• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Melawan Catcalling dengan Elegansi ala Ning Sheila Hasina

Semua orang berhak mendapatkan perlakuan baik dan tidak harus menjadi korban catcalling atau pelecehan verbal

Ade Rosi Siti Zakiah Ade Rosi Siti Zakiah
29/09/2023
in Personal, Rekomendasi
0
Ning Sheila Hasina

Ning Sheila Hasina

903
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Dalam video berdurasi kurang lebih 4 menit, Ning Sheila Hasina, seorang influencer dari Lirboyo, menjawab pertanyaan terkait bagaimana jika kita mendapatkan pelecehan seksual berupa catcalling?

Mubadalah.id – Masih banyak orang yang salah paham dan menyepelekan tindakan catcalling. Terkadang catcalling dianggap sebagai bentuk pujian, padahal termasuk tindakan kekerasan. Catcalling merupakan bentuk pelecehan verbal yang tidak pantas, karena seringkali menciptakan ketidaknyaman, perasaan tidak aman, dan dampak psikologi pada korban.

Catcalling sering terjadi pada seseorang yang lewat di jalan atau berada di tempat umum, terutama pada anak-anak atau perempuan. Biasanya, hal yang mendasari tindakan atau perilaku ini adalah karena dorongan seksual.

Perlakuan catcalling bisa berupa komentar kasar, ucapan tidak sopan, atau tindakan yang merendahkan, meresahkan, memalukan, bahkan melecehkan korban. Sehingga korban merasa terganggu, takut, marah, atau terhina. Ini tentu menjadi masalah serius yang dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk di pesantren, tempat tinggal yang seharusnya diisi dengan nilai-nilai etika dan agama yang tinggi.

Tidak hanya meresahkan, catcalling juga merupakan tindakan yang melanggar hak-hak dasar tiap orang untuk merasa aman ketika berada tempat umum. Bahkan, orang melakukan tindakan ini bisa mendapat hukuman pidana, apabila ia telah memenuhi unsur pidana Pasal 281 KUHP.

Pasal 281 KUHP menyatakan bahwa: “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah: Ke-1 Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; Ayat ke-2 Barangsiapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada disitu bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan”.

Baca Juga:

Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

Bentuk Catcalling di Lingkungan Pesantren

Perlakukan catcalling masih bisa terjadi di lingkungan pesantren, siapapun pelakunya. Baik santri putri, santri putra, pengajar, maupun pihak lain yang berada di lingkungan tersebut. Umumnya mereka tidak mengenal dengan cermat tindakan apa saja yang termasuk pelecehan, lantaran sudah menganggapnya wajar.

“Kalau bersiul, memandang, atau berguyon seksis, itu di pesantren belum termasuk pada ranah pelecehan seksual.” Ungkap salah seorang santri yang berada di pesantren.

Padahal, perilaku-perilaku tersebut tidak pantas dan tidak dapat dibenarkan. Karena telah melanggar hak asasi manusia, norma etika, dan hukum yang melindungi tiap orang dari perlakuan yang merendahkan dan merugikan secara seksual.

Ada beberapa bentuk catcalling yang sering terjadi di lingkungan pesantren. Di antaranya, whistling atau bersiul. Ini biasanya dilakukan oleh santri putra kepada santri putri. Saat ada santri putri yang lewat, mereka spontan bersiul. Atau sebaliknya, santri putri yang menggoda dengan teriakan mereka saat santri putra lewat.

Siapapun yang berada di pesantren, kerap kali melontarkan berbagai bentuk komentar. Misalnya, komentar yang bersifat seksual, komentar tidak senonoh atau kasar, dan pujian yang melecehkan.  Semuanya bertujuan untuk merendahkan. Seperti komentar untuk meledek penampilan fisik, pakaian, atau penampilan satu sama lain.

Saat melakukan catcalling, pelaku terkadang menggunakan ekspresi wajah atau gestur yang tidak pantas. Seperti melirik, mengedipkan mata, atau membuat gerakan tubuh yang tidak senonoh. Hal ini cenderung membuat tidak nyaman korban.

Langkah Paling Baik Menyikapi Catcalling ala Ning Sheila Hasina

Akun media sosial instagram @majttv milik Masjid Agung Jawa Tengah Semarang pernah mengunggah video reels dengan caption “Langkah Paling Baik Menyikapi Catcalling”. Dalam video berdurasi kurang lebih 4 menit, Ning Sheila Hasina, seorang influencer dari Lirboyo, menjawab pertanyaan terkait bagaimana jika kita mendapatkan pelecehan seksual berupa catcalling?

Ning Sheila mengawali jawabannya dengan membacakan dua potong ayat, yaitu surat Al-Furqon ayat 63.

وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا…

“……dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”

Dan, akhir surat Al-A’raf ayat 199.

وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ…..

“….serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

Menurutnya, langkah paling baik ketika kita mendapatkan catcalling, ialah dengan membiarkan pelaku dan tidak perlu mengurusi perbuatan mereka. Biarkan saja mereka melakukan hal itu. Karena jika mereka menggoda, maka dosanya cukup untuk mereka saja.

Kita tidak perlu menanggapinya, terkecuali jika pelaku memberikan gerakan yang mengarah pada pelecehan seksual, apalagi lebih dari itu. Maka, kita harus mengambil tindakan sebagai perlawanan. Kita boleh menjaga diri dan menjaga kehormatan. Karena Islam juga memperbolehkan.

Kita juga boleh mengatakan “tidak” dan bertindak lebih tegas. Tidak masalah, meskipun akhirnya mereka menganggap kita orang yang galak, atau bahkan orang yang sombong. Karena sombong dengan tujuan untuk menjaga harga diri kita sendiri. Tidak akan berefek apapun, meskipun mereka yang melakukan catcalling menganggap kita sebagai orang sombong. Dari pada kita terus menerus mendapatkan catcalling.

Ning Sheila mengatakan bahwa perlakukan catcalling sangat banyak terjadi di pesantren. Apalagi jika ada satu Mbak Santri yang lewat ke depan Kakang Santri, sudah menjadi hal wajar jika mendapat siulan. “kiww kiwww, cewek”, “kiww kiww, Mbak cantikk”, “Mbak cantik, mau kemana nih, Kakang temenin yaa?”.

Semua orang berpotensi mendapatkan catcalling, baik orang yang masih muda maupun sudah tua. Dalam penjelasannya, Ning Sheila memberikan contoh catcalling yang terjadi pada seorang Bu Nyai sepuh. Sehingga Bu Nyai merasa dirinya telah direndahkan. Perlakukan yang ia terima sangat tidak sopan dan tidak pantas.

Catcalling Bukan Bahan Candaan

Jawaban yang telah Ning Sheila Hasina paparkan, memberikan solusi agar kita lebih berhati-hati dalam menghadapi tindakan catcalling. Jika tindakan tersebut menimpa kita, maka bersikaplah lebih tegas, demi menjaga harga diri dan kehormatan.

Kita perlu ingat dan sadar, bahwa catcalling bukan lagi bahan candaan, catcalling bukanlah tindakan yang “memuji”, melainkan tindakan yang merendahkan dan tidak sopan. Tindakan ini mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap orang lain. Karena telah membuat orang lain merasa tidak aman, tidak nyaman, dan terganggu.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berani menegur pelaku catcalling. Bahkan, jika lebih dari itu, maka kita perlu melaporkannya. Apabila kita tidak memiliki keberanian melakukan hal tersebut, maka mintalah bantuan pada orang lain yang bisa kita percayai untuk menegur dan melaporkannya.

Semua orang berhak mendapatkan perlakuan baik dan tidak harus menjadi korban catcalling atau pelecehan verbal. Hak-hak dasar kemanusiaan, seperti rasa aman, rasa hormat, dan perlakuan yang adil seharusnya diberikan kepada setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, usia, ras, agama, latar belakang, dan lainnya. []

Tags: CatcallingKekerasan Berbasis GenderNing Sheila Hasinapelecehan seksualperempuan
Ade Rosi Siti Zakiah

Ade Rosi Siti Zakiah

Mahasiswi Magister Studi Islam, Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini, sedang mengabdi di Pondok Pesantren Imam Ad-Damanhuri, Kota Malang.

Terkait Posts

Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Life After Graduated

    Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kuasa Suami atas Tubuh Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berkeluarga adalah Sarana Menjaga Martabat dan Kehormatan Manusia
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih
  • Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya
  • Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID