Mubadalah.id – Keberagaman bangsa Indonesia menjadi suatu keniscayaan sejak dahulu kala. Hal inilah yang mendorong Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Keragaman tersebut tampak dari adanya ragam agama, budaya, bahasa, dan ragam adat yang dimiliki oleh banyak suku yang menetap di berbagai wilayah di Indonesia. Fakta ini menjadi tantangan moderasi beragama. Sebab itulah tidak ada pilihan lain, selain menerima keberagaman sebagai sebuah anugrah dari Tuhan YME untuk Indonesia.
Dalam konteks kehidupan beragama, kementerian Agama pada tahun 2019 mendengungkan semangat moderasi beragama. Hal ini tidak lain untuk mengkampanyekan kepada masyarakat Indonesia agar memiliki cara pandang yang tidak eksklusif. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Latin “moderatio” yang memiliki arti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan).
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), moderasi memiliki dua pengertian, yakni pengurangan kekerasan dan penghindaran ke-esktreman. Sementara moderat memiliki arti selalu menghindari pengungkapan (pembicaraan) yang ekstrem; selalu menghindari sikap atas tindakan yang ekstrem; kecenderungan ke arah jalan yang tengah.
Seseorang yang bersikap moderat, berarti bersikap tengah-tengah, wajar, biasa-biasa saja. Tidak ekstrem dengan meyakini keyakinan yang kita miliki adalah benar secara mutlak. Pengertian ini dikuatkan dalam buku Moderasi Beragama yang Kemenag terbitkan, bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak bersikap ekstrem dalam beragama.
Keragaman Indonesia
Keragaman kita yakini sebagai sebuah takdir. Ia tidak kita minta. Melainkan pemberian Tuhan Yang Maha Mencipta. Keragaman tersebut bukan untuk kita tawar tapi untuk kita terima (taken for granted). Keragaman yang Indonesia miliki agaknya sangat kompleks.
Hal ini tampak dengan adanya beragam penafsiran ajaran agama meski dalam satu agama. Perbedaan tersebut khususnya berkaitan dengan praktik beragama/beribadah. Hal tersebutlah yang mendorong bahwa semangat memiliki cara pandang berlandaskan moderasi beragama adalah suatu hal yang tidak bisa kita tawar lagi.
Namun demikian, meskipun semangat moderasi beragama telah didengungkan. Nyatanya dalam praktiknya masih terdapat permasalahan-permasalahan terkait kehidupan umat beragama yang terjadi di berbagai wilayah. Berkembangnya klaim kebenaran subyektif yang berpotensi memicu konflik menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam moderasi beragama.
Berucap moderasi beragama nyatanya lebih mudah dibandingkan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan kaum mayoritas yang mengucilkan/tidak memberikan kebebasan kaum minoritas dalam beragama terjadi di beberapa wilayah dengan adanya kesamaan pola.
Klaim Kebenaran Mayoritas
Hal ini sebagaimana yang terjadi di desa Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Masyarakat desa Tumaluntung melakukan perusakan tempat ibadah di Perumahan Agape. Mereka menghancurkan mushala, mulai dari pagar, hingga isi mushala. Mereka juga membawa spanduk bertuliskan “Kami masyarakat Desa Tumaluntung menolak pendirian mushola masjid.”
Alasan tindakan ini adalah lantaran penduduk sekitar lokasi mushala 95 persen adalah non muslim. Mereka tidak ingin terganggu kenyamanannya akibat kebisingan toa, serta mereka tidak mau terancam dipidanakan karena melakukan penistaan agama jika protes terhadap kebisingan toa.
Selanjutnya sebagaimana yang terjadi di Parung, Bogor, Jawa Barat. Puluhan warga masyarakat muslim berunjuk rasa di depan kantor Bupati Bogor, menuntut penghentian kegiatan Gereja Katolik Paroki Santo Joannes Baptista Parung. Alasan unjuk rasa tersebut adalah karena pendirian gereja menyalahi aturan pendirian rumah ibadah karena mereka dirikan di rumah warga.
Selanjutnya hal yang serupa juga terjadi di kecamatan Magepanda kabupaten Sikka. Di mana warganya yang mayoritas pemeluk agama Katolik mendatangi DPRD Sikka untuk menyampaikan aspirasinya yakni menolak pendirin pondok pesantren. Alasan penolakan ini adalah selama ini mereka merasa hidup damai dan indah. Mereka khawatir dengan adanya pondok pesantren, akan muncul paham-paham radikal.
Aksi Kelompok Mayoritas
Jika kita perhatikan ketiga aksi tersebut pelakunya adalah kaum mayoritas yang menempati suatu wilayah. Aksi di Tumaluntung oleh mayoritas penduduk yang beragama non muslim kepada kaum minoritas muslim di sana. Sementara aksi di Bogor, pelakunya adalah mayoritas kaum muslim kepada kaum minoritas Katolik. Dan aksi yang terjadi di Magepanda, pelakunya adalah kaum mayoritas yang beragama katolik. Di mana aksi itu mereka tujukan kepada kaum minoritas muslim.
Klaim kebenaran yang berujung pada aksi ini menjadi tantangan berat moderasi beragama. Sekelompok orang dengan pemahaman sama, seringkali menjustifikasi bahwa kelompoknya memiliki paham yang lebih benar sementara paham orang lain salah.
Dan hal ini tentu bertolak belakang dengan moderasi beragama. Di mana pada moderasi beragama ada penekanan bagaimana seseorang yang beragama boleh berkeyakinan bahwa agamanya benar. Namun tidak menganggap bahwa agamanya paling benar sementara agama orang lain salah.
Sebagaimana penekanan pada buku moderasi beragama yang mengatakan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil dan tidak bersikap ekstrem dalam beragama. Selanjutnya dijelaskan indikator moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penghormatan terhadap tradisi.
Indikator Moderasi Beragama
Jika merujuk pada sejarah, indikator moderasi beragama ini sesuai dengan apa yang Rasulullah SAW ajarkan sebagai pemimpin Madinah. Pada masa itu, Madinah dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku dan marga serta perbedaan agama. Sebagai seorang pemimpin, Nabi memberikan kebebasan kepada penduduk Yatsrib untuk meyakini agama mereka masing-masing.
Sebab sebagaimana seruan ke-Nabian Muhammad di Makkah pertama kali adalah menuntut Quraisy Ahlaf menghentikan praktik pesugihan. Di mana yang mereka lakukan dengan membunuh anak manusia. Maka di Yastrib-pun seruan Nabi fokus pada konsep kesatuan umat atau yang kita sebut dengan ummatan wahidah. Tauhid dan akidah harus kita pahami dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan dasar kemanusiaan ini.
Ummatan wahidah adalah kebersatuan umat yang terbangun dengan tidak mengacu pada agama, paham, nasab beserta segala perbedaan yang ada lainnya. Oleh sebab itulah di tengah perbedaan yang ada di Madinah, sebagai upaya menjaga kestabilan maka mutlak harus membuat suatu ketetapan berdasarkan kesepakatan bersama.
Ketetapan itu mereka gunakan sebagai pedoman yang menyatukan segala perbedaan. Menjamin kestabilan, yang mereka buat dalam bentuk narasi tulisan. Sebagaimana yang tertulis di atas lembaran yang terkenal dengan sebutan dengan Shahifah Yastrib atau Piagam Madinah. []