Mubadalah.id – Benarkah Al-Qur’an dan hadits tidak adil gender? Benarkah Islam menomorduakan perempuan? Pertanyaan-pertanyaan demikian banyak ditemui oleh kita, dimana publik saat ini banyak yang menerima dalil-dalil agama secara mentah. Mengonsumsinya untuk menjustifikasi sebagian yang lain, tanpa mengenal dan memahami makna dan kerangka pikir dalil agama sehingga tafsiran yang didapat cenderung bias gender dan misoginis.
Pada pertemuan dalam kegiatan Mubadalah Exchange bersama Sisters In Islam di Malaysia beberapa waktu lalu, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menyampaikan banyak materi tentang mubadalah baik sebagai perspektif maupun sebagai gerakan dalam kemanusiaan dan interpretasi teks untuk kesetaraan.
Mubaadalah sebagai ijtihad Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan perspektif yang berbeda dalam menafsirkan dan memaknai teks agama, agar memungkinkan teks-teks agama yang banyak digunakan selama ini dipahami kembali dengan spirit tauhid, yaitu menempatkan perempuan dan laki-laki setara sebagai subjek dalam kehidupan manusia di bumi.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia adalah kamal dan kaffah (sempurna). Di dalamnya berisi kalamullah yang sudah pasti adil bagi semua. Namun, seringkali pembacaan kita terhadap Al-Qur’an hanya dari satu ayat saja tanpa membaca ayat lain yang memiliki tujuan yang sama. Sehingga jika hanya membaca satu ayat akan sangat memungkinkan terciptanya pemahaman parsial dan spesifik, karena itu memahami Al-Qur’an harus membaca semua ayat agar tercipta pemahaman yang universal.
Kamal dan kaffah harus mecakup tiga hal, yaitu nilai (halal), kebaikan (thayyib), dan kepentingan maslahat (ma’ruf). Artinya, hukum dipahami tidak secara parsial tetapi harus dipahami secara general dengan melihat sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya agar menghasilkan nilai, kebaikan, dan kepentingan maslahat secara universal untuk semua makhluk.
Teori-teori penggalian hukum dalam tradisi Islam sudah ada sejak wafatnya Rasulullah. Para ulama melakukan penggalian hukum dari teks dalam ushul fiqh dan ilmu tafsir hadir untuk memenuhi kehendak ijtihad tersebut. Akan tetapi pada awal dalam proses perujukannya, para ulama sadar dengan keterbatasan teks-teks rujukan sebab mandeknya wahyu bersamaan dengan wafatnya Nabi SAW.
Para ulama menyebut hal ini sebagai al-nushush al-mutanahiyah atau teks-teks yang sudah terhenti. Tidak lagi turun wahyu baru dan tak ada hadits baru. Tinggal bagaimana interaksi kita terhadap teks-teks sumber rujukan tersebut.
Pada saat yang sama, kesadaran para ulama akan keterbatasannya dibarengi dengan kehendak kuat untuk menjawab semua persoalan kehidupan manusia yang akan terus ada dan berkembang sesuai zaman, dengan merujuk pada teks-teks dasar yaitu Al-Qur’an dan hadits. Para ulama mencoba mengkomparasikan realitas yang tanpa batas dengan merujuk pada teks-teks yang terbatas.
Dari sinilah peran ulama hadir dengan kerja-kerja intelektualnya (ijtihad) menawarkan berbagai teori dan konsep, untuk mengaitkan teks-teks yang telah berhenti dan sangat terbatas dengan realitas yang tak terbatas dan terus berkembang. Ijtihad tersebut bekerja menemukan makna yang tepat dari teks-teks yang ada dalam menjawab realitas yang terus berkembang.
Dalam konteks membaca ulang teori-teori interpretasi teks baik dalam ushul fiqh dan tafsir, adalah niscaya untuk memastikan perempuan dan laki-laki menjadi subjek pembaca teks dan menerima manfaat yang sama dari misi dasar yang terkandung dalam teks.
Islam datang untuk kebaikan semua makhluk, laki-laki dan perempuan harus terproyeksi dalam metode interpretasi yang menempatkan keduanya sebagai subjek pembaca dan penerima manfaat yang sama tanpa harus dibedakan oleh jenis kelamin. Islam mewujud dalam teks-teksnya, maka makna-makna yang lahir dari teks harus dipastikan untuk kebaikan laki-laki dan perempuan.
Melalui semangat itulah mubaadalah hadir dalam metode interpretasi kesalingan atau resiprokal untuk membaca ulang teks-teks rujukan dari Al-Qur’an dan hadits. Mubaadalah juga mencoba menghadirkan metode dan teori interpretasi untuk secara khusus merepresentasikan kesadaran pentingnya menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subjek penuh dalam kerja interpretasi. Sebab hampir dalam berbagai disiplin ilmu keislaman banyak yang tidak secara khusus merepresentasikan keduanya, laki-laki dan perempuan, sebagai subjek dalam kerja interpretasi.
Selama ini dikotomi cara pandang pada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam patriarki tidak saja membahayakan bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki. Perbedaan jenis kelamin menjadi alasan untuk melemahkan salah satunya baik perempuan ataupun laki-laki, serta mengukuhkan superioritas di antara keduanya. Sebab patriarki mengandung cara pandang bahwa siapa pun yang lebih kuat bisa menindas yang lebih lemah. Laki-laki yang kuat bisa menindas perempuan, sebaliknya perempuan yang kuat bisa menindas laki-laki.
Oleh karena itu, mubaadalah hadir tidak hanya berpihak pada perempuan atau laki-laki saja tetapi lebih berpihak pada siapa pun yang dilemahkan. Mengajak keduanya, laki-laki dan perempuan untuk saling bekerjasama dalam membangun kemaslahatan, kedamaian, kesetaraan, kenyamanan, keadilan, kebahagiaan serta menghilangkan mafsadat atau kerusakan dalam kehidupan di bumi.[]