• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Merespon Perbedaan Lebaran Secara Asik dari Teladan Nabi

Bagi yang ingin berhari raya pada tanggal 21 April 2023 sudah ada logikanya, dan bagi yang memilih 22 April 2023 juga ada logikanya. Kita memang harus memilih salah satu, tetapi tidak harus menyudutkan yang lain

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
20/04/2023
in Hikmah, Rekomendasi
0
Perbedaan Lebaran

Perbedaan Lebaran

817
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum merespon perbedaan lebaran secara asik dari teladan Nabi, ingin berbagi kisah inspiratif yang sudah aku dengar dari kyaiku, Buya Husein Muhammad, sejak tahun 1987 di Pesantren Arjawinangun. Yaitu, kisah para sahabat Nabi Saw yang berbeda pendapat dalam memahami perintah. Suatu saat, dalam sebuah perjalanan, Nabi Saw meminta para sahabat berangkat menuju permukiman Bani Quraizhah. Perjalanan mereka mulai sebelum salat Ashar. Nabi Saw meminta mereka untuk melaksanakan salat Ashar di permukiman tersebut.

Beberapa sahabat sudah sampai permukiman Bani Quraizhah sebelum masuk waktu Magrib, sehingga bisa salat Ashar di situ dan masih dalam waktunya. Namun, banyak sahabat yang tidak bisa cepat berjalan. Mereka masih jauh dari permukiman yang dituju sementara waktu Ashar sudah mau habis dan akan berganti waktu Magrib. Mereka berselisih: apakah mengikuti perintah Nabi Saw untuk salat Ashar di permukiman Bani Quraizhah sekalipun sudah melewati waktunya; atau salat Ashar di perjalanan agar tidak melewati waktunya.

Kelompok pertama memahami perintah Nabi Saw secara literal: salat Ashar di Bani Quraizhah sekalipun di luar waktunya. Kelompok kedua memahaminya secara fungsional, bahwa perintah itu meminta berjalan cepat agar sampai di Bani Qurazhah masih dalam waktu Ashar dan salatnya di permukiman itu. Jika berjalan lambat, dan waktu Ashar di perjalanan akan habis, seharusnya salat Ashar tetap pada waktunya, di perjalanan dan bukan di luar waktunya di Bani Quraizhah.

Dua Logika Memahami Perintah

Kisah di atas terekam dalam Sahih Bukhari (no. hadits: 954 dan 4169), Sahih Muslim (no. hadits: 4701). Ketika kisah dua kelompok sahabat tersebut sampai kepada Nabi Saw, tidak ada satupun yang disalahkan. Dua logika seperti inilah yang sekarang terjadi pada penentuan hari raya lebaran di Indonesia tahun 2023. Idult Fitri tahun 1444 H.

Seperti dejavu, dua logika memahami perintah Nabi Saw, seperti di atas, terjadi 14 abad kemudian, pada masa kita sekarang. Perbedaan lebaran ini bersumber pada perintah Nabi Saw agar berhenti berpuasa bulan Ramadan dan menyambut hari raya ketika sudah “melihat bulan (hilal) Syawal”.

Baca Juga:

Kisah Rumi, Aktivis, dan Suara Keledai

Hari Kemenangan dan 11 Bulan Kemudian

Doa Rasulullah dan Ulama Salih di Akhir Ramadan

Lailatul Qadar, sebagai Momentum Muhasabah Diri

Satu kelompok memahaminya dengan mata telanjang (ru’yah). Kelompok lain dengan dengan mata ilmu pengetahuan (hisab). Kelompok pertama akan berhenti berpuasa dan menyambut hari raya ketika awal bulan Syawal (hilal) berada pada posisi 3 derajat. Karena pada posisi inilah, mata telanjang benar-benar mampu melihat awal bulan (hilal). Sementara kelompok kedua, ketika sudah bisa melihat awal bulan Syawal dengan mata ilmu pengetahuan (hisab), sekalipun hilal pada posisi kurang dari 3 derajat, mereka harus berhenti  berpuasa dan saatunya menyambut hari raya Idul Fitri.

Perbedaan Menentukan Hari Raya

Umat Islam yang biasa mengikuti tradisi Nahdlatul Ulama (NU) mewakili kelompok pertama, sementara Muhammadiyah mewakili kelompok kedua. Karena itu, tradisi ru’yah al-hilal adalah amalan NU sementara tradisi hisab adalah pendekatan Muhammadiyah. Dua logika ini bisa bertemu dalam satu momen, dan bisa juga berbeda pada momen tertentu yang lain.

Seperti pada kasus lebaran tahun ini. Pada tanggal 20 April sore hari, awal bulan (hilal) belum pada posisi 3 derajat sehingga sulit dilihat mata telanjang. Sementara mata ilmu pengetahuan (hisab) bisa melihatnya secara jelas, walaupun kurang dari 3 derajat.

Karena perintah hadis “melihat bulan”, kelompok pertama, yaitu NU, meyakini belum melihat bulan dengan mata telanjang. Mereka akan meneruskan puasa satu hari lagi, 21 April dan berhari raya pada tanggal 22 April 2023. Sementara kelompok kedua meyakini sudah melihat bulan, dengan ilmu pengetahuan (hisab), sehingga sudah harus menutup bulan puasa Ramadan, dan memulai bulan baru, 1 Syawal 1444 H, berhari raya pada tanggal 21 April 2023.

Bagaimana kita meresponnya?

Dengan demikian, dua logika memahami hadis tersebut pada kisah para sahabat Nabi Saw di atas, pada saat ini, hadir dalam dua realitas umat Islam terbesar di Indonesia:  NU dan Muhammadiyah. Dua logika memahami perintah hadis seperti ini sudah hadir sejak masa Nabi Muhammad Saw dan sekarang hadir dalam dua realitas yang nyata di depan kita sendiri. Dua realitas perbedaan melihat bulan ini sudah lama hadir di Indonesia, dan sepertinya, dalam waktu lama masih akan terus hadir.

Karena logikanya ada dan telah lama ada, sebaiknya kita meresponnya dengan asik-asik saja. Bukankah Nabi Saw juga tidak menyalahkan salah satu dari dua logika tersebut di atas? Mengapa kita, yang menjadi umat beliau, malah merasa paling suci dan mencak-mencak mau benar sendiri, memilih salah satu dengan membully yang lain?

Bagi yang ingin berhari raya pada tanggal 21 April 2023 sudah ada logikanya, dan bagi yang memilih 22 April 2023 juga ada logikanya. Kita memang harus memilih salah satu, tetapi tidak harus menyudutkan yang lain. Agar tetap asik, kita harus tenggang rasa dengan pilihan orang yang berbeda. Tenggang rasa itu berawal dari diri sendiri, bukan dengan menuntut orang lain.

Kita bisa memulai dengan menghentikan debat kusir yang terus menerus muncul untuk menentukan: siapa yang paling benar, atau paling rasional. Apalagi merasa paling beriman kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Hal ini sama sekali tidak perlu. Kita berhenti debat dan beralih pada saling memahami, saling menerima, dan bergerak untuk saling memberi kesempatan dan memfasilitasi.

Jika hari raya adalah hari kegembiraan dan kebahagiaan, bukankah lebih asik jika kita, dengan pilihan manapun, dan  berada pada kelompok manapun, tetap bahagia merespon pilihan berbeda dari keluarga, tetangga, dan teman-teman warga Bangsa Indonesia? Meminjam motto Jaringan Gusdurian, Nabi Muhammad Saw telah meneladani, saatnya kita semua mengikuti dan mempraktikkanya hari ini. Wallahu a’lam. []

Tags: Hari Raya Idulfitri 1444 HHikmahPerbedaan LebaranTeladan Nabi
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version