Mubadalah.id – Banyak umat Islam masih merasa kesulitan, secara teologis, untuk memiliki relasi yang Islami dengan orang yang berbeda agama. Padahal, jika kita merujuk sumber-sumber biografi Nabi Muhammad Saw, baik al-Qur’an, kitab-kitab hadits, maupun sejarah kehidupan (sirah), kita bisa menemukan teladan akhlak Nabi Saw dengan orang yang berbeda agama.
Mulai dari kehidupan masa kecil, remaja, dewasa, pada saat memperoleh wahyu, berdakwah, dan ketika berhijirah lalu menetap di Madinah sampai akhir hayat Nabi Muhammad Saw. Tulisan ini akan membagi dua fase utama dalam kehidupan Nabi Saw, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Kali ini untuk fase Mekkah.
Pengalaman Sebelum Wahyu
Semua orang di lingkungan Nabi Saw, sebelum datang wahyu, tentu saja beragama sesuai dengan nenek moyang masing-masing. Di Mekkah saat itu, hampir mayoritas penduduknya menuhankan Allah Swt, tetapi sambil menyembah berhala. Beberapa orang, dengan jumlah sangat sedikit, beriman pada agama Yahudi atau pada agama Kristen. Beberapa yang lain, beriman secara tauhid, atau mengesakan Allah Swt, yang disebut sebagai hunafa (orang-orang yang lurus), tetapi tanpa terikat dengan agama tertentu.
Nabi Muhammad Saw tentu saja bergaul dengan masyarakat sekitar. Semua sumber sejarah memastikan bahwa relasi Nabi Saw dengan mereka sangat baik, terpercaya, jujur, dan selalu menolong orang. Keluarga, tetangga, dan masyarakat seringkali menitipkan barang mereka, untuk disimpan, bahkan setelah Nabi Saw memperoleh wahyu, dan mereka tetap masih tidak beriman dengan Islam yang dibawa Nabi Saw.
Dengan perilaku ini, Nabi Saw dikenal dengan julukan al-Amin. Atau, orang yang jujur, amanah, dan terpercaya. Pernyataan Sayyidah Khadijah ra, tentang akhlak Nabi Saw dengan orang yang berbeda agama, sangat jelas mengenai hal ini. Selalu berkata benar, tidak berbohong, amanah, jujur, menyambung persaudaraan, menghormati tamu, dan menolong orang (Sahih Bukhari, no. 5005). Akhlak inilah yang membuat Sayyidah Khadijah ra jatuh cinta.
Pada usia 20-an tahun, Nabi Muhammad Saw menyaksikan dan mendukung traktat Hilf al-Fudhul, yang mengikat para kabilah untuk saling menghormati, saling menolong, tidak membunuh, dan tidak mudah tersulut perang. Pada usia 35 tahun, Nabi Saw dipercaya para tetua kabilah untuk mendamaikan pertengkaran mereka, tentang siapa yang paling berhak memindahkan batu hitam mulia (Hajar Aswad) akibat banjir bandang.
Dengan akhlak Nabi ini, Sayyidah Khadijah ra merekrut Nabi Muhammad Saw untuk mengelola usaha ekspor impornya. Dan karena akhlak inilah, Sayyidah Khadijah ra, yang berusia 40 tahun, melamar Nabi Muhammad Saw, pada saat uisa 25 tahun, untuk menjadi suaminya. Akhlak Nabi Saw adalah al-Amin dengan semua orang, yang berbeda-beda agama, di Mekkah yang menyembah berhala, di perjalanan berdagang dengan berbagai orang, dan di Syria yang banyak penganut agama Kristen.
Setelah Menerima Wahyu
Apakah akhlak Nabi Saw kepada yang berbeda agama berbeda setelah menerima wahyu? Sama sekali tidak. Nabi Saw tetap sebagai al-amin, yang jujur, amanah, terpercaya, dan suka menolong orang. Justru, kekuatan akhlaq inilah yang menjadi daya tarik orang-orang menjadi beriman dan mendukung dakwah Nabi Muhammad Saw. Sayyidah Khadijah dengan tegas menyatakan hal demikian, ketika Nabi Saw merasa galau dengan beban dan tanggung-jawab kewahyuan ini.
Sikap ini juga yang para sahabat ikuti, terutama Abu Bakar ra. Sehingga, ketika keimanannya dibenci dan banyak orang-orang kafir Quraish memusuhi, Abu Bakr ra mendapat dukungan dan terlindungi beberapa tetua yang lain, untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Ini semua, karena kekuatan akhlak kepada orang-orang yang berbeda agama sekalipun. Jujur, suka menolong, menghormati tamu, dan menyambung pesaudaraan (Sahih Bukhari, no. 2341).
Nabi Saw tidak memusuhi siapapun, hanya karena berbeda agama. Yang Nabi Saw sesali hanyalah sikap permusuhan mereka dan tindakan kekerasan yang mereka lakukan kepada orang-orang yang masuk Islam. Tiga putri Nabi Saw, yaitu Ruqayyah ra, Umm Kultsum ra, dan Zainab ra, menikah dengan orang-orang yang tidak beriman dengan kenabian beliau.
Tetapi Nabi Saw hanya meminta suami Ruqayyah ra dan Umm Kultsum, bernama Utbah dan Utaibah, untuk menceraikan, karena sikap permusuhan mereka kepada Nabi Saw. Bukan karena ketidak berimanan mereka kepada Islam yang dibawa Nabi Saw.
Sementara suami Zainab ra, bernama Rabi’ bin al-Ash, sekalipun tidak beriman, tetap memiliki relasi yang baik dengan Nabi Saw. Karena itu, Nabi Saw tidak mengusiknya, tetap menghormati, dan memiliki hubungan yang baik dengannya. Sampai akhirnya, Rabi’ bin al-Ash ra, masuk Islam, sekitar 3 atau 4 tahun setelah Nabi hijrah ke Madinah. Artinya, sekitar 15 tahun, setelah ada agama Islam, Nabi Saw tetap memiliki hubungan yang baik dengan menantunya yang tidak (belum) beriman.
Eksperimen Dakwah Mekkah
Ketika Nabi Muhammad Saw diutus, tentu saja semua orang belum beriman. Lalu, dengan kekuatan akhlak Nabi Saw, beberapa orang mulai beriman dan masuk Islam. Yang tidak beriman, ada yang memusuhi secara keras dan ada yang tidak memusuhi. Bahkan ada yang memberi dukungan secara penuh, sekalipun tidak beriman. Akhlak Nabi Saw dengan orang yang berbeda agama, pada fase Mekkah ini, selalu berbuat baik dan sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan.
Bahkan, Nabi Saw melarang para sahabat untuk bersikap buruk, apalagi melakukan permusuhan dengan mereka yang tidak beriman. Sekalipun mereka menerima hinaan dan siksaan dari orang-orang Quraish. Beberapa di antara mereka harus meregang nyawa, seperti Sumayyah ra dan suaminya Yasir ra. Kisah Mus’ab bin Umar ra, yang beriman dan membuat ibunya marah besar. Allah Swt memintanya untuk tetap berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama ibunaya (QS. Luqman, 31: 15).
Karena akhlak inilah, Nabi Muhammad Saw, selalu memperoleh dukungan pada masa-masa sulit. Seperti dukungan dan perlindungan dari Muth’im bin Adiy, ketika semua tetua Quraish sepakat untuk memboikot dan mengusir Nabi Saw dari Mekkah. Nabi Saw juga memperoleh dukungan yang sangat besar dari sang paman, Abu Thalib, yang dalam riwayat sejarah Sunni masih tetap tidak beriman di akhir hayatnya.
Nabi Saw menyesali dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan paman lain, bernama Abu Lahab, bukan karena ia tidak beriman. Tetapi karena permusuhannya yang sangat keras, menghina, memfitnah, bahkan melakukan berbagai tindak kekerasan. Sementara dengan paman lain, bernama Abbas, sekalipun tidak beriman, Nabi Saw tetap memiliki relasi dan akhlak yang baik. Abbas baru masuk Islam di akhir kehidupan Nabi Saw.
Ketika Islam sudah besar dan berkuasa di Madinah dan Mekkah. Namun, selama Abbas belum beriman, Nabi Saw sama sekali tidak menunjukkan sikap permusuhan. Bahkan, ada riwayat Nabi Saw meminta para sahabat untuk tidak membunuhnya pada saat perang Badar dan Uhud, sekalipun dia berada di pihak musuh Quraish, karena sikap baiknya terhadap Nabi Saw dan umat Islam. Yaitu, memberi dukungan informasi dan logistik secara diam-diam.
Sejarah Nabi Menjalin Relasi dengan Orang yang Berbeda Agama
Catatan sejarah mengenai berbagai delegasi yang datang pada fase Mekkah adalah adalah sangat kentara mengenai akhlak Nabi Saw dengan orang yang berbeda agama. Menghormati, mendengar, mengajak, dan berbuat baik dengan mereka. Ketika mereka beriman, Nabi Saw bersyukur. Ketika tidak, Nabi Saw tetap memiliki relasi yang baik dengan mereka. Delegasi Kristen Najran, misalnya, ada yang beriman dan ada yang tidak. Delegasi Hirah dari Irak, memilih tidak beriman, sekalipun tetap hormat kepada Nabi Muhammad Saw.
Momentum paling penting dalam hal ini adalah eksperimen hijrah ke Habasyah, atau Etiopia. Lebih dari 70 sahabat Nabi Saw, secara bergelombang, eksodus ke Etiopia untuk mencari suaka. Rajanya, bernama Najasyi menerima dan menyambut umat Islam dengan baik. Dia beragama Kristen dan masyarakatnya semua Kristen. Para sahabat hidup dengan perlindungan dan kebaikan mereka di tanah Etiopia. Nabi Saw memuji Raja Najasyi dan memiliki relasi yang baik, sekalipun dia tidak beriman.
Relasi para sahabat dengan orang-orang yang berbeda agama di tanah Etiopia ini bisa menjadi eksperimen tersendiri tentang hidup di negara yang mayoritasnya tidak beragama Islam. Bahkan, bisa menjadi sumber hukum fiqh. Yang jelas, Nabi Saw dan para sahabat puas dan memiliki hubungan yang kuat dan baik, sekalipun orang-orang Etiopia yang beragama Kristen tetap dengan agama dan hukum yang mereka pilih sendiri.
Demikianlah di antara sumber inspirasi Islam, tentang akhlak Nabi Saw dengan orang yang berbeda agama yang tetap al-amin. Bersikap jujur, amanah, terpercaya, baik, dan suka menolong ornag. Kita akan lanjutkan pada fase sejarah Nabi Saw berikutnya, yaitu ketika berada di Madinah. []