Mubadalah.id – Kerap kali saya mendengar para penceramah di beberapa tempat, khususnya di acara pernikahan, menjelaskan bahwa nafkah batin pasangan suami istri adalah hubungan seksual. Sehingga, sebagian masyarakat menganggap suami wajib memperbanyak rutinitas hubungan seksual.
Entah kenapa, saya selalu menggelisahkan kalimat tersebut. Bukankah pemenuhan hubungan seksual lebih tepat disebut sebagai nafkah lahir, karena berkaitan dengan kebutuhan biologis. Sementara, kepuasan batin yang berasal dari terpenuhinya kebutuhan biologis hubungan seksual merupakan dampaknya.
Masyarakat sering kali berhenti pada pemahaman bahwa “nafkah lahir ya uang, nafkah batin ya hubungan seks”. Sedangkan kewajiban nafkah batin yang sesungguhnya nyaris terabaikan.
Ceramah yang disampaikan seakan-akan meneguhkan stigma yang tertanam di masyarakat, bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah harus berupa harta. Sedangkan kewajiban istri adalah melayani kebutuhan biologis suaminya sebaik mungkin.
Bingkai pernikahan yang kita harapkan membawa kebaikan, justru menjadikan perempuan terbelenggu dalam kondisi hubungan yang tidak lagi sehat. Karena perempuan hanya kita anggap sebagai pemenuh kebutuhan seksual laki-laki. Sehingga, dengan adanya dalih agama yang sering didakwahkan, perempuan tidak punya alasan untuk menolak ajakan suami.
Ketika hal tersebut kita yakini sebagai sebuah kewajiban tanpa “tapi”. Kemudian, terjadi pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar antara suami istri. Maka, termasuk bagian dari kekerasan seksual. Tindakan ini jelas dilarang oleh agama dan hukum. Bahkan dapat kita kategorikan sebagai pemerkosaan dalam pernikahan atau marital rape.
Marital Rape: Bentuk Kekerasan Seksual dalam Pernikahan
Banyak orang yang menganggap fenomena marital rape ini tabu untuk kita bicarakan, dan kita sikapi. Sehingga pada gilirannya, masyarakat mengabaikan fenomena ini. Bahkan, menjadi problem yang tidak teratasi.
Masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki tentu menganggap, bahwa fungsi perempuan hanya sebagai pemuas kebutuhan biologis laki-laki. Hal ini juga terpengaruhi oleh cara pandang laki-laki yang menilai bahwa pernikahan hanyalah sarana pemenuhan kebutuhan biologis.
Faktor tersebut menjadi pengaruh besar terhadap konstruksi kesadaran perempuan. Sebagai seorang istri, ia dituntut untuk selalu melayani suami tanpa memikirkan kepentingan pribadinya. Sehingga, kesadaran untuk menegosiasikan problem hubungan seksual masih sangat rendah.
Berbagai contoh kasus fenomena marital rape dapat kita lihat dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023. Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 457.895 kasus. Komnas Perempuan menerima kurang lebih 17 pengaduan per hari hingga tahun 2022.
Kekerasan berbasis gender (KBG) memiliki jumlah tertinggi, yaitu 99% individu atau 336.804 kasus. Kekerasan ini dilakukan oleh orang terdekat yang memiliki hubungan personal. Yaitu, orang yang seharusnya memberikan perlindungan justru menjadi pelakunya.
Strategi, dan Negosiasi Menciptakan Ruang Aman
Ini merupakan data yang sudah terlaporkan. Bisa jadi, di luar sana masih ada perempuan yang tidak melaporkan kekerasan yang ia alami Karena merasa takut dan malu atas tindakan marital rape yang dianggap tabu atau aib keluarga. Padahal, ini akan berdampak buruk, baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Sebenarnya, perempuan tidak perlu takut untuk melaporkan. Karena UU-PKDRT secara jelas telah melarang tindakan ini. Begitu pula Hukum Islam menentang adanya kekerasan seksual karena bertentangan dengan prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam pernikahan.
Kebijakan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekeraasan dalam Rumah Tangga Pasal 8 menyebutkan secara spesifik tentang kekerasan seksual. Yaitu, pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Meskipun dalam undang-undang tersebut tidak ada penjelasan secara luas makna “pemaksaan”. Namun, pemaksaan dalam berhubungan seksual, tetap saja kita katagorikan sebagai tindakan kekerasan seksual.
Salah satu strategi yang dapat perempuan lakukan sebagai upaya pembelaan, ialah dengan bernegosiasi. Tindakan ini kita lihat sebagai strategi menciptakan ruang aman dalam rangka memperjuangkan kedamaian pernikahan.
Dalam konteks ini, perempuan berada pada ruang dengan maksud menyatakan eksistensi dan menyuarakan gagasan mereka. Ruang ini juga dapat perempuan gunakanuntuk bargaining (tawar-menawar) dan meminimalisir ancaman tindakan marital rape yang suaminya lakukan.
Membangun Ruang Negosiasi yang Adil Gender
Pada prinsipnya, kebutuhan biologis pasangan merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Keduanya harus memenuhi kebutuhan tersebut secara fleksibel. Ketika salah satu pihak tidak berkenan, maka pihak yang lain perlu secara sadar memahaminya.
Persetujuan suami maupun istri menjadi tindakan afirmatif yang diberikan. Ketika alasan yang menjadi problem hubungan seksual dapat suami istri komunikasikan dengan baik, maka ruang untuk bernegosiasi pun akan semakin terbuka. Baik untuk istri maupun suami.
Mari lebih menyadari bahwa hubungan seksual dengan paksaan dan kekerasan adalah perkara yang terlarang. Suami maupun istri perlu meningkatkan kualitas relasi seksual yang membahagiakan pasangan.
Pemahaman dan aplikasinya dapat berdasarkan pada konsep mu’āsyarah bil ma’rūf, yaitu hubungan dan relasi baik yang terbangun antara suami dan istri serta terhadap anggota keluarga yang lainnya. Selain itu, penting juga adanya sexual consent, yaitu kesepakatan berhubungan seksual dalam pernikahan.
Konsep tersebut hendaknya kita jadikan sebagai pilar penyangga kehidupan rumah tangga. Karena merupakan etika paling fundamental dalam relasi suami istri.
Tujuan akad pernikahan yang sudah menjadi kesepakatan sejak awal akan terealisasi dengan baik. Yakni, mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tanpa adanya pemaksaan dan kekerasan dalam hubungan seksual pasangan suami istri. []