Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa, secara fikih penggunaan pil penahan haid mubah (diperbolehkan), tapi kebolehan ini tentunya kembali kepada kondisi fisik setiap perempuan.
Jika pil penahan haid membahayakan diri dan kesehatan, seperti perdarahan, haid tidak teratur, sakit, pegal, ngilu dan sebagainya, maka pil penahan haid jangan digunakan.
Haid, kata Nyai Badriyah, adalah kodrat Allah Swt untuk kaum perempuan sehingga mereka boleh mengonsumsi pil penahan haid dengan syarat tidak merusak fisik dan kesehatan peremuan yang Allah Swt ciptakan.
Lebih lanjut, pil penahan haid ini menurut Nyai Badriyah, memang banyak menggunakan saat pelaksanaan ibadah haji.
Dalam ibadah haji, kata Nyai Badriyah, semua rukun haji bisa perempuan lakukan, walaupun dalam keadaan sedang haid. Namun yang tidak boleh perempuan lakukan saat haid adalah tawaf ifadah.
Rujukannya hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Aisyah Ra yang artinya “ Kami berangkat tidak ada maksud lain kecuali haji. Setelah kami sampai di Saraf, saya haid. Rasulullah Saw datang kepadaku sat aku sedang menangis.
Beliau bertanya, ‘Haidkah engkau?’ ‘Betul,’ jawabku.
Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya haid ini sesuatu yang sudah menjadi takdir Allah kepada putri-putri dari anak cucu Adam. Kerjakanlah apa yang orang yang haji kerjakan tapi jangan engkau tawaf di Baitullah.”
Oleh sebab itu, jika saat jamaah sedang tawaf ifadah dan masih dalam keadaan haid, anda bisa melapor kepada panitia haji meminta waktu mengundur kepulangannya sampai selesai haidnya dan tuntas rukun hajinya.
Jika pengunduran tidak bisa, maka kondisi demikian dalam fikih dipandang sebagai situasi darurat. Dalam situasi darurat apa yang terlarang, hukumnya bisa mubah/boleh (adh-dharurat tubihu al-mahdzurat). (Rul)