• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mewabahnya Virus Intoleransi di Sekolah

Hifni Septina Carolina Hifni Septina Carolina
24/01/2020
in Publik
0
virus, intoleransi
37
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa waktu lalu seorang teman Kristiani bercerita perihal anaknya yang muram setelah pulang sekolah. Anaknya sedih gegara teman-teman kelasnya enggan memakan biskuit yang dia bawa setelah libur Natal. “Temanku tuh bilang gini bun, pak Guru bilang kalau kita ga boleh menerima makanan dari non muslim, keluh anaknya saat bercerita.

Hah…saya sontak kaget sekali mendengar ceritanya sekaligus merasa iba terhadap ibu dan anak ini. Apa semacam itu ajaran agama Islam di sekolah dasar? Lantas apa yang diceritakan sang guru tentang agama yang beraneka ragam di negeri ini, belum lagi menjelaskan tentang kepercayaan. Apakah toleransi diajarkan dalam bentuk ketakutan serta curiga terhadap satu agama tertentu?” Duh….lagian itu kan cuma biskuit yang biasa kita makan saat hari Raya, makanan halal.

Keponakan saya yang studi di Sekolah Dasar terpadu juga mengalami kecurigaan yang sama. “Itu orang Kristen ya, Tante?” dia bertanya dengan ekspresi tidak ramah dengan anak tersebut. Saya kembali kaget karena saat seusianya, saya bermain dengan siapa pun tanpa pernah memikirkan temanku agamanya apa.

Makin naik tingkat pendidikan, kasus serupa muncul dalam bentuk lain misalnya tidak mau memilih ketua kelas atau ketua OSIS yang berbeda agama. Apakah pembelajaran agama islam saat ini ikut andil dalam menyumbang segregasi pergaulan?

Munculnya banyak kasus tentang perundungan atau bullying terhadap siswa minoritas merupakan tanda bahwa virus intoleransi makin mewabah di sekolah. Kasus intoleransi yang terjadi di beberapa sekolah, mengindikasikan bahwa sekolah sebagai laboratorium peradaban belum mampu mencontohkan bagaimana hidup berdampingan dengan kemajemukan yang menjadi kekayaan bangsa ini. Secara tidak langsung guru mungkin ikut andil dalam menularkan virus intoleransi tersebut.

Baca Juga:

Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dalam Kompas, 2 Januari 2020 menyebutkan banyak guru yang belum memahami relasi berbangsa, bernegara dan beragama. Koordinator JPPI Nasional mengungkapkan karena kurangnya pemahaman guru terhadap ketiga relasi tersebut mengakibatkan guru memberi indoktrinasi pada siswa bahwa ada agama ataupun suku bangsa yang dinilai lebih baik daripada yang lain sehingga seolah berhak berbuat semaunya.

Alih-alih mengajarkan Bhineka Tunggal Ika apalagi membuka ruang diskusi, guru malah menebar virus tidak ramah terhadap siswa yang berbeda.

Sebagai pendidik atau guru ada yang perlu dibenahi dalam mengajarkan kecerdasan sosial generasi penerus bangsa ini. Berikut adalah beberapa hal yang seyogyanya dimiliki atau dipahami seorang guru.

Pertama, Guru harus paham tentang sejarah terbentuknya negara Indonesia. Negara ini dibentuk sebagai negara demokratis yang berlandaskan Pancasila. Founding father kita menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga wawasan kebangsaan tentang kemajemukan itulah yang menjadi landasan kita berbangsa dan bernegara.

Kedua, Guru harus mengajarkan moderasi beragama, sehingga dengan menerapkan proses moderasi beragama akan terbentuk sikap toleransi. Dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI (2019) menyebutkan bahwa jika dalam Islam ada konsep wasathiyah, dalam Kristen ada konsep golden mean.

Dalam tradisi agama Buddha ada Majjhima Patipada. Dalam tradisi agama Hindu ada Madyhamika. Dalam Konghucu juga ada konsep Zhong Yong. Begitulah, di dalam semua agama, selalu ada ajaran “jalan tengah” dalam beragama untuk mendukung persatuan dan kesatuan di Negara ini.

Ketiga, Guru atau pendidik harus memahami bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial yang harus dilestarikan. Modal sosial yang dimaksud berupa nilai kearifan lokal, keanekaragaman budaya dan adat istiadat, serta budaya gotong-royong yang diwarisi masyarakat Indonesia secara turun temurun.

Pengetahuan tentang modal sosial yang sudah mengakar dengan tradisi Nusantara tersebut penting untuk dipahami oleh seorang guru demi menciptakan kehidupan yang harmoni dalam keragaman budaya, etnis, dan agama.

Mari menjadi pendidik atau guru yang ramah untuk semua, mengajarkan toleransi dalam  relasi umat beragama. Lebih baik mencari persamaan daripada fokus mencari-cari perbedaan. Alloh menyapa kita lewat Qs. al-Hujurat: 13,  kenapa Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, bukan untuk membanggakan diri dengan nasab atau keturunan kita melainkan untuk saling mengenal dan berelasi dengan sesama manusia.

Penggalan bait puisi dari Eko Poceratu berjudul “Tak harus sedarah untuk menjadi Saudara”, semoga semakin memantik rasa toleransi kita.

Apa katong harus seagama, baru bisa dibilang sesama

Apa katong mesti sedarah, baru bisa dibilang saudara

Apa katong harus sekandung, baru bisa dibilang gandong

Apa katong mesti sesuku, baru bisa dibilang satu tungku

Apa katong mesti seiman, baru bisa dibilang saling cinta

Apa katong mesti seajaran, untuk saling mengerti perasaan

Kalau baku sayang sedangkal itu, bagaimana kasih bisa menyatu?

Apa beta harus Jakarta, baru dibilang Indonesia

Apa beta harus makan nasi, baru disebut NKRI

Kalau keadilan seperti itu, bagaimana perasaan bisa menyatu?

Apa katong harus makan nasi, untuk jadi manusiawi

Apa katong harus satu ras, untuk jadi manusia waras

Kalo kemanusiaan sedangkal itu dan kebinatangan sedalam laut

Bagaimana cinta akan terselami?…

Hifni Septina Carolina

Hifni Septina Carolina

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID