyebutan nama agama dibandingkan “non-muslim”, jelas Bapak Alamsyah.
Berbicara tentang pendidikan kelompok rentan yang berpotensi mengalami diskriminasi dan tindakan intoleran, perlakuan tersebut tidak hanya berpotensi pada mereka yang tergolong ke dalam kelompok minoritas. Mereka yang termasuk ke dalam kelompok mayoritas pun dapat berpotensi mengalaminya.
Misalnya, sekolah-sekolah negeri di Jawa yang mana peserta didiknya mayoritas beragama Islam sehingga para siswa perempuan cenderung memakai jilbab sebagai busana sekolah. Mereka yang tidak berjilbab memiliki potensi mengalami perlakuan diskriminasi.
Menurut Bapak Alamsyah, kasus diskriminasi dan intoleransi pendidikan yang terjadi berkaitan dengan tata kelola pemerintah dan negara. Maka, problem terbesarnya ada pada regulasi, kebijakan, pengetahuan, dan paradigma penyelenggara pemerintah dan negara.
Sebetulnya, ada regulasi-regulasi yang baik seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang mendorong peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dll. Namun, di lapangan diterjemahkan menjadi sangat eksklusif dan cenderung condong terhadap agama tertentu yang jumlahnya mayoritas. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran yang sangat penting, tegas Alamsyah.
Spektrum kedua yaitu kesetaraan gender. Ibu Yuni Chuzaifah banyak memaparkan mengenai kelompok-kelompok rentan yang sulit mengakses pendidikan. Ada banyak sekali kelompok, salah satunya yaitu perempuan dan anak.
Pertama, dalam konteks perempuan adat. Anak-anak dari masyarakat adat, misalnya Kendeng yang mana mereka memilih untuk tidak sekolah formal, tetapi mereka memilih dan ingin anak-anak mereka dididik untuk mencintai semesta, alam, adat, di mana mereka belajar dari hutan dan dari kebun. Namun, sekarang mengalami kesulitan karena terjadinya proses penggusuran lahan, alih lahan, yang artinya sekolah mereka terenggut sehingga tidak lagi memiliki sekolah.
Kedua, perempuan korban kekerasan seksual dan perkawinan anak. Dengan kasus-kasus tersebut, akhirnya pendidikan anak pun terhenti. Ibu Yuni pun menyampaikan, saat ini mulai banyak modus yang dilakukan karena kritik terhadap perkawinan anak yang menghilangkan hak pendidikan anak.
Para pelaku perkawinan anak, banyak mengawini anak-anak mereka yang masih duduk di bangku SMP atau SMA, tetapi mereka tetap memberikan akses untuk anak-anaknya bersekolah. Sangat disayangkan, mereka tidak memahami bahwa ini bukan hanya tentang akses anak terhadap hak pendidikannya, tetapi juga tentang keterancaman hak seksualitas anak.
Ketiga, akses pendidikan bagi transpuan sebagai seksual minority. Pendidikan hak paling dasar yang melekat pada seseorang, tetapi akses pendidikan bagi transpuan sangatlah mahal, mereka kerap kali tersingkir. Jelas Ibu Yuni.
Dari paparan para narasumber yang hadir dalam diskusi virtual tersebut, kita dapat melihat bahwa nyatanya masih banyak permasalahan yang dihadapi baik oleh pemerintah dan masyarakat khususnya dalam hal pemenuhan hak pendidikan.
Pertanyaan tentang “Sudahkah Pendidikan di Indonesia Menjangkau Semua?”, penulis kembalikan kepada pembaca untuk menjawabnya. Satu hal yang penting untuk disampaikan adalah, kita semua memiliki peran, baik kecil maupun besar untuk mendorong kemudahan akses pendidikan bagi semua kelompok, terutama kelompok rentan agar pendidikan dapat menjangkau semua.
Tentu, upaya yang paling besar ada di tangan pemerintah. Namun, kita sebagai warga negara dan manusia yang memiliki tanggungjawab untuk menebarkan nilai-nilai kemanusiaan dapat mengambil peran yang kita mampu lakukan. []