• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Ijbar

Hilyatul Aulia Hilyatul Aulia
21/06/2020
in Sastra
0
(sumber foto ruangmuslimah.co)

(sumber foto ruangmuslimah.co)

77
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Namaku Nisa, aku adalah aktivis yang sangat keras menyuarakan hak-hak perempuan dan menuntut kesetaraan. Katakanlah aku Feminis. Menurutku, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menentukan jalan hidupnya, tidak ada pihak lain yang boleh mengatur dan melanggarnya.

Jika kalian mempelajari konsep pernikahan dalam Islam, kalian akan menemukan istilah Ijbar. Ijbar adalah wewenang yang dimiliki oleh seorang ayah untuk menikahkan anak gadisnya, meskipun tanpa sepengetahuan sang anak. Dulu saat di pesantren seorang ustad pernah berkata, “kamu jangan kaget kalau tiba-tiba di rumahmu ada laki-laki yang tidak kamu kenal yang ternyata itu adalah suamimu.”

Aku dan kelompok aktivisku sangat menentang konsep Ijbar karena Ijbar merampas hak perempuan untuk memilih kapan dan dengan siapa ia akan menikah.

“Ijbar tidak boleh begitu saja digunakan. Memilih pasangan hidup harus berdasarkan rasa saling cinta, bukan paksaan. Orang tua harus memberikan kesempatan pada anak untuk memilih. Apalagi jika anak tersebut masih dalam usia sekolah, seharusnya ia mendapatkan hak pendidikan sebanyak mungkin. Ijbar akan mengekang kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berpikir yang menjadi hak setiap manusia. Bukankah memaksakan kehendak kepada orang lain termasuk salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia?” Ucapku dalam sebuah ruang diskusi.

Semua anggota diskusi memberikan respon. Sebagaimana biasanya, ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Ada juga yang memilih diam agar diskusi tidak bertambah panas. Sebagian dari yang menentang memberikan berpendapat bahwa Ijbar merupakan cara untuk memilihkan pasangan yang baik bagi anak agar mereka tidak salah pilih dan tidak keliru dalam menentukan jalan hidup mereka. Orang tua tentu tahu mana, apa dan siapa yang terbaik untuk anaknya.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Namun faktanya, orang tua yang menggunakan wewenang ijbar memiliki alasan dan maksud yang berbeda-beda, bahkan melenceng dari masksud baik ijbar, misalnya faktor ekonomi. Beberapa keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah memilih untuk menikahkan anak-anak mereka di usia belia dengan alasan untuk menyelamatkan ekonomi keluarga.

Alih-alih membebani ekonomi keluarga, sedangkan si anak tidak memiliki skill dan bakat apapun untuk bekerja, akhirnya orang tua memutuskan untuk menikahkannya meski usianya masih belum cukup agar segala kebutuhan hidupnya ditanggung oleh suami.

Selain itu, pernikahan yang yang dilakukan dengan ijbar jarang sekali yang diawali oleh rasa cinta. Meskipun para orang tua sering berkata bahwa dijodohkan, meskipun tidak berdasarkan cinta, namun lama-lama juga akan saling cinta. Wiwiting tresno jalaran suko kulino katanya. Menurutku pandangan itu keliru. Di luar sana banyak sekali pasangan yang rumah tangganya gagal hanya karena mereka belum saling mengenal sebelumnya. Menikah jika tidak didasari oleh rasa cinta dan ikhlas mana mungkin akan mencapai sakinah.

“Tapi kan Ijbar gak langsung nikah-nikahin ajah, Nis. Dalam kitab kuning juga dijelaskan bahwa Ijbar memiliki syarat-syarat tertentu, di antaranya laki-laki yang dipilihkan oleh sang ayah untuk anak gadisnya haruslah sekufu, lalu tidak ada permusuhan antara ayah dan anak gadisnya, kemudian dengan mahar mitsil dan si anak sudah cukup usia untuk menikah.” Ucap uwaku (sebutan untuk kakak orang tua) pada satu kesempatan saat aku bertandang ke rumahnya.

“Tetap saja, artinya orang tua memaksakan kehendak kepada anaknya tanpa memberikan sang anak kesempatan untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Meski mungkin laki-laki yang dipilihkan itu memang baik, tapi belum tentu cocok kan!” Aku mendebatnya dengan argumentasi berdasarkan emosi.

Ternyata alasan “dipilihkan yang terbaik” juga dianut oleh keluarga besarku. Habis sudah aku didebat oleh uwa karena menentang pendapatnya tentang Ijbar. Meski sudah memaparkan berbagai fakta dan dampak negatif, uwa tetap ngotot dengan Ijbarnya.

“Termasuk kalau nanti kamu dipaksa nikah sama Abahmu, ya kamu harus mau!”
Aku menelan ludah, membayangkan bagaimana jika Abah benar-benar memaksaku untuk menikah. Namun itu tidak mungkin. Selama ini Abah dan Umi tidak pernah memaksakan kehendak mereka padaku.

Keluargaku memang sangat teguh memagang ajaran agama. Tidak heran jika uwa paham betul mengenai konsep Ijbar. Abahku adalah seorang imam masjid dan salah satu tetua kampung. Sedangkan Umi, meski hanya ibu rumah tangga biasa, posisinya di tengah masyarakat  mengimbangi popularitas abah.

Abah mewajibkan putra putrinya untuk mengenyam pendidikan pesantren, termasuk aku. Bahkan abah pernah menolak seorang pemuda yang hendak meminang salah satu kakak perempuanku karena pemuda itu bukan lulusan pesantren. Namun dari lima anak abah, hanya aku yang memutuskan untuk kuliah di kota.

Saat masih tinggal di pondok pesantren aku tidak terlalu peduli dengan Ijbar. Namun setelah memasuki bangku kuliah, seiring dengan tumbuh kembangnya pemikiran dan daya kritisku, aku mulai menggugat kebijakan Ijbar. Terlebih saat aku mulai tertarik pada berbagai kajian tentang perempuan dan mulai bergabung dengan organisasi aktivis perempuan, aku mulai meragukan bahkan menentang konsep Ijbar.

Namun keluargaku yang sekarang tetaplah seperti dulu, keluarga yang memegang teguh ajaran islam yang telah diwariskan oleh kakek nenek kami.

Saat itu aku pulang, lebih tepatnya diminta untuk pulang setelah Umi mengabarkan bahwa ada suatu hal penting yang ingin Abah sampaikan. Aku tidak pernah curiga dengan panggilan dadakan itu meski aku benar-benar tidak tahu hal penting apa yang akan disampaikan oleh Abah.

Malam pertama aku di rumah, Abah baru sempat berbincang denganku. Mula-mula Abah bertanya tentang perkembangan studiku. Aku jawab baik-baik saja. Kemudian abah bercerita tentang saudara jauh kami yang tinggal di luar kabupaten. Aku mendengar dengan seksama setiap ucapan abah meski kurasa itu bukan hal penting. Sedari kecil aku diajarkan untuk selalu  menghormati orang tua yang sedang berbicara.

“Nis, Haidar anak yang baik. Pengetahuan agamanya luas, lulusan pesantren, anaknya juga sopan persis seperti Wa Sadikin. Wa Sadikin berniat untuk mengeratkan persaudaraan keluarga kita dan menikahkan Haidar dengan kamu.”
Seketika mataku terbelalak, aku tidak percaya dengan apa yang Abah katakan tadi.

“Nikah Bah? Nisa kan masih kuliah Bah, Nisa belum siap nikah sekarang, Nisa juga belum pernah kenal sama Haidar!”
Jiwa kritisku memuncak otomatis. Umi menahan napas mendengar aku membantah keinginan abah. Tidak pernah ada satupun anggota keluargaku yang berani menolak keinginan Abah.

“Itu bukan masalah, kamu bisa tetap lanjutkan kuliah setelah menikah.” Jawab Abah kalem.

“Tapi Nisa keberatan, Bah!”
Seketika, mimik muka abah berubah, rahangnya mengeras, wajah kalem itu tiba-tiba tegang.

“Selama ini Abah bebaskan kamu untuk memilih jalan hidup kamu. Abah izinkan kamu untuk sekolah di kota. Abah biarkan kamu untuk menggeluti duniamu. Tapi untuk sekarang saja abah minta kamu untuk mengikuti permintaan Abah!” Aku tak pernah menyaksikan Abah semarah ini. Abah memeng tegas, namun tidak banyak bicara.

“Abah sudah tua, tanggung jawab Abah hanya tinggal kamu saja. Mumpung abah masih punya umur, Abah ingin menjadi wali nikah kamu!” 

Aku luluh mendengar kalimat Abah, melihat wajahnya yang mulai menua, melihat rambutnya yang mulai putih sempurna. Lalu aku tak mampu lagi memandangnya. Pelupuk mataku penuh oleh air mata yang siap tumpah. Abah lalu beranjak, menyisakan langkah kaki yang tidak sesigap dulu saat ia menghampiriku yang menangis karena terjatuh dari sepeda.

“Nisa bisa menentukan sendiri, Mi!” Aku menyandarkan kepalaku di pundak Umi dan mencoba meminta Umi agar mau membujuk Abah untuk membatalkan rencana ini.

Umi mengelus kepalaku. Aku tahu saat itu Umi juga bingung. Umi adalah istri yang sangat patuh terhadap suaminya. Ia tidak pernah sekalipun menentang keinginan Abah.

Aku masih di rumah. Melewati waktu demi waktu tanpa satu pun pembicaraan dengan Abah. Bukan karena benci, akhir-akhir ini banyak undangan yang harus Abah hadiri. Hampir setiap hari Abah pulang larut malam di saat aku terlelap setelah lelah memikirkan persoalan yang entah seperti apa ujungnya.

Namun sepertinya Abah pun belum bersedia untuk berbicara lebih lanjut lagi denganku. Aku bingung, antara memilih untuk memegang prinsip aktivisku yang artinya mendurhakai Abah atau membohongi diriku sendiri dan memenuhi keinginan Abah.

Hingga akhirnya memang tidak ada satupun yang mampu membendung kehendak Abah. Abah pun menggunakan hak Ijbarnya. (bersambung).
 

Hilyatul Aulia

Hilyatul Aulia

Mahasantri Ma'had Aly Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon

Terkait Posts

Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

11 Mei 2025
Tak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

4 Mei 2025
Kartini Tanpa Kebaya

Kartini Tanpa Kebaya

27 April 2025
Hujan

Laki-laki yang Menjelma Hujan

13 April 2025
Negara tanpa Ibu

Negara tanpa Ibu

23 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version