• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mengenalkan Toleransi Pada Anak Usia Dini

Toleransi ialah terkait mengurangi ego. Atau kesadaran bahwa setiap orang itu pada dasarnya baik. Dengan itu ketika berbeda pendapat dengan yang lain, hubungan (baik pertemanan atau keluarga) akan tetap baik-baik saja

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
14/05/2022
in Personal
0
Mengenalkan Toleransi Pada Anak Usia Dini

Mengenalkan Toleransi Pada Anak Usia Dini

211
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id –  Artikel ini akan membahas tentang mengenalkan toleransi pada anak usia dini. Beberapa waktu yang lalu, saya belajar bersikap toleransi dan berbagi, tepatnya ketika saya pulang ke kampung halaman di saat momentum Idulfitri, saya dan adik laki-laki saya beserta keluarga pergi ke sebuah tempat rekreasi. Rutinitas ini memang sering dilakukan di setiap momentum lebaran. Kadang-kadang ‘ngaliwet’ (makan-makan) di hutan, atau ke pantai seperti dalam momentum rekreasi pasca lebaran tahun ini.

Sebenarnya, yang paling saya tunggu ketika rekreasi tahunan ini adalah saya hendak melihat secara langsung perkembangan adik saya yang saat ini naik ke kelas delapan. Saya memang tidak melihat secara langsung bagaimana dia tumbuh dan berkembang hingga sebesar saat ini, dikarenakan saya tinggal di Jogja bersama istri yang masih menyelesaikan pendidikan magisternya.

Namun, melihat dia semakin dewasa, banyak perasaan senang, sedih, bahagia yang bercampur. Apalagi ketika melihat dia berani memutuskan untuk tidak merokok, di saat banyak teman seusianya yang sudah merokok meski secara sembunyi-sembunyi.

Selain itu, setiap kali saya pulang kampung, akan ada segudang cerita yang siap ia ceritakan kepada saya. Melihat ia menjadi remaja yang sedang senang-senangnya bermain game online dan sosial media adalah hal mengagetkan sekaligus memberi ruang untuk saya supaya tetap was-was.

Bagaimana tidak? di usia sekolah mengah seperti itu banyak sekali kasus bullying. Baik karena salah satu temannya memiliki fisik yang ‘berbeda’, hingga karena masalah kecil seperti merek HP yang sedang ‘tidak modern’. Dalam maraknya fenomena seperti ini, jika dibiarkan dan tidak diawasi maka bisa berakibat fatal. karena setuju atau tidak, ini terkait saling menghargai dan ‘bersikap toleransi’.

Baca Juga:

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

Membangun Kehidupan yang Sehat Dimulai dari Keluarga

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Tidak harus terlalu jauh untuk membicarakan ‘bersikap toleransi’. Keluarga merupakan pancang kecil namun fundamental dalam belajar serta membangun sikap menghargai dan menghormati atas apa yang berbeda, serta apa yang tidak sesuai dengan kita. Sehingga, tidak dapat dipungkiri, keluarga merupakan sarana pertama dalam pembentukan nilai-nilai toleransi, khususnya bagi anak.

Mengenalkan Toleransi Pada Anak Usia Dini

Saya memang belum menjadi seorang ayah. Saya dalam hal ini, berdiri sebagai seorang kakak laki-laki yang secara tidak langsung juga memiliki tanggung jawab besar terhadap tumbuh kembang adik saya. Mengenai perilaku, nilai, kebiasaan, dan tata bahasa yang mengiringi adik saya setiap harinya, saya berharap ia tumbuh menjadi seseorang yang saleh dan baik. Itu saja.

Setidaknya, hal sederhana yang dapat dilakukannya ialah memulai bersikap baik dalam menerima dan menghargai. Dua hal tersebut merupakan pondasi dasar supaya ia dapat dengan bijaksana ketika bersikap dan berperilaku.

Saya mengatakan hal demikian karena di kampung halaman saya masih banyak orang-orang angkuh. Mereka mencela dan menghakimi secara kasat mata tanpa tahu atau mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.Meskipun masih banyak orang baik di sana, akan tetapi, dalam hal ini, orang-orang angkuh tadi tetap harus disikapi dengan  cara bijaksana.

Karenanya, belajar bersikap baik dalam menerima terhadap apa yang dilakukan orang lain kepada kita adalah keharusan. Meskipun terkadang menyakitkan. Sebab, kalau kita menanggapi suara-suara sumbang yang berkeliaran tersebut tidak akan ada habisnya. Meskipun perlu ruang penerimaan dan hati yang begitu luas. Kadang-kadang, diam menjadi salah satu cara menyelesaikan masalah.

Selain itu, saya juga mencoba mengajarkan adik saya untuk mulai belajar bersikap baik dalam menghargai. Contoh kecilnya, menghargai ketika temannya tak sengaja melukainya melalui sikap atau perkataannya. Adik saya harus tahu bahwa setiap manusia itu pada dasarnya ‘baik’, mereka memiliki hati nurani, meskipun terkadang menjengkelkan.

Selalu Menggebu Bercerita

Tanpa perlu ditanya, adik saya pasti selalu menceritakan apa yang dialaminya ketika di sekolah ataupun di asrama pondok tempat dia mengaji. Jujur, saya tidak pernah secara langsung menyuruhnya untuk menjadi dewasa.

Dahulu, saat dia masih duduk di bangku sekolah dasar, saya hanya menghimbau supaya dia rajin mengaji dan salat. Dan yang paling saya tekankan ialah mengajarkannya bagaimana cara bersyukur dengan keadaan ekonomi keluarga yang sangat pas-pasan. Bersyukur masih memiliki ayah yang gigih bekerja meski hanya sebagai pedagang es keliling, dan ibu sebagai pemilik warung kecil di kampung, jangan malu, harus disyukuri, sesederhana itu.

Kemarin, dia menceritakan kejadian di asrama pondoknya. Salah satu temannya, menertawakan adik saya ketika ia terjatuh dan telapak kakinya sedikit sobek hingga mengeluarkan darah. Bukannya membantu atau meminta pertolongan orang lain, temannya itu malah asik tertawa. Ia bercerita dengan nada kesal dan sedikit tersedak-sedak.

Selain itu, ia juga menceritakan kejadian yang tak kalah menarik. Dimana ketika adik saya tidak mengerjakan PR sedangkan ada satu temannya yang selesai mengerjakan PR tersebut. Adik saya merasa jengkel, jadi jika temannya tersebut sudah mengerjakan PR, dengan lantang ia akan berteriak “Bu Guru ada PR”. Namun, jika dia juga tidak mengerjakan PR sedangkan yang lainnya sudah mengerjakan, dia dengan vokal akan mengatakan “tidak ada PR Bu Guru”.

Selama di pantai hingga perjalanan pulang, adik saya bilang kalau sangat sebal dengan temannya itu. Dengan memegang pundak mungilnya, saya mengatakan, “Begitulah, kamu akan bertemu dengan berbagai macam karakter orang. Dan kamu harus baik menerimanya.”

Saya begitu takjub ketika adik saya secara spontan bilang: “Iya a, aku ga sakit hati kok, karena juga udah tahu kalau itu wataknya dia”. Begitulah, adik saya memang sering kali menyebut kata ‘watak’ daripada kata ‘sifat’ untuk menggambarkan kepribadian teman-temannya atau pun orang-orang di sekitarnya.

Saat itu ia sedang menikmati perasaan yang sedang tidak baik dan meluapkan unek-unek yang dia alami. Adik saya mungkin menerima dengan baik perkataan yang diucapkan temannya, meskipun memang membuat dia jengkel. Namun, dia juga belajar menghargai karena dia tahu sifat dasar temannya. Ia menghargai. Dari situ, ia telah belajar bertoleransi melalui langkah sederhana.

Belajar Bersikap Toleransi dari Hal-Hal Sederhana

Sikap toleransi dapat dimulai dari lingkungan kecil dan ada di sekitar kita. Salah satunya melalui keluarga, dalam hal ini ialah adik saya, dengan menyebarkan suatu sikap penghormatan, (menerima dan menghargai) kepada orang lain.

Toleransi ialah terkait mengurangi ego. Atau kesadaran bahwa setiap orang itu pada dasarnya baik. Dengan itu ketika berbeda pendapat dengan yang lain, hubungan (baik pertemanan atau keluarga) akan tetap baik-baik saja.

Pertemuan saya dan adik saya kini sangat terbatas, mungkin setahun hanya bisa berjumpa sebanyak dua kali atau bahkan sekali saja. Namun, saya selalu memantau dan menayakan perkembangannya ke ibu dan bapak di kampung.

Apakah dia rajin salat? Ngaji? Cari kayu bakar? Atau silaturahmi ke rumah-rumah saudara. Dan yang tak pernah terlewat, apakah dia betah di pondok dan di sekolahnya? Apakah teman-temannya bersikap baik? Atau apakah adik saya bersikap baik terhadap teman-temannya?

Saat saya menulis tulisan ini, saya sudah kembali pulang ke rumah mertua saya. Saya menulis ini dengan sedikit meneteskan air mata, harapan saya, suatu saat adik saya dapat membaca tulisan ini, dan menjadi anak laki-laki yang bijaksana.

Demikian penjelasan terkait mengenalkan toleransi pada anak usia dini. Semoga bermanfaat.[]

Tags: Anak Salehkeberagamankeluargatoleransi
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • amar ma’ruf

    Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID