• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Imam, Waris, Wali dan Pengalaman Perempuan

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
06/05/2020
in Publik
0
26
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Seorang perempuan bercerita bahwa ia sudah mempelajari Islam sejak kecil. Sekarang dia sudah menikah, suaminya masih belajar membaca al-Qur’an. Masih mengeja huruf a, ba, ta, tsa. Lalu apakah suaminya yang harus mengimamkan dia shalat? Hanya karena suaminya laki-laki? Padahal ia sudah belajar agama sejak ia kecil, tidak kah itu berarti?

Apakah keilmuannya sama sekali tidak berarti dibanding penis seorang laki-laki?

Alkisah, hidup juga seorang Menteri Agama di sebuah negara. Menteri itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-lakinya meminta untuk bersekolah ke luar negeri. Tentu saja Menteri ini menuruti. Sementara anak perempuannya memilih untuk mengikuti kursus-kursus lokal saja.

Biaya yang dikeluarkan oleh kedua anak itu tentu saja berbeda. Biaya pendidikan kepada anak perempuannya tidak ada setengah dari biaya pendidikan anak laki-lakinya. Ketika si Menteri Agama ini akan membagi waris, ia galau.

Menurutnya sangat tidak adil jika anak laki-lakinya mendapatkan warisan 1 sementara anak perempuannya hanya setengah. Kegalauan itu lalu ia tumpahkan kepada sesepuh yang ia percayai. Menteri menjelaskan kegalauannya. Sesepuh itu lalu memberi nasihat bahwa harta warisan itu bisa dibagi dengan niat shadaqah atau hadiah. Agar bisa dibagi rata.

Baca Juga:

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Menteri kecewa, ia bertanya dalam hatinya, mengapa tidak kita katakan saja bahwa mayoritas hukum pembagian waris yang tersebar itu sudah tidak relevan?

Disudut Desa nan jauh. Di sekitar pegunungan selatan pulau Jawa, terdapat kisah lain. Sebuah keluarga hidup dari keringat Ibu. Sang Ayah meninggalkan keluarga itu saat kedua anak perempuan mereka masih sangat kecil-kecil, tanpa surat cerai.

Si Ibu akhirnya memilih menjadi pekerja migran di Arab Saudi. Jaraknya berkilo-kilo meter dari dua buah hatinya. Ia menitipkan anak-anaknya pada Ibunya. Orang yang dipanggil Nenek oleh kedua buah hatinya.

Tidak ada pilihan lain, bekerja di Desa sangat tidak mencukupi untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak yang ditinggal ayah itu. Si Ibu bekerja sebagai pekerja migran sampai anak-anak dewasa. Mereka akhirnya berkuliah karena keringat Ibunya.

Saat berkuliah itulah si anak sulung memiliki inisiatif untuk mencari ayahnya. Ia mendapatkan beberapa informasi dari teman-teman ayahnya. Ternyata ayahnya memiliki keluarga lagi. Anak pertama ayahnya bahkan tidak jauh berbeda umurnya dengan dia. Tentu ia kecewa. Ia berusaha melupakan dan begitu membenci ayahnya. Mengapa begitu tega?

Si sulung kemudian selesai dari kuliah. Ia juga sudah menemukan tambatan hati. Mereka akhirnya setuju untuk menikah. Namun ternyata, ia harus menjadikan ayahnya sebagai wali. Padahal ayahnya sudah begitu jahat kepada mereka. Tidak sama sekali memberikan nafkah, bahkan menghilang bertahun-tahun.

Ibunya yang selama ini menafkahinya, yang rela memendam rindu bertahun-tahun, tidak pulang ketika hari Raya. Ternyata tidak layak menjadi Wali. Hanya karena Ibu itu perempuan. Sekali lagi, hanya karena dia perempuan.

Pengalaman-pengalaman itu nyata dan ada. Bukan hanya terkait wali, waris dan imam saja. Hampir dalam semua aspek. Sayangnya, Ulama-ulama yang membicarakan hukum-hukum itu didominasi laki-laki.

Sayangnya, perempuan tidak diberikan panggung untuk bercerita tentang pengalamannya dalam narasi agama. Sayangnya, pembacaan-pembacaan baru untuk keadilan itu selalu dipukul telak oleh mereka yang memiliki otoritas.

Padahal tentu saja, Islam itu rahmatan lil alamin. Bukan hanya rahmat untuk laki-laki saja, tapi juga perempuan. []

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan
  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID