RUU P-KS dan RKUHP belakangan ini masih ramai diperbincangkan. Salah satu pasal yang banyak dibahas akhir-akhir ini tentang pemerkosaan dalam perkawinan. Pasal ini tidak saja ditolak oleh mereka, banyak meme yang beredar menjadikan pasal ini sebagai bahan joke yang ditertawakan oleh khalayak.
Kekerasan dalam agama apapun tidak dibenarkan. Islam mengajarkan pada laki-laki dan perempuan untuk menjauh dari keburukan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam QS. An-Nisaa’:19 Alquran mengajak laki-laki agar meninggalkan kebiaaan buruk. Kebiasaan yang pada masa Jahiliyah lumrah, dan masih juga terjadi pada masa sekarang. Ayat tersebut menuntut laki-laki untuk membiasakan perilaku baik terhadap perempuan.
Setiap tahunnya di Indonesia kekerasan berbasis gender dalam ranah pribadi masih meningkat. Catatan tahunan komnas perempuan tahun 2019 yang menghimpun data dari tahun 2018 mencapai 195 kasus perkosaan dalam perkawinan. Jumlah ini meningkat daripada tahun 2017 dimana angka kasus perkosaan dalam perkawinan berada di angka 172 kasus.
Pemerkosaan dalam perkawinan di masyarakat kita masih sangat tabu untuk dibicarakan. Membicarakannya dianggap aib, sebab masyarakat kita memandang perempuan sebagai istri harus bisa menjaga dan menyimpan apapun yang terjadi dalam pernikahannya sekalipun itu menyangkut keselamatan hidupnya.
Perempuan korban pemerkosaan dalam perkawinan seringkali tidak ingin menceritakan, mengungkap, dan bahkan tidak melaporkan kasusnya karena mereka takut dianggap membuka aib suaminya. Namun selama ini masyarakat berpandangan bahwa kasus pemerkosaan dalam perkawinan tidak ada dan tidak akan pernah terjadi. Pandangan tersebut melekat dan mengakar sehingga mengabaikan dan meniadakan pengalaman perempuan baik secara biologis maupun secara sosialnya.
Relasi suami istri dalam pernikahan adalah dibangun berdasar ketenteraman dan cinta kasih (sakinah mawaddah wa rahmah), serta kebaikan dan kemaslahatan untuk keduanya (mu’asyarah bil ma’ruf). Tujuannya agar menghadirkan segala kebaikan dan menghindarkan segala keburukan dari kehidupan rumah tangga (jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid). Tujuan ini dapat tercapai jika selama kehidupan rumah tangga kedua belah pihak tidak menegasikan kemanusiaan pasangan. Contohnya pemaksaan kehendak, kezaliman, dan segala bentuk kekerasan lainnya. Pemaksaan, kezaliman, dan kekerasan itu diharamkan Islam karena berlawanan dengan pilar pernikahan yaitu mu’asyarah bil ma’ruf.
Dalam fiqh definisi akad nikah secara sempit diartikan sebagai menghalalkan hubungan seksual, namun definisi ini harus dimaknai sebagai perkongsian antara pasangan, oleh pasangan, dan untuk pasangan. Keduanya, laki-laki dan perempuan. Bukan hanya laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga harus sebaliknya perempuan terhadap laki-laki. Dengan demikian, hubungan seksual suami dan istri menjadi hak keduanya untuk menikmati, dan juga melakukan kewajiban masing-masing untuk melayani pasangannya. Sebagaimana laki-laki, perempuan pun memiliki hak yang sama atas kenikmatan seksual dari pasangannya. Tentu saja definisi pernikahan lebih luas dari sekadar hubungan seksual.
Jika dilihat dengan analisis gender, secara akses perempuan bisa memperoleh akses yang sama dengan laki-laki atas layanan publik, peluang kerja, dan sumber daya (ekonomi, sosial, dan politik) contohnya mendapat akses beasiswa, jabatan, dan pekerjaan. Secara partisipasif perempuan bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan sumber daya secara demokratis dalam posisi di semua tingkatan secara sama dnegan laki-laki contohnya pengambilan keputusan dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Secara kontrol perempuan mempunyai kontrol terhadap diri dan tubuhnya serta penggunaan sumber daya secara sama dengan laki-laki contohnya memutuskan untuk menikah atau tidak, memilih menikah dengan siapa, memperoleh hak atas kekayaan dalam keluarga, memutuskan untuk memakai kontrasepsi atau tidak, dan termasuk memiliki otoritas dalam berhubungan seksual.
Selain itu, kasus pemerkosaan dalam perkawinan juga perlu kiranya menghadirkan keadilan hakiki bagi perempuan sebagaimana yang sering dikatakan oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm pada setiap pertemuan di kelas Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) yang mana memandang pengalaman perempuan sebagai data nyata yang tidak diabaikan dan tidak ditiadakan. Mengintegrasikan keadilan hakiki bagi perempuan dengan memahami realitas dan nash, memperhatikan kondisi spesifik perempuan baik secara biologis maupun sosial yang berbeda dari laki-laki, memastikan apakah rumusan-rumusan yang dihadirkan tentang keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan itu sudah adil, maslahat, dan manusiawi bagi perempuan. Serta memastikan apakah rumusan tersebut tidak menyebabkan perempuan semakin sakit saat menjalani pengalaman biologis perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui), juga apakah berdampak pada pengalaman sosial perempuan yang menjadikan perempuan mengalami ketidakadilan gender seperti stereotype, stigmatisasi, marginalisasi, double borden atau beban ganda, dan kekerasan.
Sebab memahami sistem kehidupan harus secara lebih luas mengingat relasi suami istri, laki-laki dan perempuan yang seringkali terjadi sarat akan ketimpangan gender. Dimana perempuan diposisikan lebih rendah maka menjadi penting untuk memberi perhatian khusus pada perempuan agar terciptanya keseimbangan relasi dalam kehidupan.[]