• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Mbah Hasanah dan Sepotong Perkedel

Amar Alfikar Amar Alfikar
22/03/2020
in Sastra
0
123
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Purnama menampilkan tubuhnya pada malam Jumat kala itu.

Tapuk rebana bertalu-talu dari balik tembok gerbang asrama putri pada sebuah pesantren, keriuhannya berkelindan dengan lantun diba’[ yang meruap dari lisan perempuan-perempuan berkerudung renda dan sarung-sarung batik beraneka warna. Lantai kayu ikut bertalu ketika sebagian pasang tangan yang lain mempertemukannya pada alat dapur dan alat mandi seadanya.

Sendok alumunium berjumpaan dengan botol bekas kecap yang mereka bawa dari dapur, menimbulkan bunyi kerenting yang berirama dengan dentum tempurung gayung, yang serupa berlompatan bebas tapi syahdu di atas alas ember yang diletakkan secara terbalik.

Setiap nada yang dihasilkan dari alat-alat itu bak orkestra indah di panggung kesederhanaan, berpadu dengan kesyahduan wujud cinta para santri putri kepada sang nabi. Maka sekalipun diba’ itu dibaca oleh mereka dengan semangat kerinduan yang demikian kentara, ketika perayaan rindu itu ditutup doa, bilik asrama putri menjadi hening belaka.

Seorang perempuan paling sepuh di antara mereka merapal doa dengan begitu fasih, para santri itu memanggilnya Bunyai. Nama lengkapnya sesungguhnya adalah Asnijah, dibaca Asniyah. Nama-nama orang Jawa pada masa sebayanya memang sependek itu, dengan ejaan yang masih lama.

Baca Juga:

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

Tetapi yang purba itu biasanya menyimpan cerita-cerita abadi yang terus ajaib untuk dikenang hingga kini.

“Anak-anakku, Gusti Allah telah menciptakan kita sebagai menungso, menus-menus kakehan duso,[2]” Asnijah mengawali ceramahnya, yang memang dilakukannya saban malam Jumat usai membersamai para santri melantun rindu pada Nabi.

Beberapa santri putri terkikih lirih demi mendengar yang baru saja dikatakan Sang Bunyai.

“Semua manusia itu sama di hadapan Gusti Allah. Tiap orang berhak menjadi siapa saja yang mereka kehendaki. Batin kita lah yang membedakan antara kita dengan yang lainnya,” lanjutnya.

Para santri tampak khusyuk menyimak.

“Ada satu kisah tentang Mbah Hasanah, perempuan sederhana yang sesungguhnya menyimpan pendar cahaya, orang-orang mungkin menganggap beliau hanya istri dari pendiri pesantren ini. Tapi beliau lebih dari itu,” sembari berkisah itu, mata Bunyai memancarkan keteduhan dan kangen yang berkepanjangan.

Kilatan memori ketika ia masih kecil dan membantu Mbah Hasanah, ibunya, berjualan di pasar ketika masih bocah, pun berkelebatan dalam kepala.

—

“Mak’e! Mak’e!” Asnijah muda menarik-narik ujung baju ibunya yang tengah mencuci piring dan mangkok yang baru dipakai pembeli-pembeli di warung soto miliknya. Hasanah lantas menolehkan wajah pada putrinya.

“Ada apa, Nduk?”

“Tadi aku lihat Lek Sarwono mengambil sepotong perkedel, tapi pas bayar ke Mak’e, dia bilang hanya makan soto saja satu mangkok.”

“Oh itu. Mak’e tahu.”

“Kenapa Mak’e diam saja? Tidak menegurnya?”

“Sudahlah, Nduk. Uang bisa kita cari, tapi kalau kita menegurnya, Lek Sarwono nanti malu sama kita, bisa jadi dia sakit hati nantinya.”

Berkali-kali sudah percakapan yang mirip semacam itu terjadi antara Asnijah kecil dengan ibunya. Hingga percakapan itu tak lagi terjadi sejak Hasanah meninggal dunia, bahkan ketika Asnijah belum genap lima belas tahun usianya.

—-

Kilatan yang lain bermunculan bagai puzzle yang menyatukan keping-keping pada tubuh mereka sendiri. Memberikan kenangan dan tafsir baru atas apa-apa yang telah terjadi. Asnijah ingat percakapan ibunya dengan ayahnya jauh ketika ibunya belum tiada.

—

“Dik, di kampung kita belum ada surau dan tempat untuk orang-orang mengaji, aku pengin membangun satu di sini, di rumah kita.”

“Itu sungguh mulia, Mas.”

“Kita harus berjuang bersama, Dik.”

“Tentu, Mas”

“Menurutmu bagaimana?”

“Njenengan mulailah membuka pintu rumah kita untuk orang-orang yang hendak belajar mengaji. Aku akan tetap berjualan seperti biasanya. Siapa tahu, rejeki berkenan bertamu. Lagipula, Mas, mulang ngaji[3] itu jauh lebih utama ketimbang gebyoknya.”

Asnijah kecil mendengar pembicaraan itu, sejak itu ia menyaksikan rumah yang biasanya hanya memantulkan suara mengaji dari penghuninya saja, perlahan-lahan kian ramai dengan orang-orang yang berdatangan untuk mengaji pada ayahnya.

Tetapi ia juga menyaksikan bagaimana ibunya tertunduk khusyuk saban sepertiga, lalu tak tidur lagi hingga subuh menjelang, bahkan sampai siang dan sore membayang. Tangan ibunya tak pernah beristirahat dari menumbuk kentang, memilin-milinnya sebagai gumpalan, lantas menggorengnya menjadi perkedel, juga bahan-bahan lain untuk berdagang.

Dalam soal berjualan dan berpenghidupan sehari-hari, tak pernah Asnijah kecil melihat ibunya terlibat seteru dengan orang lain. Hasanah selalu bersikap penuh kehati-hatian dalam menjaga perasaan orang lain.

Asnijah melihat ayahnya sebagai begawan agama yang mengajarinya ayat-ayat Gusti. Sedang pada ibunya, ia melihat pantulan cahaya Gusti itu sendiri.

—

“Begitulah, pesantren ini berdiri bukan saja karena niat dan kegigihan Mbah Tohari sang pendiri, tetapi juga lantaran Mbah Hasanah, sufi wedhok yang mampu menahan dirinya sendiri, bukan saja dari hal-hal duniawi, tetapi juga menahan dari kehendak ego dan lisan untuk menyakiti,” Asnijah menutup kisahnya.

“Berarti perempuan boleh juga jadi seorang sufi nggeh, Bunyai?” seorang santri bertanya. Asnijah memang selalu membuka percakapan dengan para santrinya. Kedekatannya dengan santri bak seperti dengan anak-anaknya sendiri.

“Tentu saja, Nduk. perempuan sufi itu ada, tidak selalu mereka yang ilmunya tinggi dan bergelar priyayi. Cahaya kesufian itu bisa muncul dari siapa saja, dari tempat mana saja, dalam laku-laku yang sungguh sederhana,” jelasnya.

Para santri mengangguk, meski sebagian kepala tertunduk-tunduk lantaran mengantuk.

Asnijah tersenyum menatapi yang terkantuk-kantuk, ia  tergerak untuk mendekat, diambilnya sendok yang semula menjadi alat musik instrumen seadanya, disentuhkannya ujung sendok pada pundak salah satu santrinya. Mbak santri terhenyak sedikit kaget. Mendongak nyengir malu menatap gurunya itu.

“Hayoo. Kalau hendak menjadi seorang sufi, jangan ngantukan kalau sedang mengaji!”


[1] Salah satu kitab berisi syair tentang biografi Nabi, biasanya dilantunkan dengan nada berirama

[2] Makhluk yang gemar berbuat dosa

[3] Mengajar

Amar Alfikar

Amar Alfikar

Terkait Posts

Kapan Menikah

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

29 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir Bagian II

15 Juni 2025
Abah dan Azizah

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

8 Juni 2025
Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID