Mubadalah.id – Fakta mengejutkan terungkap dari berita seorang ibu depresi lalu bunuh diri di Pinrang Sulawesi Selatan pada Senin 19 September 2022. Ia ditemukan tewas gantung diri, dengan sebelumnya meracuni dua anak laki-lakinya hingga meregang nyawa. Melansir dari berbagai pemberitaan di media, korban memilih jalan pintas itu karena terjerat hutang di bank dan pegadaian.
Sebelum meninggal, korban ibu depresi tersebut juga menyampaikan wasiat lewat rekaman suara dengan bahasa Bugis. Seseorang bernama Ibhe Ananda berusaha menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Berikut isi rekaman yang sudah diartikan ke Bahasa Indonesia:
Bapak ..
Saya bawa Anakmu
Agar tidak ada lagi yang menyusahkanmu…
Sisa anakmu yang besar kamu jaga, sayangi dia seperti anakmu yang kecil ini kamu sayangi..
Anak-anakmu yang kecil ini menunggumu di surga. Kalau saya tidak perlu kamu tunggu. Saudara-saudaranya anakmu saja, bersama neneknya
Bapak semangatki’, karena masih ada anakmu dua orang ini yang aku tinggalkan sama kamu..
Biarlah yang kecil ini saya bawa, agar tidak menyusahkan kamu nanti.. Karena anakmu ini juga sering sakit..
Jika nantinya saya pergi, jangan takut untuk tetap tinggal di rumah ini, saya tidak akan menghantui dan mengganggumu
Silahkan tinggallah di sini
Jika ada aneh-aneh yang kita lihat jangan takut dan tetaplah tinggal..
Gelap penglihatanku
Saya sudah minum racun
Anak-anakmu juga sudah pergi
Saya mendahulukan anakmu pergi agar lebih nyaman menunggumu di surga, karena anak-anakmu ini tidak ada dosa-dosanya..
Jadi saya membawanya karena kamu sangat menyayangi anak-anakmu. Sebenarnya saya sudah tidak tahan menjalani semua ini, daripada saya lebih sakit lagi karena Hutang Piutang ini..
Sudah saya catat tagih dan bayarlah, orang-orang ini baik-baik semua
Seharian ini saya memikirkannya
Karena hari ini saya janji untuk keluarkan emasnya Hj. Dahlia tetapi tidak jadi..
Saya minta maaf sama Bapak
Saya sangat menyayangimu
Sayangi juga anak anakmu
Dan jangan terlalu memikirkan anak anakmu ini yang pergi, karena mereka akan menunggumu di sana. Tidak usah terlalu memikirkannya lagi..
Sudah mulai gelap penglihatanku
Pak saya minta maaf
Sebenarnya niat saya ingin selalu bersamamu, tetapi apa boleh buat…
Anak anakmu sudah pergi…
Pergi ke surga menunggumu di sana
Pergilah ke Kak Amir, saya sudah bicara subuh tadi, minta tolong sama dia karena dia orang baik.. Pasti dia tolong kamu..
Saya bohongi kamu, bilang nanti akan diberi uang sama Ikka. Karena tidak tahu bagaimana lagi cara saya, seharian saya berpikir teruss..
Ya Allah.. uhuhuhu… (mengatur Nafasnya)
Maafkan Hambamu..
Maafkan Hambamu..
(Voice Note dimatikan kemudian gantung diri)
Ibu Depresi Tanggung Jawab Siapa?
Kondisi yang dialami Ibu depresi dengan beragam persoalan rumah tangga, menjadi hantu yang terus membayangi kebahagiaan keluarga. Semoga keluarga bahagia itu bukan mimpi semu belaka. Terlebih dengan harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, sementara keuangan keluarga tak lagi mencukupi dari penghasilan suami. Maka seringkali anak menjadi korban dari ketidakmampuan orang tua mengelola kebutuhan rumah tangga.
Rasanya tak adil jika ketakbecusan mengurus keluarga, mengasuh anak-anak dan mengatur urusan rumah tangga hanya kita bebankan pada sang Ibu. Tanpa melihat bagaimana keterlibatan peran Ayah untuk memberikan rasa aman, nyaman, perhatian, dan kepedulian pada keluarga.
Meski dalam pengakuan kasus di atas, sang suami menganggap keluarganya harmonis dan baik-baik saja. Tetapi seharusnya seorang Ayah itu, bukan hanya sosok kaku, yang berdiri di pintu seusai pulang kerja lalu meminta pelayanan purna.
Ibu depresi jelas menjadi tanggung jawab bersama kita semua. Bagaimana memberikan ruang aman bagi setiap perempuan, terutama Ibu yang mempunyai beban berlipat ganda. Ketika rumah sudah tak lagi menjadi ruang aman, maka pemerintah wajib menyediakannya lewat fasilitas konseling gratis, dan penunjang kesehatan lainnya.
Setiap orang yang berada dalam lingkaran dekat seorang Ibu yang terindikasi depresi, juga harus lebih peduli untuk mengajaknya berkomunikasi. Karena hanya dengan bicara kita jadi lebih tahu apa yang ia rasa. Meminjam kalimat dalam satu drama Korea yang sedang saya tonton, sesakit apapun luka yang kita alami, jangan pernah ditahan. Sebab luka itu akan menjadi trauma yang tak berkesudahan.
Ibu Depresi tak Bisa Kita Biarkan Sendiri
Seorang Ibu tidak bisa kita biarkan sendirian mengerjakan urusan rumah tangga, apalagi tanpa apresiasi dan penghargaan. Mereka bisa jenuh, stress, depresi dan suka marah-marah. Kondisi demikian akan jauh dari tujuan membangun keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah.
Karena itu laki-laki juga harus kita dorong untuk ikut terlibat dan lebih sering mengapresiasi kerja dan layanan istri sebagaimana juga istri mengapresiasi suami karena kerja dan layanan mereka. Mimpi “Rumahku Surgaku” harus kita bangun dengan semangat saling memahami dan saling tolong menolong satu sama lain.
Sebagaimana sudah diapresiasi bahkan Nabi Muhammad Saw contohkan. Laki-laki dalam perspektif Islam adalah terlibat dalam kerja-kerja domestik di dalam rumah tangga, mengurus dan melayani keluarga. Sebab, secara prinsip normatif dalam Islam, kerja-kerja rumah tangga dan juga keluarga adalah tanggung jawab bersama antara suami dan istri.
Relasi Kuasa dan Harga Diri
Terakhir, saya teringat dengan pertemuan diskusi bersama Direktur Rumah Kitab Ibu Lies Marcoes pada Kamis 14 Maret 2019 silam. Kata Ibu Lies, kuasa lelaki kita lihat dari seberapa tinggi pangkat. Sementara perempuan dari seberapa sering beranak pinak.
Dalam arti harga diri perempuan, kita akui atau tidak masih diidentikkan dengan keperawanan, kesuburan, dan keberhasilan mendidik anak. Padahal, banyak juga perempuan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak, atau membatasi jumlah anak dengan sekian alasan yang masuk akal.
Korelasinya apa dengan kasus ibu depresi? Intinya, perempuan untuk mencapai kuasa, ia kerap harus bekerja berkali lipat dari lelaki karena masih harus juga berjibaku dengan tubuh sendiri dan persoalan domestik keluarga. Sementara lelaki sudah siap berkompetisi di manapun tempatnya, dan kapan pun waktunya tanpa berpikir ulang tentang sekian hal terkait urusan domestik dan kesehatan reproduksi seksualnya.
Jadi, wahai Ibu, jangan pernah anggap remeh letihmu. Sudahi itu, karena ibu yang bahagia adalah cermin dari keberhasilan masa depan anak-anakmu di kemudian hari yang ingin kau nanti. []