Mubadalah.id – Dalam satu episode sejarah penyebaran Islam, ketika mengalami fase “‘Am al-Hazn” Rasulullah lontang-lanting mencari suaka politik agar bersedia melindungi Nabi Muhammad dan umat muslim dari kebrutalan orang-orang musyrik Makkah yang mayoritas. Sebab pembela utama beliau, Abu Thalib telah wafat. Sebagian umat muslim beliau kirim ke Abbesenia.
Usaha-usaha yang dilakukan Nabi Muhammad tidak berjalan mulus, ada banyak rintangan yang melintang pada awal sejarah penyebaran Islam. Sementara beliau sendiri pergi ke penduduk Thaif yang berujung penolakan dan pengingkaran. Saat itulah, Tuhan memberikan solusi kepada utusannya, dengan mempertemukan kepada masyarakat Yatsrib (suatu saat dikenal Madinah).
Sekitar 620 Masehi atau tahun ke-11 pada awal sejarah penyebaran Islam, semenjak Nabi diutus pada musim panas, ada enam orang dari Yatsrib datang ke Makkah untuk berkunjung. Mereka semua sudah mengetahui pribadi Muhammad dari sebagian kaum Yahudi di Yatsrib. Akhirnya, Nabi Muhammad berjumpa dengan mereka di ‘Aqabah. Setelah terjadi pertemuan semuanya memeluk Islam.
Setahun kemudian, ada sekitar 12 orang yang berkunjung untuk melakukan bai’at kepada Nabi. Di antara orang-orang itu, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sejarah penyebaran Islam, ‘As’ad bin Zarurah, Auf bin Harits, Rafi’ bin Malikm Qutbah bin Amir, Jabir bin Abdillah Ubadah bin Shamit dan Abul Haitsam. Ada pula dua perempuan yang ikut melakukan sumpah setia kepada Nabi, yaitu Nusyaibah binti Ka’ab dan Asma Amr bin Adiy. [al-Buti, Fikih Sirah: 130-137]
Emigrasi dari Mekah ke Madinah
Masyarakat yang berbaiat kepada Nabi Muhammad sangat mengharapkan emigrasi Nabi dari Makkah menuju Madinah. Mereka memiliki kepercayaan dan harapan kepada Nabi sebagai rekonsiliator antara dua suku yang sedang konflik internal. Karena di Madinah sendiri sedang mengalami instabilitas sosial sebab konflik kesukuan yang berkepanjangan antara suku ‘Aus dan Khazraj. Mereka baru saja menghadapi perang Bu’ats.
Ketika Nabi merasa memiliki aliansi dari Yatsrib barulah memerintahkan kaumnya yang tinggal di Makkah beremigrasi menuju Madinah supaya terhindar dari penistaan-penistaan kalangan mayoritas. Berbondong-bondonglah umat muslim, pada awal sejarah penyebaran Islam itu, untuk hijrah secara sembunyi-sembunyi kecuali Sayyidina Umar yang secara tegas menantang kaum musyrik Mekah. Inilah embrio kemenangan umat muslim. [al-Thabari, Sirah al-Thabari: 352/2]
Di Makkah, hanya tinggal Nabi, Abu Bakar dan Sayyidina Aly. Tinggal menunggu wahyu turun untuk emigrasi menyusul para sahabat yang sudah lebih dulu ke Madinah. Pada masa itulah, kaum musyrik mengetahui perpindahan kaum muslim ke Madinah maka para pembesar musyrik mengadakan pertemuan guna melakukan perundingan tentang perpindahan tersebut. Perundingan orang musyrik itu menghasilkan satu konsensus untuk membunuh Nabi Muhammad di waktu yang telah ditentukan.
Maka Jibril, akhirnya datang membawa kabar menyangkut niat jahat orang musyrik. Jibril melarang Nabi tidur di malam yang akan diserang, sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam. [al-Hisyam. Tarikh Ibnu Hisyam: 1/155]
Pada sore hari sebelum malamnya akan diserang, Nabi sudah melakukan emigrasi ditemani Abu Bakar. Konon, beliau sempat dikejar dan bersembunyi di gua Tsur selama tiga hari. Perjalanan Rasulullah, di awal sejarah penyebaran Islam ini mengandung banyak cobaan dan sekaligus fenomena ajaib. Namun, rintangan itu berhasil di lewati sebab bimbingan Tuhan dan Nabi akhirnya sampai ke tempat yang menjadi tujuan yaitu Madinah.
Beliau tidak langsung ke Madinah namun masih tinggal di Quba’ terlebih dulu baru setelah itu pergi menuju Madinah menunggangi onta. Masyarakat baik yang pribumi maupun yang asing menyambut beliau dengan sangat antusias. Mereka banyak menawarkan tempat, namun rumah Abu Ayyub menjadi pilihan untuk singgah.
Proyeksi Asas Negara Baru (Madinah) dan Mayoritas Muslim
Pertama-tama yang dilakukan oleh Nabi saat awal sejarah penyebaran Islam di Madinah, adalah menghapus fanatisme kesukuan yang berpotensi konflik. Oleh karena itu, Nabi memulai dengan mempersatu dan mempersaudarakan antara masyarakat asing (muhajirin) dan pribumi asli (madinah).
Istilah Kesukuan itu lalu di ubah menjadi bahasa yang lebih umum yaitu umat. Ibnu Hisyam membeberkan beberapa orang yang dipersaudarakan oleh Nabi. Diantaranya, Jakfar bin Abi Thalib diersaudarakan dengan Mu’adz bin Jabal, Hamzah dengan Zaid bin Haritsah mantan budak Rasulullah, Abu Bakar dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utban/Itban bin Malik dan Abdurrahman bin ‘Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin al-Rabi’. Mayoritas kalangan Anshar yang dipersaudarakan oleh Nabi yaitu dari bani Khazraj. [Syirah Ibnu Hisyam: 1/504]
Menurut Muhammad Said Ramadhan al-Buti, pada awal sejarah penyebaran Islam, mempersaudarakan antara golongan pribumi (Anshar) dengan Muhajirin merupakan pondasi untuk membangun suatu Negara baru di Madinah. Karena setiap Negara tidak mungkin tegak dan eksis tanpa adanya persatuan ummat. Sementara persatuan ummat tidak akan tercapai kecuali ada hubungan kekeluargaan berupa persaudaraan dan cinta di antara sesama.
Oleh karena itulah, tindakan mempersaudarakan ini merupakan salah satu prinsip penting untuk mendirikan suatu Negara dan umat muslim menjadi mayoritas. [al-Buti, Fikih Syirah: 162-163]
Prinsip lainnya yang harus diproyeksikan adalah tempat perkumpulan yaitu Masjid karena bisa dijadikan tempat untuk berdiskusi baik persoalan Agama maupun Negara. Satu hal yang tidak kalah penting adalah undang-undang yang bisa mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat, baik kaum protelariat dan bangsawan, ataupun umat islam dan non muslim, komunitas Yahudi dan kristen yang hidup di Madinah.
Kelak, undang-undang yang berhasil mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang ras, suku maupun Agama, pada awal sejarah penyebaran Islam dikenal dengan Piagam Madinah (Shahifatul Madinah). Di depan undang-undang Madinah inilah seluruh masyarakat semuanya sama tanpa pandang bulu, baik muslim maupun non-muslim.
Karena Nabi sukses mendamaikan perpecahan yang sempat terjadi diantara suku-suku, Nabipun dipercaya sebagai pemimpin mereka dalam skala nasional dan internasional. Kota yang dulunya bernama Yastrib lalu di ubah menjadi kota Madinah sebagai Negara yang didirikan orang Islam, pada awal sejarah penyebaran Islam di kota tersebut. Akan tetapi Nabi tidak menyangsikan keberadaan umat yang sudah hidup sebelum Nabi Hijrah.
Di Madinah itulah Nabi mulai menyusun kekuatan sebagai tameng dari gangguan musuh. Di Madinah pulalah, sejarah penyebaran Islam berkembang menjadi mayoritas, setelah di Mekah menjadi komunitas minoritas yang dijadikan bulan-bulanan mayoritas musyrik. []