Mubadalah.id – Sebelum mengulas tentang liberal-sufism: paradigma KUPI sebagai pewaris Nabi, saya merefleksikan kegiatan DKUP lanjutan pada awal bulan ini di Cirebon. Di hari terakhir ada satu pernyataan yang benar-benar membekas dan saya bold dalam hati saya. Yakni pernyataan Kiai Marzuki Wahid saat ia merasa tidak ambil pusing ketika menerima label sebagai orang liberal. Beliau mengatakan, “Kita akan selalu menjadi orang kanan bagi orang yang berada di sebelah kiri kita, dan kita akan selalu menjadi orang kiri bagi orang yang berada di sebelah kanan kita.”
Entah mengapa ketika beliau menyampaikan hal tersebut, yang berputar-putar dalam kepala saya adalah nasihat Guru Agung Abah Anom. “Jangan menyalahkan pengajaran orang lain.” Ya, sikap tidak reaktif Dr Marzuki yang akrab disapa Kiai Zeki tersebut sungguh-sungguh menunjukkan bahwa pelabelan tidak harus kita balas dengan pelabelan. Keberagaman berpikir dan bertindak itu rahmat, bukan sumber laknat.
Jika salingers mau merasakan, apa sih yang membuat kita takut untuk berani berpikir, menyampaikan aspirasi, berani berbeda? Ya, kita kerap dihinggapi ketakutan akan label radikal, sesat, atau bahkan liberal. Maka menjadi sesuatu yang men-dag-dig-dug-kan ketika tulisan kita dibuat konten dalam media sosial IG Mubadalah. Hingga kemudian menyulut kemarahan, caci-maki, juga pelabelan oleh netizen yang membuat kita menciut dan merasa jatuh.
Jangan Takut Berpikir
Namun, Kiai Zeki memberikan jawaban agar para pemikir tidak takut untuk terus berpikir, menulis, dan bersikap. Hal tersebut beliau tunjukkan dari sikapnya saat menyampaikan ilmu, dan mendengarkan pendapat yang beragam. Berjam-jam dengan khidmat beliau mampu mendengarkan semua presentasi murid-muridnya dengan baik. Beliau buat catatan-catatan untuk diri sendiri, tidak membenarkan atau juga menyalahkan hasil-hasil musyawarah para muridnya. Beliau dengan keluasan ilmunya mampu menghargai murid-muridnya dalam berproses. Tidak ada pemaksaan atau bahkan marah-marah jika ada aspirasi yang berbeda. Semua sikap yang beliau tampakkan adalah kemakrufan bersosial.
Apa yang Kiai Zeki merupakan pengejawantahan dari “Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur.” Bagaimana seseorang yang kerap kita cap “liberal” justru menjadi penafsiran atas nasihat Guru Tarekat? Itulah titik temu yang menjadi inspirasi tulisan ini. Sikap Kiai Zeki yang menunjukkan bahwa manusia tidak akan lepas dari pelabelan. Namun kita bisa melepas diri untuk tidak melabeli orang lain yang berbeda. Sebagaimana wasiat tarekat Abah Anom di atas. Saya sendiri tidak tahu, mengapa semakin dekat saya dengan atribut-atribut yang katanya “liberal,” justru saya semakin merasa dekat dengan maksud nasihat-nasihat Guru saya.
Almarhum Ayah mendukung saya untuk melanjutkan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terkenal dengan keliberalannya. Prof. Harun Nasution adalah salah satu murid TQN Suryalaya dengan Mursyid Pangersa Abah Anom. Saat diberi tugas oleh Prof. Atho’ Mudzhar untuk menyelami buku Peter Connolly (Approaches to The Study of Religion) dan buku Noeng Muhadjir (Metodologi Pendekatan Kualitatif), yang dapat saya simpulkan, buku-buku ini adalah buku Tasawuf.
Belajar Tasawuf
Walaupun sebagian teman mengatakan bahwa buku tersebut adalah buku yang dapat membuat pembacanya menjadi liberal. Lagi-lagi bagi saya buku tersebut adalah buku Tasawuf. Mengapa? Karena buku tersebut mengajarkan saya untuk berlatih berhenti melabeli orang lain. Mengajarkan saya untuk menyadari bahwa kebenaran yang kita ketahui bukanlah satu-satunya kebenaran mutlak. Lalu dalam melihat suatu hal, semua manusia memiliki perspektif atau kacamata yang berbeda-beda, sehingga sikap menghargai dan toleran akan tumbuh di hati kita. Inilah pesan-pesan sufistik yang saya temukan dalam buku “liberal” tersebut.
Tentunya semua hal yang tertulis di atas juga memberikan insight/futuh kepada kita yang berbunyi: “Kita akan disemati label kaum radikal, liberal, fundamental, klasik, modern dan sebagainya itu tergantung dari posisi atau perspektif orang yang memberikan label tersebut. Jadi biarkan saja, tetaplah maju untuk terus bertumbuh.” Coba kita ingat-ingat kembali, pernahkah kita memberikan label liberal kepada seseorang yang tingkat keilmuan dan pengalamannya di atas kita? Wow, ternyata sering ya.
Atau pernahkah kita memberikan label radikal pada kawan-kawan yang cara berpikir dan beragamanya yang terkesan ‘kaku’? Waaah, ternyata sering banget. Bahkan dari cara seseorang berpakaian, berpikir, dan mengemukakan pendapatnya, dengan mudah kita menyematkan label-label tersebut dengan sangat ringan.
Posisi KUPI
Di sinilah posisi KUPI, yang menggunakan beragam kacamata untuk menghasilkan fatwa yang berkeadilan. Banyak pihak yang memandang sebelah mata hasil-hasil musyawarah KUPI. Hingga kemudian menjadi rekomendasi dengan menyemati para tokohnya sebagai kaum liberal, keblablasan dalam bersyariat, dan sejenisnya. Namun jika melihat respon para tokoh tersebut yang tetap santun dan fokus pada kemaslahatan umat membuat saya menyimpulkan, mereka memang kaum liberal dalam ranah memikirkan umat, sehingga membentuk kepribadian mereka yang begitu lembut dan toleran seperti halnya para kaum sufi.
Apa yang salah dengan berpikiran liberal? Term liberal sendiri tidak memiliki ta’rif yang sungguh-sungguh spesifik. Sehingga jika term tersebut kita sandingkan dengan tujuan ‘kemaslahatan umat yang berkeadilan,’maka term tersebut adalah sebuah jalan yang harus tertempuh oleh semua umat manusia.
Jika dengan berpikiran liberal menjadikanmu menjadi lebih humanis, maka liberal tersebut adalah liberal hasanah, bukan qabihah. Jika yang tercipta adalah kondisi tersebut, maka liberal-sufism bukanlah suatu kesesatan. Melainkan suatu paradigma atau pendekatan untuk menyelami teks-teks Ilahi dan Rasuli dengan mempertimbangkan kondisi zaman yang sedang kita jalani. Paradigma inilah yang juga para wali gunakan dalam mendakwahkan Islam di Nusantara.
Sejauhmana dekatnya antara liberal dan Sufism? Spektrum antar keduanya mungkin sangat tipis, atau bahkan menyatu. Apakah saat kita membaca teks-teks Kanjeng Nabi yang dapat seserawungan dengan baik terhadap umat yang berbeda agama, lantas kita melabeli beliau adalah kafir? Tentu tidak ‘kan?
Apakah saat kita melihat teks sikap Kanjeng Nabi yang begitu menghargai perempuan sebagai subjek dan tokoh utama, lantas kita melabeli beliau liberal? Tentu tidak ‘kan? Apakah saat kita membaca teks-teks Kanjeng Nabi yang begitu mengayomi dan melindungi kaum mustadl’afin, lantas kita melabelinya sedang pencitraan atau munafik? Tentu tidak ‘kan?
Ulama Pewaris Nabi
Lihatlah bagaimana Kanjeng Nabi yang sangat menghargai beragam perbedaan keyakinan, gender, status sosial, status ekonomi, tingkat keilmuan, dan lain sebagainya. Lihatlah betapa santunnya beliau, betapa humanis dan tolerannya beliau. Liberal-sufism yang Nabi contohkan juga diikuti oleh para penerusnya. Khususnya para tokoh sufi dengan beragam ajarannya, para pewaris Nabi yang mengedepankan akhlakul karimah kepada sesama manusia apapun latar belakangnya.
Lantas mengapa kita begitu membenci orang-orang yang memperjuangkan sifat-sifat tersebut? Padahal kita belum benar-benar memahami apa yang mereka pikirkan dan maksudkan. Kita hanya memberikan penilaian atas keterbatasan yang kita miliki. Mereka adalah pewaris Nabi warasatul anbiya’ yang selalu memperjuangkan tentang bagaimana kehidupan sesama manusia di muka bumi ini selalu aman, damai, dan tanpa diskriminasi. Sebut saja Buya Hussein, Kiai Faqih, Kiai Zeki, Bu Nyai Badriyah, Bu Nyai Nur Rofiah, atau juga Kiai Nadirsyah Hosen yang sampai terkena boikot saat akan menyampaikan kuliah umum di sebuah Universitas atau pengajian karena dianggap membahayakan dan menyesatkan.
Semua orang memiliki perspektif kebenarannya masing-masing, dan itu adalah rahmat. Kita semua sangat mustahil berada dalam satu perspektif yang sama. Oleh karena itu, bukan perbedaan yang kita larang. Melainkan merasa bahwa keyakinan diri adalah yang paling benar ‘dibandingkan’ keyakinan orang lain itulah yang tidak tepat.
Karena sikap tesebut pada akhirnya akan memberikan kemudahan bagi orang tersebut untuk melabeli sesuka hati apapun di luar pemahaman dan keyakinannya. Sehingga, memberikan label adalah hal yang tidak kita anjurkan, mengapa? Karena bisa jadi pemahaman kita belum sampai pada pemahaman orang tersebut. Atau justru pemahaman kita sudah jauh melampaui dari pemahaman orang tersebut pula (Al-Hujurat: 11). Sehingga memahami dan menghargai adalah suatu keharusan, karena sebagaimana pernyataan Mbak Nyai Fetra Nur Hikmah, ilmu itu dinamis asalkan tetap logis.
Terus Berproses dan Belajar
Teori ini juga dialami sendiri oleh Mbak Nyai Najhatiy Mu’tabiroh, dimana cara berpikirnya 10-15 tahun yang lalu sungguh sangat berbeda dengan cara berpikir dan pandangnya saat ini. Pernyataan Mbak Nyai Hatiy ini mengingatkan saya pada sosok Ibnu Taimiyah. Di mana bagi sebagian orang beliau dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Tasawuf. Akan tetapi di masa-masa akhir hayatnya, beliau mengikuti ajaran yarekat yang disanadkan pada Sykeh Abdul Qadir Al-Jaylani.
Perbedaan latar belakang kehidupan dan pengalaman sangat mempengaruhi perspektif seseorang dalam melihat suatu hal. Sehingga, ada orang yang memiliki banyak kacamata, ada yang hanya punya sedikit. Bahkan ada yang tidak punya sama sekali, dan ini adalah keniscayaan. Yang tidak diperkenankan adalah ketika ketermilikan atas jumlah kacamata ini kita jadikan standar untuk menilai kacamata orang lain, sungguh tidak elegan. Lagi-lagi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, Sejauh mana perbedaan tersebut diperbolehkan? Prof. Alwi Shihab menyampaikan, selama tidak menimbulkan perpecahan dan kemudaratan bagi kehidupan sesama manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia.
Akhirnya, tugas kita sesama pemakai kacamata adalah saling memahami dan menghargai, bukan memaksakan agar orang lain mau memakai kacamata yang kita gunakan. Dan kita juga harus memiliki kesadaran yang tinggi atas keterbatasan kacamata yang kita miliki, sehingga kita tidak mudah menyalahkan seseorang yang jelas memiliki banyak kacamata atas keilmuan dan pengalaman yang dimiliki.
Tugas manusia adalah terus berproses dan belajar agar mampu saling memahami dan menebar manfaat bagi sesama. Sebagaimana kata Buya Husein, belajar itu sepanjang hayat. Apabila kita selalu mengusahakan proses belajar tersebut, maka kita juga akan melihat bahwa orang lain juga sedang menjalankan proses hidupnya masing-masing. Hingga pada akhirnya, kita akan sibuk dengan pemikiran serta amal perbuatan diri sendiri (gathekke kafire dewe) tanpa memandang rendah orang lain. []