Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, tepatnya Kamis 21 Juli 2022 saya menerima undangan menjadi pemateri dalam kegiatan FGD terkait kesetaraan gender di kampus UIN Fatmawati Soekarno Bengkulu. Dari nama kampusnya saja sudah membuat hati saya tertarik, dan tergerak untuk datang. Karena sependek ingatan saya, di kampus ini satu-satunya nama perempuan tersematkan sebagai nama perguruan tinggi Islam Negeri. Kegiatan tersebut terselenggara oleh PSGA Fatwamati Soekarno pimpinan Pak Ahmad Syarifin.
Selain saya yang mewakili Mubadalah.id, hadir pula Mbak Tiasri Wiandani dari Komnas Perempuan. Adapun tajuk dalam FGD tersebut adalah “Penguatan Relasi Gender bagi Lembaga Kemahasiswaan UIN FAS Bengkulu.” Sehingga dalam penyampaian materi, saya lebih menekankan pada aspek tantangan mewujudkan kesetaraan gender, dan bagaimana strategi untuk menjawab ketidakadilan tersebut.
Gambaran Ketidakadilan Gender di Indonesia
Gambaran kualitas hidup perempuan Indonesia sendiri terlihat pada beberapa aspek, antara lain; Pertama, aspek kesehatan. Dalam bidang kesehatan dan status gizi perempuan sampai saat ini masih menjadi prioritas utama dan memprihatinkan. Terlebih di masa pandemi satu tahun silam ini, di mana perempuan mempunyai peran penting sebagai ujung tombak ketahanan pangan keluarga.
Kedua, aspek pendidikan. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan, akan nampak semakin kecil partisipasi perempuan. Hal ini terlihat dari keterlibatan dan partisipasi perempuan yang mengenyam pendidikan. Di tingkat sekolah dasar, jumlah perempuan dan laki-laki seimbang, bahkan lebih banyak. Tetapi semakin naik ke atas hingga tingkat doctoral akan nampak jumlah perempuan semakin berkurang.
Ketiga, pada aspek ketenagakerjaan. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan digambarkan dengan tiga U, yakni Unskill, Uneducated, Unprotection. Tidak heran kalau jenis pekerjaan yang mereka geluti hanya berkisar pada 3 D, hakni dirty, difficult, dan dangerous, seperti PRT, buruh kasar dan perempuan dilacurkan (pedila).
Keempat, aspek ekonomi. Peningkatan partisipasi perempuan dalam usaha ekonomi produktif, terutama melalui program perluasan kesempatan kerja. Program ini mendorong terciptanya lapangan kerja dengan menggalakkan kewirausahaan. Peran perempuan masih sedikit untuk memperoleh peluang kerja dan berusaha, serta rendahnya akses terhadap sumber daya ekonomi, seperti teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja juga masih terbatas.
Kelima, aspek hukum. Posisi perempuan di bidang hukum saat ini masih sangat lemah dan terdiskriminasi terutama dalam kasus kekerasan seksual. Lalu Keenam aspek HAM (Hak Asasi Manusia). Ketimpangan gender dalam bidang HAM muncul dalam bentuk penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi hak dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Masalah penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan sering terjadi, terutama terkait dengan perdagangan perempuan, dan pelacuran yang umumnya muncul dari berbagai faktior terkait, seperti dampak negatif urbanisasi, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
Ketujuh, aspek politik. Posisi penting perempuan dalam berbagai lembaga pemerintahan, badan legisltaif dan yudikatif masih lemah. Kurangnya akses perempuan di bidang politik, karena selama ini politik selalu diasumsikan sebagai dunia yang “kotor”, “keras” dan “maskulin”. Dan hal itu sangat tercermin pada sistem politik kita yang masih mengandalkan perilaku kekerasan, sehingga perempuan merasa tidak nyaman berada di dalamnya.
Strategi Mewujudkan Kesetaraan Gender
Pertama, pendekatan individual. Yakni ada peningkatan kesadaran diri, intelektualitas, keahlian hidup, kemandirian ekonomi, dan pola relasi yang positif bagi perempuan. Sementara individu laki-laki harus meningkatkan kesadaran diri tentang maskulinitas dan pola relasi yang positif dengan perempuan.
Kedua, pendekatan struktural melalui penegakan hukum, penguatan institusi, dan penyediaan kebijakan-kebijakan serta peraturan-peraturan yang memastikan adanya kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi. Termasuk di dalamnya, tindakan khusus sementara yang mencakup akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan manfaat yang sama dan adil bagi laki-laki dan perempuan dalam semua tahapan pembangunan.
Ketiga, pendekatan kultural melalui serangkaian kegiatan edukatif yang mencerahkan dan menyadarkan masyarakat, seperti diskusi, pelatihan, seminar, workshop dan kegiatan seni budaya. Kegiatan tersebut sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan, serta reinterpretasi agama. Upaya mengubah dan merekonstruksi nilai-nilai budaya, dari budaya patriarki ke budaya resiprositi.
Melalui kegiatan yang telah digagas oleh PSGA UIN FAS Bengkulu ini, saya berharap tidak hanya berhenti pada tataran wacana atau diskusi tentang kesetaraan gender. Terlebih dengan kehadiran peserta perwakilan organisasi kemahasiswaan kampus, baik laki-laki mapun perempuan, regulasi pengarustamaan gender benar-benar bisa terimplementasikan dengan baik. Bagaimana menciptakan ruang aman, akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang setara bagi seluruh warga kampus.
Sementara itu, Mbak Tias dari Komnas Perempuan lebih banyak mengupas soal bagaimana pencegahan implementasi UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Terakhir, Pak Ahmad Syarifin mensosialisasikan peran dan fungsi PSGA di kampus. Lalu bagaimana mahasiswa bisa pula mengakses unit layanan terpadu sebagai upaya pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual jika terjadi di lingkungan kampus. []