Mubadalah.id – Setiap bulan haji tiba, aku selalu teringat nama seorang perempuan : Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Dikisahkan, sesudah melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Ismail, Siti Hajar ditinggal suaminya sendirian di tempat yang gersang dan sepi di dekat “rumah Allah” (Bait Allah). Al-Quran menyebut :
بواد غير ذی زرع عند بيتك المحرم
Artinya : “Di sebuah lembah gersang dekat rumah yang dimuliakan”.
Nah, saat Siti Hajar sedang di lembah, tiba-tiba Siti Hajar mendengar suara tangis bayi Ismail dalam nada yang memilukan. Tangisan itu telah menggetarkan hatinya sehingga membuatnya cemas. Ia segera berdiri meninggalkan Ismail, melangkahkan kakinya dan berlari-lari kecil menuju bukit Shafa dan terus lari ke bukit Marwah pulang pergi, mencari setitik air, sambil tak henti-hentinya memohon pertolongan Allah dengan hati yang luruh. Itu dilakukan sebanyak 7 x. Jeritan tangis dan teriakan mohon pertolongan manusia tak didengar.
Ibnu Katsir seorang penafsir besar melukiskan peristiwa ini, “Adalah Siti Hajar, seorang perempuan yang pulang pergi antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air bagi anaknya. Allah kemudian memberinya pertolongan dengan memancarkan air dari bawah tanah yang disentuh kedua kakinya di kamarnya. Ia mengucapkan kata “tham” “tham”, “tham” (makanan, makanan, makan)”.
Dari kata itu, air yang memancar itu dikemudian hari disebut air “Zamzam”. Sebuah sumber mata air yang bersih dan tak pernah kering sepanjang masa dan menjadi obat dari banyak penyakit. Sejarah ritual Sa’i memperlihatkan dengan jelas sosok seorang perempuan yang tabah, tidak kenal lelah, penuh ketulusan dan rasa cinta. Air adalah simbol sumber kehidupan manusia dan alam.
Perjuangan Siti Hajar mencari air merefleksikan perjuangan perempuan mempertahankan kehidupan manusia. Siti Hajar bahkan tidak berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan bagi manusia (anaknya) yang lemah. Bahkan, apa yang pada masa lalu diperjuangkan Siti Hajar itu kini bermanfaat bagi miliaran orang di dunia sepanjang masa.
Salah satu hal yang menarik adalah pemilihan tokoh perempuan dalam kisah sa’i ini. Dalam konteks cerita di atas Siti Hajar adalah sosok perempuan dengan beban ganda karena dia membesarkan anaknya seorang diri tanpa kehadiran suami.
Bahkan, Siti Hajar digambarkan sebagai perempuan berstatus rendah. Karena dia adalah hamba sahaya (budak) berkulit hitam dari Ethiopia. Namun, ketabahan Hajar menjalani hidup menunjukkan bahwa dia adalah perempuan yang luar biasa.
Seorang pemikir kontemporer, Ali Syari’ati, memperkenalkan Siti Hajar sebagai seorang perempuan yang bertanggung jawab, seorang ibu yang penuh cinta, seorang diri, mengembara, mencari, menahan sakit, gelisah, kehilangan pelindung, tidak punya tempat bernaung, tiada rumah, terasing dari kaumnya, tak berkelas, tak punya ras, dan tak berdaya; namun meskipun diliputi segala kekurangan ini, ia penuh harapan. Cintalah yang membuatnya hidup penuh gairah dan optimis.
Dari kisah ini, tampaknya Allah tengah membela perempuan. Dia melakukan pembelaan terhadap Siti Hajar ketika masyarakat mencampakkan dengan menganggap status sosialnya rendah. Allah menolongnya dengan mengabulkan doa yang dipanjatkannya, memohon air. Allah menganugerahinya air dan bukan yang lain karena air adalah sumber kehidupan.
Salah satu ayat al-Qur’an Allah menyatakan, “Wa Ja’alna min al-Ma’i Kulla Syai-in Hayy,” (dan Kami jadikan dari air segala yang hidup). Jelaslah sudah bahwa Hajar adalah sosok perempuan yang memegang peran sangat besar bagi kehidupan manusia dan alam. Hajar adalah perempuan yang berkorban untuk menyelamatkan kehidupan manusia, semata-mata karena ia mencintai kemanusiaan. []