Mubadalah.id – Sebelum saya mengulas tentang pernyataan perempuan bukan sumber fitnah, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat kasus-kasus ini. Beberapa waktu lalu, publik disuguhi dengan kasus kriminal yang melibatkan petinggi Polri. Meskipun saat ini kasus tersebut sudah diketok palu. Di mana akhirnya seluruh tersangka sudah mendapatkan vonis.
Namun kisah yang berlangsung di pengadilan lebih dari setengah tahun tersebut menyisakan cerita yang cukup menyita perhatian publik. Banyak asumsi masyarakat yang berkembang mengerucut pada peran perempuan. Dalam hal ini adalah istri petinggi Polri tersebut.
Pada perjalanannya, beberapa tersangka dengan pengakuannya mengatakan bahwa telah terjadi pelecehan yang kemudian berubah menjadi kekerasan seksual. Hal inilah yang kemudian mendorong pelaku utama untuk merencanakan tindakan pembunuhan. Namun berdasarkan hasil keputusan sidang, hakim meyakini bahwa tidak ditemukan fakta yang meyakinkan berkaitan dengan adanya pelecehan maupun kekerasan seksual yang dialami istri petinggi Polri.
Berdasarkan sidang keputusan pada tanggal 13 Februari 2023 lalu, hakim meyakini yang sangat mungkin terjadi adalah adanya sikap dari korban yang membuat perasaan terdakwa sakit hati, sehingga mendorong terdakwa untuk mengadu pada suaminya. Aduan inilah yang konon menjadi pemicu amarah, sehingga terjadilah perencanaan tindakan pembunuhan.
Selesai kasus tersebut, publik kembali gempar dengan kasus penganiayaan yang cukup keji oleh putra dari seorang pejabat pajak di tanah air. Lantaran penganiayaan yang ia lakukan secara sadis tersebut, korban hingga saat ini masih memerlukan perawatan intensif. Kasus inipun cukup menarik perhatian publik.
Berdasarkan hasil pengakuan tersangka, ia mengaku tega menganiaya korban yang masih berusia 17 tahun tersebut lantaran teman perempuannya ia duga telah menerima tindakan yang kurang menyenangkan dari korban. Dari hasil pengaduan teman perempuan kepada tersangka tersebut, kemudian menyulut kemarahan tersangka sehingga ia melakukan tindakan penganiayaan kepada korban.
Benarkah Perempuan Sumber Bencana?
Dari dua kasus tersebut, terlihat adanya persamaan pola yakni ada aktor perempuan di dalamnya. Perempuan memiliki kemiripan peran yakni sama-sama melakukan pengaduan, sehingga diduga menjadi pemicu terjadinya tindakan kriminal. Lalu benarkah adanya bahwa perempuan adalah sumber bencana? Benarkah asumsi publik yang mengarah pada perempuan sebagai tokoh sentral yang seolah-olah menjadi penyebab utama pada kedua kasus tersebut?
Mengcounter asumsi tersebut, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menekankan bahwa perempuan adalah manusia biasa. Ia juga rentan untuk melakukan kesalahan sebagaimana laki-laki. (Kodir, 2023). Sehingga jika ia salah, maka karena ia sebagai sosok manusia, bukan sebagai sosok perempuan yang berimplikasi pada jenis kelamin perempuan itu sendiri.
Pada kedua fakta kasus di atas, bisa saja benar bahwa perempuan yang mengajak/merayu pada kedua kasus di atas. Namun menuduh perempuan sebagai biang kerok, atau awal petaka adalah label negatif/stereotip yang pada akhirnya bisa saja mendorong pandangan bahwa perempuan sebagai penyebab semua keburukan itu, akan semakin sulit bagi kita untuk mengapresiasi kebaikannya dalam kehidupan ini.
Lalu benarkah perempuan adalah sumber fitnah?
Lebih lanjut Kiai Faqih menegaskan bahwa tindakan buruk adalah buruk. Apakah tindakan tersebut yang melakukannya laki-laki ataupun perempuan. Tidak benar jika keburukan hanya kita fokuskan pada perempuan. Sebaliknya bisa jadi kebaikan akan lebih fokus pada laki-laki. Padahal ini adalah berkaitan dengan perbuatan buruk yang telah manusia lakukan. Baik ia adalah manusia laki-laki ataupun ia adalah manusia perempuan. Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan terlepas dari jenis kelamin, keduanya berpotensi untuk melakukan kebaikan maupun keburukan.
Pandangan yang tertuju pada perempuan sebagai sumber fitnah merupakan bentuk ketidakadilan gender yang hakiki. Tidak hanya perempuan, di antara laki-laki juga banyak yang melakukan keburukan dan menjadi sumber tindakan kriminal. Lalu mengapa ketika perempuan yang melakukannya, justifikasi negatif selalu mengiringi? Sementara jika laki-laki yang melakukannya, maka kita anggap sesuatu hal yang biasa.
Melihat Cara Pandang Mubadalah
Cara pandang mubadalah, sebagaimana yang Kiai Faqih jelaskan, ialah menekankan laki-laki maupun perempuan sebagai subjek kehidupan. Perbuatan baik maupun buruk dapat mengenai keduanya dan tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Hal ini juga sebagaimana firman Allah dalam QS An Nisaa’:124 yang artinya: Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki atau perempuan, dan dia beriman, maka mereka semua akan masuk surga dan tidak akan dianiaya sedikitpun.”
Berkembangnya asumsi publik yang tertuju pada tokoh sentral perempuan dalam kedua kasus ini, sehingga memicu pandangan bahwa perempuan adalah sumber fitnah/sumber bencana, merupakan bentuk cara pandang dikotomis. Di mana cara pandang ini erat kaitannya dengan budaya patriarki yang berkembang di masyarakat.
Nilai perempuan tidak lebih dari bagaimana ia memberikan manfaat kepada laki-laki. Dan tentu hal ini sangat bertentangan dengan cara pandang mubadalah. Oleh sebab itu sudah seharusnya kita keluar dari cara pandang yang masih identik dengan budaya patriarki yang memposisikan laki-laki di atas perempuan. Hingga pada akhirnya berefek negatif dalam cara memandang setiap kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Jadi kita harus tegaskan kembali, jika perempuan bukan sumber fitnah. []