Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa sering kita jumpai kenyataan kandasnya rumah tangga karena poligami.
Terkadang istri pertama yang harus nyingkir, kadang istri kedua yang menarik diri. Tak jarang terjadi upaya saling menyingkirkan antara istri.
Di tengah-tengah itu semua, anak terseret-seret dalam pusaran kemelut dan perseteruan.
Semangat menghindarkan perceraian dan perseteruan dalam poligami itulah yang melatarbelakangi mengapa dalam UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ada aturan tentang izin poligami (pasal 3 ayat 2, pasal 4, dan 5), sekali pun pada dasarnya UU ini menganut monogami (pasal 3 ayat 1).
Dengan persetujuan istri, Nyai Badriyah menyebutkan, poligami akan dilakukan tidak merusak rumah tangga yang sudah terbangun karena istri rela.
Inilah, lanjutnya, upaya jalan tengah hukum Indonesia dalam menyelesaikan masalah poligami yang faktanya banyak membawa masalah dan penderitaan bagi perempuan dan anak.
Adanya keharusan izin poligami dalam hukum positif Indonesia, walau tetap menyisakan masalah bagi istri, ternyata masih belum bisa diterima kalangan pro poligami.
Alasannya, menurut mereka, poligami adalah bagian dari hak beragama yang tidak boleh negara batasi.
Lebih lanjut, izin poligami tidak ada ajarannya. Izin materi tentang izin poligami ini pun pernah Mahkamah Kontitusi gelar di penghujung dekade 2000-an.
Hasilnya, MK memutuskan menolak permohonan tersebut. Tidak ada hak konstitusional warga negara yang melanggar dalam ketentuan ini, termasuk yang mengeklaim sebagai hak beragama.
Sebaliknya, izin poligami adalah perlindungan atas hak konstitusional warga negara yang rentan terhadap ketidakadilan, yakni istri dan anak-anak. (Rul)