Mubadalah.id – Munculnya gerakan tahrirul mar’ah (emansipasi perempuan) memang tidak bisa dipisahkan dengan gerakan feminisme di Barat.
Boleh jadi gerakan perempuan di negaranegara Islam merupakan pengaruh dari gerakan perempuan (feminisme) di dunia Barat. Meskipun hal ini sama sekali bukan mengabaikan adanya dinamika internal perempuan muslim sendiri.
Secara konseptual, ide kesetaraan laki-laki dan perempuan telah ada dalam sistem etika Islam. Bahkan praksis gerakan perempuan juga telah muncul pada masa awal Islam.
Pada masa awal Islam perempuan dapat melakukan aktivitasnya secara leluasa, dan tidak dibedakan dengan aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki. Boleh dikatakan bahwa masa Nabi Muhammad merupakan masa kehidupan yang ideal bagi perempuan.
Menurut catatan Ruth Roded, perempuan pada masa awal Islam tidak sebatas istri-istri Nabi Muhammad sebagaimana oleh para penulis muslim.
Menurutnya, ada sejumlah seribu dua ratus perempuan dari beribu-ribu sahabat yang berhubungan langsung dengan Nabi.
Masa Umar bin Khattab
Pasca masa Nabi Muhammad, khususnya masa Umar bin Khattab (634-644 M.), perlakuan terhadap perempuan relatif menurun.
Umar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memojokkan dan merugikan perempuan. Ia sangat kasar terhadap perempuan dalam urusan kehidupan pribadi dan publik. Bahkam ia gampang marah terhadap istrinya.
Dan secara fisik sering menyerang mereka, memaksa mereka untuk tetap di rumah-rumah mereka, dan mencegah kehadiran mereka beribadah di masjid-masjid.
Umar bin Khathab menyelenggarakan sholat terpisah dan memilih imam sesuai dengan jenis kelaminnya. Ia memilih seorang imam laki-laki untuk perempuan.
Padahal pada masa Nabi Muhammad pernah memilih umam perempuan yang bernama Ummu Waraqah untuk kaum peyempuan dan laki-laki di keluarganya.
Meskipun demikian, sepeninggal Nabi Muhammad, Aisyah dan Umm Salamah masih akaf mengimami shalat perempuan-perempuan lain.
Menurut Ibn Sa’ad, Umar juga melarang mantan istri-istri Nabi melakukan ibadah haji.
Tindakan Umar ini telah memancing ketidaksenangan ummul mu’minin (ibu orang-orang mukmin) meskipun sejarah tidak mencatatnya. Sama seperti halnya oposisi janda-janda Nabi terhadap kebijakan Umar yang melarang perempuan menghadiri shalat di masjid-masjid.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.