Mubadalah.id – Film More Than Work, yang artinya lebih dari sekedar bekerja, merupakan pemenang Lomba Media Cipta Ekspresi pada 2018 silam. Film ini dibesut oleh Luviana, aktivis perempuan dan jurnalis senior yang kini menjadi founder dan pengelola konde.co serta Konde Institute.
More Than Work bercerita tentang sisi kelam perempuan yang bekerja di media, baik cetak maupun elektronik. Terutama pada media televisi, di mana tubuh perempuan dipersonifikasi sedemikian rupa sehingga harus memenuhi tuntutan industri. Meski tak nyaman, namun perempuan tidak bisa melawan.
Banyak media yang senang menggambarkan sensasi terhadap tubuh perempuan. Sensasi itu tidak hanya dalam judul berita dan tulisan, tapi juga merambah ke bagaimana cara pandang media terhadap pekerja perempuannya, dan bagaimana orang serta kebijakan yang mengatur tubuh perempuan.
Pada hari Minggu, 7 Juli 2019 saya beruntung berkesempatan mengikuti nonton film bareng yang digawangi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), sekaligus diskusi langsung dengan Mbak Luviana, sutradara film tersebut. Sedangkan acara sendiri bertempat di Purplecode Tebet Timur Jakarta.
Dalam film More Than Work ini mengangkat tiga cerita mewakili persoalan yang seringkali dihadapi pekerja perempuan di media. Pertama, Dhiar, seorang jurnalis perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dari seniornya sendiri di tempat ia bekerja.
Dhiar harus berurusan dengan hukum hingga lima tahun. Dalam kasus yang menimpanya, ada opini yang terbangun jika perempuan dianggap sebagai penggoda. Padahal seharusnya media menjadi ruang yang terbuka untuk berkampanye tentang tubuh perempuan.
Cerita kedua dialami Barbie Kumalasari, salah satu artis Ibukota. Ia rela mengeluarkan biaya perawatan dan kecantikan sejumlah 4 milyar agar bisa mendapatkan tubuh ideal, dan diterima di industri media televisi. Ketika masih berbadan gemuk, Kumalasari mengaku selalu dibully. Akhirnya ia melakukan diet ketat dengan mengikuti saran dokter, dan menghabiskan waktu 6 jam setiap hari untuk berolahraga.
Lalu ketiga ada kisah para pekerja LGBT yang nyaris tidak mendapatkan tempat di media. Apalagi jika situasi politik nasional sedang memanas. Isu LGBT selalu dikaitkan dengan moral dan agama. Seperti yang juga dialami Dena Rachman. Karena sejak 2016 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan surat edaran tidak boleh mempekerjakan LGBT di media televisi.
Dalam diskusi hangat sore itu, Mbak Luviana menjelaskan tentang proses kreatif film yang berangkat dari kegelisahannya tentang para pekerja perempuan di media. Hingga ia melakukan riset bagaimana media melihat perempuan, bagaimana tulisan di media memandang perempuan.
Luviana melakukan riset mulai dari media di masa kolonialisme Hindia Belanda, seperti tokohnya SK Trimurti. Dari riset, nampak perjuangan yang dilakukan perempuan pada saat itu. Pertama melawan kolonialisme. Kedua melawan sistem kelas dalam budaya.
Kemudian bergeser ke masa Orde Baru, di mana media mengidentifikasi perempuan sebagai ibu. Sehingga yang diperjuangkan ialah identitas tentang perempuan itu sendiri. Setelah reformasi, media di Indonesia malah menjadikan perempuan sebagai satu hal kecil yang dibicarakan.
Maka film ini kemudian ingin mengetengahkan problem perempuan di media. Ini adalah sebuah pemetaan kecil, tidak banyak yang menuliskan tentang buruh perempuan di media. Hal ini menjadi penting bagi Luviana, yang menurutnya televisi berbeda dengan media cetak dan online. Karena ekspektasi terhadap perempuan begitu tinggi.
Sebagai manusia, perempuan tidak lagi dilihat dari kualitas intelektual maupun spiritualnya, namun hanya tubuh, yang dianggap satu-satunya potensi yang dimiliki oleh perempuan. Sehingga film More Than Work ini penting dan wajib ditonton, agar tumbuh kesadaran untuk menghargai tubuh perempuan, dan menjadi bagian dari kampanye Stop Kekerasan dan Diskriminasi di dunia kerja.[]