Mubadalah.id – Dalam istiqra’ maqashidi melahirkan konsep yang kita sebut maqashid as syari’ah (tujuan pemberlakuan hukum syara’). Di mana objek kajiannya adalah an nushus (teks al-Qur’an maupun hadis) yang di dalamnya terkandung hukum hukum, ‘illat hukum, hikmah hukum, dan sebagainya.
Ada hubungan yang saling membutuhkan antara maqashid dan an nushus. Adakalanya maqashid membutuhkan an-nushus, karena tanpa an-nushus tidak akan terwujud sebuah maqashid. Sebaliknya, an-nushus juga membutuhkan maqashid. Hal ini digunakan bahwa ketika menafsiri ayat al-Qur’an pasti tidak terlepas dari maqashid, atau jika ada persoalan yang tidak memiliki acuan an-nushus maka ia akan menggunakan maqashid.
Dibalik sebuah an-nushus ada maqashid, dan tujuan maqashid adalah al maslahah. Maslahah merupakan upaya jalb al manfaat wa daf’ al mafsadah, yaitu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemadharatan. Maslahah tidak serta merta menjadi tujuan syari’ah kecuali dalam waktu yang sama ia membawa perlindungan pada syari’ah.
Perlindungan itu di antaranya adalah: perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Hari ini, kelimanya kita kenal dengan umm al maqashid (induk tujuan diberlakukannya syari’at) / umm al-mashalih.
Netral Gender
Seluruh diskusi maqashid, sejatinya masih sangat netral gender. Di mana umumnya kebutuhan perempuan kurang kita perhatikan. Standar kebutuhan manusia (laki-laki maupun perempuan) ada yang sama, dan ada yang berbeda. Yang sama jangan kita bedakan, sedangkan yang berbeda jangan kita samakan. Sehingga kemaslahatan yang laki-laki dan perempuan alami harus sama. Namun jika di antara keduanya ada kemaslahatan yang berbeda maka harus kita bedakan.
Contohnya pada kasus perkawinan anak. Dalam ranah ini, yang menjadi tema diskusi bukan lagi pada batasan usia perkawinannya, atau mengurai hadis terkait perkawinan Sayyidah ‘Aisyah dan Rasulullah. Tetapi yang perlu kita diskusikan adalah sejauh mana seorang anak ketika menikah itu mendapatkan manfaatnya? Dengan ditarjih tingkat manfaat dan tingkat madharat yang diterima keduanya.
Apakah kebutuhan antara laki-laki dan perempuan sama? Dampak perkawinan anak yang dihasilkan bagi keduanya akan seperti apa? Jika kemudian madharat yang mereka dapatkan lebih besar maka apa bentuk perlindungannya?
Seperti halnya tokoh maqashid yang lain, Jamaluddin ‘Atiyyah juga memiliki teori maqashid al-shari‘ah. Perluasan makna yang dimulai oleh Ibn ‘Ashur mendapatkan apresiasi dan terus ulama-ulama kontemporer kembangkan, termasuk Jamaluddin ‘Atiyyah.
Menurutnya, maqashid al-shari’ah berawal dari pembahasan apakah maqashid al-daruriyyah hanya terbatas pada rangkuman ulama klasik yang berjumlah lima (yaitu hifz al-din, hifz al-nafs, hifz al- nasl, hifz al-aql dan hifz al-mal)
Dalam tataran praksis yang dinaungi oleh lima ruang gerak maqashid al-kulliyyah tersebut, ia mengembangkan 24 maqashid yang diterapkan ke dalam empat ruang gerak, yang dalam setiap ruang gerak ini, maqasid al-kulliyah tak harus berjumlah lima hal. Empat ruang gerak tersebut adalah: ruang individu (al-fard), ruang keluarga ruang umat (al-ummah), dan ruang kemanusiaan (al-insaniyyah).
Jaminan Keberlangsungan Hidup
Menurut Jamaluddin ‘Atiyyah, maqasid al-usrah merupakan bentuk jaminan keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri (baqa’ al-nasl). Lebih lanjut, ia menyatakan rinciannya sebagai berikut:
Mengatur Ikatan Hubungan Pria dan Wanita (tanzim al-‘alaqah bayn al-jinsayn)
Maqashid pertama ini berisi tentang penetapan hak dan kewajiban bagi pasangan suami istri agar terhindar dari perselisihan yang dapat menggangu keharmonisan kehidupan berumah tangga. Karenanya kita butuhkan pengetahuan yang cukup bagi masing-masing pasangan untuk mengerti hak dan kewajibannya secara mubadalah dan proporsional. Jika perkawinan dilakukan saat usia anak, maka hal ini akan cenderung terabaikan.
Menjaga Kelestarian Keturunan (hifz al-nasl)
Maqsad ini untuk menjamin spesies manusia terhindar dari ancaman kepunahan. Tujuan perkawinan ini berdasarkan pada realitas bahwa seluruh makhluk hidup dalam rangka mempertahankan jenisnya dilakukan dengan memiliki keturunan. Dalam menjamin proses memiliki keturunan yang bermartabat, syariah mengatur pranata perkawinan sedemikian rupa.
Di antaranya keharusan menikah dengan lain jenis (laki-laki dan perempuan), mengharamkan wanita melakukan liwat (sodomi/ berhubungan badan via anus) dan sahaq (lesbian/ berbungan badan dengan sesama jenis). Lalu, melarang wanita merusak organ-organ rahimnya untuk membuat mandul secara sengaja, memilih wanita yang subur, dan lain sebagainya.
Makna Hifz al-Nasl
Dalam perkembangannya, makna hifz al-nasl menjadi lebih luas. Di antaranya adalah: melahirkan generasi baru / regenerasi (injab), menjaga nasab umat manusia (hifz al nasab), mengayomi dan mendidik anak (ri‘ayah. Merawat dan memenuhi hak-hak anak (ri‘ayah) merupakan salah satu makna yang terkandung dalam upaya menjaga keturunan.
Di antara hak-hak anak yang paling mendasar dan harus dipenuhi orang tua adalah: 1) memberi nama yang baik, 2) memberi nafkah, 3) mengkhitankan jika ia laki-laki, 4) mendidik, dan 5) menikahkan dengan pasangan yang ia cintai. Kelima dasar ini tidak akan terwujud jika tidak ada perencanaan yang baik dalam keluarga.
Realisasi Ketentraman, Cinta Kasih dan Kasih Sayang (Tahqiq al-Sakn wa al-Mawaddah wa al-Rahmah)
Dalam mewujudkan maqsad ini, syari‘ah telah menetapkan etika berumah tangga bagi suami istri. Seperti etika bersetubuh yang beradab dan manusiawi, etika bergaul, dan etika membangun rumah tangga yang baik, hal-hal tersebut lazim kita sebut mu‘asharah bi al-ma‘ruf. Yaitu memperlakukan pasangan (baik suami atau istri) dengan baik agar tidak menyakiti kedua pasangan.
Menjaga Garis Keturunan (Hifz al-Nasab)
Menjaga garis keturunan berbeda dengan menjaga keturunan. Jika upaya mejaga keturunan dengan menjadikan seorang anak laki-laki sebagai seorang ayah, dan anak perempuan menjadi seorang ibu, maka menjaga garis keturunan dengan memastikan bahwa anak-anak terlahir dari orang tua yang jelas dan dari ikatan perkawinan yang sah. Upaya menjaga nasab dapat kita wujudkan dengan adanya aturan tentang larangan zina.
Kewajiban menjaga nasab umat manusia berarti mengetahui jati diri dan keluarganya. Yakni komunitas yang pertama kali kita kenal dan paling dekat dengan diri. Kohesi sosial kita rekatkan pertama kalinya oleh hubungan darah dan seterusnya melalui pergaulan sosial yang lebih luas. Mengetahui nasab juga bagian dari hak asasi manusia yang terlindungi oleh deklarasi umum Hak Asasi Manusia.
Untuk mempertegas tujuan penetapan nasab sebagai bagian penting dari hifz al-nasl, Islam mengajarkan agar pernikahan senantiasa kita umumkan secara terbuka dan tidak kita sembunyikan (sirri). Dalam era berikutnya bentuk pengumuman ini dilegalkan dalam bentuk catatan resmi oleh Negara atau akta nikah.
Perlindungan terhadap Perempuan
Pernikahan yang masyarakat ketahui, dan terakui Negara akan melindungi perempuan dan anak yang akan terlahirkan sebagai bentuk pernikahan yang sah secara agama maupun Negara. Pernikahan sirri dianggap melanggar tujuan universal hifz al-nasl, tetapi juga membuat hubungan anak dengan kedua orang tua menjadi ilegal. Perkawinan sirri akan mempertanyakan identitas nasab yang sebenarnya.
Menjaga Keberagamaan Dalam Keluarga (Hifz al-Tadayyun fi al- Usrah)
Tawaran Maqashid ini diwujudkan melalui tata-cara memilih pasangan sesuai anjuran agama dengan memperhatikan 4 aspek yaitu: agamanya, hartanya, keturunannya, dan wajahnya. Kewajiban bagi kepala rumah tangga untuk mengajarkan ilmu agama kepada seluruh anggota keluarga, baik dalam aspek ‘aqidah, shari‘ah, dan akhlaq.
Mengatur Aspek-aspek Dasar Keluarga (Tanzim al-Janib al-Mu‘assasi li al-Usrah)
Aspek dasar kehidupan berumah tangga menurut Jamaluddin ‘Atiyyah mencakup kelanggengan ikatan perkawinan, musyawarah, dan kesedian masing-masing pasangan untuk tunduk pada aturan syari‘ah. Selain itu, menjaga pola hubungan antara seluruh anggota keluarga termasuk keluarga suami dan istri.
Regulasi Finansial Keluarga (Tanzim al-Janib al-Mal li al-Usrah)
Dalam rangka mencapai tujuan ini, syari‘ah menetapkan adanya mahar, nafkah, waris, hadanah (hak asuh atas anak), hukum berwasiat untuk keluarga, waqaf, dan hukum tentang pengampuan harta (penguasaan dan pengelolaan harta).
Pentingnya Kehadiran Negara
Prasyarat untuk memenuhi hak-hak di atas, tentu harus negara fasilitas dengan mengaturnya dalam sebuah perundang-undangan.
Maknanya, negara hadir sebagai pihak yang menerima mandat rakyat untuk melindungi rakyatnya termasuk di dalamnya menjaga keturunannya. Maka Negara berkewajiban membuat regulasi terkait hal tersebut misal dengan menyediakan sarana pemberian identitas hukum seperti akta perkawinan, akta kelahiran, akta perceraian serta akta-akta lain yang menegaskan adanya perlindungan atas perempuan serta kewajiban menjaga keturunan.
Termasuk di dalamnya kewajiban negara untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk keluarga sepanjang tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai yang terbangun tentang konsep keluarga. Seperti keluarga yang dengan perempuan sebagai kepala rumah tangga misalkan. []