Mubadalah.id – Salah seorang tokoh Muslim yang namanya selalu tersebut dalam perbincangan mengenai isu-isu perempuan dalam Islam adalah Qasim Amin. Ia adalah seorang pemikir Muslim asal Mesir yang bergelar Pelopor Gerakan Pembebasan Perempuan (Rā’id Harakah Tahrīr al-Mar’ah) di dunia Arab. Kesadaran pemikiran Qasim Amin tentang isu-isu perempuan tidak bisa lepas dari kondisi zamannya, yang waktu itu mulai memunculkan pemikir-pemikir kritis awal seperti Rifa’ah al-Tahthawi.
Qasim Amin bahkan satu generasi dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Yakni dua tokoh guru-murid yang sangat terkenal memiliki pandangan progresif pada masanya, termasuk dalam isu-isu perempuan. Selain itu, latar belakang pendidikan Qasim Amin di Prancis (tepatnya di fakultas Hukum Universitas Montpellier) juga tak kalah menentukan corak pemikirannya yang progresif.
Pemikiran progresif pada masa masa Qasim Amin masih sangat terbatas. Sehingga ketika ia menyuarakan narasi pembebasan perempuan yang terdengar asing dan tidak biasa, masyarakat mengecamnya sebagai pembuat bidah. Namun Qasim Amin sudah siap menerima setiap konsekuensi yang akan ia hadapi, sebab ia tahu apa yang dia suarakan adalah kebaikan bagi masyarakat.
Pemikian Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar’ah
Qasim Amin menulis dalam bagian awal buku Tahrīr al-Mar’ah kira-kira: “Masyarakat akan berkata bahwa apa yang saya suarakan hari ini adalah bidah, maka saya katakan [‘memang] iya’, saya membawa sesuatu yang bidah, namun bukan dalam perkara agama Islam, melainkan dalam perkara adat-kebiasaan dan muamalah.”
Kalimat ini Qasim Amin tulis pada bagian awal bukunya mungkin sebagai disclaimer, bahwa apa yang ia tulis adalah sesuatu yang tidak menyalahi agama, sehingga masyarakat bisa membaca bukunya dengan lebih objektif dan tidak sinis, walaupun tentu saja ini sangat sulit.
Pemikiran Qasim Amin menggunakan istilah tahrīr (pembebasan) dalam bukunya Tahrīr al-Mar’ah mengindikasikan bahwa masyarakat yang Qasim Amin hadapi waktu itu sedang mengalami belenggu dan keterjajahan.
Qasim Amin tidak menggunakan istilah al-musāwāh al-jinsiyyah (kesetaraan gender) misalnya, mungkin selain karena masih belum masyhur penggunaannya, juga karena kata tahrīr (pembebasan) adalah istilah yang lebih berefek dalam menggerakkan emosi pembaca. Seakan-akan Qasim Amin sedang meneriakkan jargon “ayo kita bebaskan perempuan!”
Memang Qasim Amin dalam Tahrīr al-Mar’ah seakan-akan sedang berorasi dengan penuh semangat, bahasa yang ia gunakan sangat menggugah jiwa, namun ia tak lupa menyisipkan beberapa dalil serta analisis-analisis yang cukup mendalam sebagai landasan argumennya. Dengan metode penulisan dan bahasa seperti ini, Qasim Amin dapat menyampaikan gagasan-gagasan serta kritik-kritik yang ia tulis di bukunya tersebut sampai pada masyarakat dengan lebih cepat serta berkesan.
Tiga Pandangan Pemikiran Qasim Amin
Qasim Amin setidaknya mendiskusikan tiga tema besar dalam buku Tahrīr al-Mar’ah. Pertama, pendidikan perempuan. Kedua, hijab, dan Ketiga, hukum keluarga. Kita akan membicarakan bagaimana pandangan pemikiran Qasim Amin terhadap tiga tema ini secara ringkas di bawah ini.
Mengenai isu pendidikan, pemikiran Qasim Amin termasuk yang sangat keras mengkritik keterbelakangan pendidikan perempuan, khususnya di Mesir tempat ia tinggal. Menurut keterangan Qasim Amin, “masyarakat [Mesir] masih saja beranggapan bahwa mendidik perempuan bukanlah suatu kewajiban, bahkan mereka masih bertanya-tanya apakah mengajarkan perempuan membaca dan menulis itu adalah sesuatu yang dibolehkan oleh agama atau jangan-jangan ia adalah perkara haram?!”
Kutipan ini menandakan adanya paradigma mainstream di masyarakat bahwa mendidik perempuan bukanlah sesuatu yang urgen. Hal ini karena, dalam anggapan mereka, perempuan adalah makhluk yang memiliki “kodrat” pemalu dan taat. Kalau mereka akan mengenyam pendidikan ada ketakutan akan merusak kodratnya tersebut. Boleh jadi mereka akan berusaha untuk bertipu daya karena merasa diri sudah pintar.
Pendidikan dan kodrat perempuan menurut mereka adalah dua hal yang bertolak belakang, sehingga “kalau perempuan akan berpendidikan, maka pendidikannya itu tidak akan berkontribusi apa-apa kecuali pada kemahirannya dalam bertipu daya.”
Entah darimana anggapan yang sangat diskriminatif ini muncul sehingga membuat Qasim Amin begitu terheran. Menurutnya, “pengaruh pendidikan tidaklah mungkin hanya kemudaratan belaka.” Dalam pandangan pemikiran Qasim Amin, pendidikan justru akan meningkatkan harkat dan martabat perempuan serta akan menyempurnakan fungsi akal yang mereka miliki, terutama jika pendidikannya berbarengan dengan pengajaran akhlak.
Menjawab Tuduhan bagi Perempuan Berpendidikan
Anggapan bahwa pendidikan akan membuat perempuan berakhlak buruk hanyalah tuduhan belaka. Pendidikan dan akhlak adalah dua hal yang berbeda dan tidak berkaitan sebab-akibat secara negatif. Sehingga jika perempuan akan mengenyam pendidikan, dan mendapat ajaran akhlak yang luhur, mereka bisa menjadi orang terdidik dan berakhlak luhur di saat yang sama.
Tuduhan bahwa “jika perempuan terdidik maka ia akan lihai bertipu daya” kini sudah menjadi alasan klise untuk melarang perempuan berpendidikan. Pada zaman sekarang ini, kritik yang Qasim Amin sampaikan satu abad yang lalu sudah mendapat persetujuan orang lain seluruh dunia Islam. Hampir tidak ada lagi orang yang menganggap “pendidikan perempuan sama dengan tipu daya”.
Secara normatif perempuan sudah mendapat izin bahkan dianjurkan untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Secara praktis perempuan sudah banyak yang masuk sekolah-sekolah dan sampai perguruan tinggi. Orang yang masih menyetujui tuduhan “pendidikan perempuan sama dengan tipu daya”,mungkin hanya para pendukung paham konservativisme Islam seperti Taliban. Atau para lelaki yang merasa takut tersaingi oleh perempuan. Yang pertama penyebabnya karena pemahaman keagamaan. Sedang yang terakhir karena sifat gengsi. Atau sebetulnya adalah salah satu cerminan dari jiwa patriarki.
Kritik Pemikiran Qasim Amin terhadap Pendidikan Perempuan
Selain mengkritik pemahaman masyarakat yang tidak memberikan izin kepada perempuan untuk berpendidikan. Qasim Amin juga mengkritik, sebagian kecil masyarakat yang memberikan izin pendidikan perempuan hanya di rumah saja. Kritik ini sebetulnya bukan hanya mencakup isu pendidikan murni, tapi juga isu hak perempuan untuk keluar rumah.
Menurut Qasim Amin, memberi izin perempuan untuk berpendidikan tapi tidak memperkenankannya keluar rumah adalah toleransi cacat. Bukan hanya karena perempuan memang memiliki hak untuk keluar rumah. Tapi juga karena pendidikan mencakup segala hal yang tidak bisa ia dapatkan di dalam rumah. Mendidik perempuan di dalam rumah tidak akan membuatnya memahami ilmu yang ia dapat secara sempurna. Dan tidak akan membuatnya memiliki peran produktif bagi masyarakat.
Kata Qasim Amin “membatasi pendidikan perempuan akan mengungkung mereka dalam dimensi yang sempit. Mereka tidak bisa melihat, mendengar, dan mengetahui kecuali apa yang mereka dapatkan dengan mengira-ngira. Hal ini juga akan menghalangi mereka [berinteraksi] dengan dunia luar. Dunia yang hidup yaitu dunia berpikir, bergerak, dan beramal.”
Isu selanjutnya yang menjadi objek kritik pemikiran Qasim Amin dalam Tahrīr al-Mar’ah, adalah mengenai penutup wajah bagi perempuan. Seperti penyebutan cadar, niqab, burka, sering keliru dengan istilah “hijab”. Pada awal pembahasan, Qasim Amin memberikan sebuah pendahuluan mengenai kesalahpahaman masyarakat dalam mempersepsi makna hijab.
Ia menulis kira-kira: “saya selalu menyetujui [dikenakannya] hijab [bagi perempuan] dan saya menganggapnya sebagai salah satu fondasi adab yang harus dipatuhi; hanya saja saya mendukung hijab dalam arti yang telah ditetapkan syariat, yang dimana hijab syariat tersebut bertentangan dengan hijab yang selama ini dikenal masyarakat [yaitu hijab yang bermakna penutup muka].”
Kritik Qasim Amin terhadap Hijab
Dalam bagian ini Qasim Amin mengkritik sikap beragama masyarakat yang kadang terlalu kaku dalam beberapa hal. Mereka sangat suka dengan hukum-hukum yang terkesan ketat dan kadang berlebih-lebihan. Termasuk dalam hal hijab, Qasim Amin menduga bahwa pandangan ketat masyarakat itu bersumber dari kaidah al-ihtiyāth (kehati-hatian). Sehingga kadang mereka, saking hati-hatinya, malah melewati batas. Dan karena melewati batas, makna hijab sebagaimana ajaran syariat menjadi terdistorsi dan kehilangan makna aslinya.
Qasim Amin membandingkan antara sifat berlebih-lebihan masyarakat Barat dengan masyarakat Timur-Islam mengenai aturan “hijab”, bahwa “orang-orang Barat telah berlebihan dalam membolehkan keterbukaan [pakaian] bagi perempuan sampai pada titik dimana sangat sulit untuk menghindarkan perempuan dari godaan-godaan syahwat.
Sedangkan kita [orang-orang Timur-Islam] telah berlebihan juga dalam menuntut ketertutupan [pakaian perempuan] sampai kita menganggap bahwa perempuan hanyalah alat atau perhiasan [yang tidak boleh diumbar] belaka. Dan antara kedua pandangan tersebut di atas ada pandangan moderat, dan itulah hijab syar’i [yang sebenarnya].”
Pandangan moderat tentang hijab syar’i tersebut adalah pandangan jumhur ulama dalam memahami surat al-Nūr ayat 31, bahwa perempuan memiliki aurat yang harus ditutupi kecuali yang biasa nampak, yaitu wajah dan telapak tangan (hal ini dikuatkan oleh hadis Asmā’ yang diriwayatkan oleh Abu Dāwūd bahwa perempuan balig “tidak boleh menampakkan badannya kecuali bagian ini dan ini, maksudnya wajah dan telapak tangan”).
Sebagian ulama bahkan masih berbeda pendapat mengenai aurat pada bagian tubuh yang lain seperti pergelangan tangan dan kaki. (bersambung)