Mubadalah.id – Pada 1351 M, sejak Hayam Wuruk memerintah Majapahit, Lasem menjadi satu kerajaan vasal di bawah Majapahit. Dan, sebagaimana M. Akrom Unjiya dalam Lasem Negeri Dampoawang, bahwa sepanjang Lasem sebagai kerajaan vasal dipimpin oleh lima orang raja yang semua adalah perempuan. Artikel ini akan membahas Dewi Indu; Bhre Lasem Pertama yang adil dan bijaksana.
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk., dalam Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya, menjelaskan bahwa Lasem termasuk salah satu wilayah Negara Agung atau Negara Utama yang merupakan bagian dari inti imperium Majapahit yang dikelola oleh bhre (kerabat dekat raja). Jadi, meskipun Lasem berada di bawah Majapahit, namun memiliki otonomi sendiri di bawah pemerintahan seorang Bhre Lasem.
Ada pun daftar Bhre Lasem adalah Dewi Indu, Nagarawardhani Bhre Lasem Jeng Alemu, Kusumawardhani Bhre Lasem Jeng Ahayu, Bhre Lasem IV (merupakan istri Bhre Tumapel Kertawijaya), dan Bhre Lasem V (merupakan putri Bhre Pandan Salas atau Brawijaya V). Semua Bhre Lasem adalah perempuan. Hal ini tentu menggambarkan bahwa kala itu perempuan memainkan peran strategis dan penting dalam kemajuan Lasem, bahkan juga dalam kemajuan Majapahit sebagai kerajaan pusat.
Diah Ayuningrum dalam “Akulturasi Budaya Cina dan Islam dalam Arsitektur Tempat Ibadah di Kota Lasem, Jawa Tengah,” menjelaskan bahwa wilayah Kerajaan Lasem dahulu tidak sebatas di Kota Lasem saat ini, melainkan hingga meliputi Pacitan di pesisir selatan sampai muara Bengawan Solo dekat Surabaya.
Dewi Indu atau Duhitendu Dewi merupakan Bhre Lasem pertama yang memerintah sejak 1351 M. Dia juga dijuluki sebagai Bhre Bathari. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa bhre merupakan kerabat dekat raja, maka Dewi Indu jelas adalah anggota keluarga Kerajaan Majapahit.
M. Akrom Unjiya menjelaskan bahwa Dewi Indu menurut naskah Nagarakertagama merupakan sepupu Hayam Wuruk, namun dalam naskah Pararaton disebutkan bahwa Dewi Indu adalah saudari kandung Hayam Wuruk atau anak dari Tribhuwana Tunggadewi dan Kertawadana.
Dalam hal ini, menurut M. Akrom Unjiya bahwa kemungkinan sumber yang lebih valid adalah Nagarakertagama yang ditulis lebih awal (kurang lebih 200 tahun) daripada Pararaton.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan Dwi Ratna Nurhajarini, dkk., yang menjelaskan kalau Dewi Indu adalah putri dari Wijayarajasa (Bhre Wengker) yang menikah dengan Rajadewi (Bhre Daha). Rajadewi dan Tribhuwana, ibu Hayam Wuruk, merupakan putri dari Kertarajasa atau Raden Wijaya yang mendirikan Majapahit. Sehingga, menurut versi ini, hubungan kekerabatan antara Dewi Indu dan Hayam Wuruk adalah sebagai saudara sepupu.
Dewi Indu menikah dengan Rajasa Wardhana yang merupakan Raja Matahun, salah satu negara vasal Majapahit. Dengan adanya hubungan pernikahan antardua penguasa, sehingga dua kerajaan tersebut memiliki hubungan yang baik.
Pada 1382 M, Dewi Indu meninggal. Sebagaimana dijelaskan M. Akrom Unjiya bahwa jasad Dewi Indu diperabukan di Candi Malad. Sebelum meninggal, Dewi Indu juga sempat menjadi Bhre Daha (Kediri) menggantikan ibunya, Rajadewi, yang telah wafat.
Sepak karir Dewi Indu tidak hanya menjadi Bhre Lasem, namun diketahui bahwa dia juga termasuk satu dari sembilan orang dalam Dewan Pertimbangan Agung Majapahit. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, menjelaskan bahwa Dewan Pertimbangan Agung mempunyai tugas memberikan masukan kepada sri nata (Raja Majapahit) dalam menghadapi berbagai persoalan yang sulit.
Para anggota Dewan Pertimbangan Agung merupakan sanak saudara sri nata. Hal ini jelas menggambarkan bahwa sosok Dewi Indu bukan sekadar pemain figuran dalam kemajuan imperium Majapahit umumnya, dan Lasem khususnya.
Lasem termasuk kerajaan yang menjadi salah satu penopang stabilitas ekonomi, sosial, dan politik Majapahit di Nusantara. Naskah Carita Lasem, yang ditulis oleh Raden Panji Khamzah (1858), menggambarkan keadaan Lasem di masa Dewi Indu sebagai “kota raja yang nyaman, tertata dengan asri dan indah.
Keratonnya terletak di bumi Kriyan menghadap ke arah laut dengan agungnya. Di dalamnya terdapat kompleks-kompleks bangunan, balai kembang yang luas, Taman Kamala Puri dan Taman Sari yang elok nan indah. Di sepanjang jalan-jalan negeri (tumbuh) berbagai pepohonan… membuat keteduhan.
“Pemukiman penduduk tertata dan terpola dengan bentuk joglo berbahan kayu jati yang depannya berteras, halamannya luas serta dipenuhi dengan pepohonan dan bunga-bunga. …di pedesaan kesuburan tanah olahan para penduduk dengan hasil persawahan dan perkebunan melimpah.
Dewi Indu (Duhitendu Dewi) adalah seorang ratu yang sangat dicintai rakyatnya dan ia pun dijuluki sebagai titisan dari Sang Bathari. Ia memerintah Kerajaan Lasem dengan adil dan bijaksana, pengayom rakyat dengan kekuasaannya yang lurus lagi kuat.” (Terjemahan dikutip dari M. Akrom Unjiya).
Dari naskah Carita Lasem dapat diketahui bahwa masa Dewi Indu termasuk era kemahsyuran Kerajaan Lasem. Hal ini tentu tidak lepas dari kecakapan kepemimpinan sang Bhre Lasem yang kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang raja. Dia memerintah dengan dasar keadilan dan kebijaksanaan. []