Mubadalah.id – Ada saripati penting yang disampaikan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, pada acara Khatimil Qur’an dan Juz ‘Amma di Pondok Pesantren KHAS Putri Kempek Cirebon, pada Sabtu, 23 September 2023 lalu. Yakni tentang kontekstualisasi pesantren.
Menurutnya, pesantren perlu mengevaluasi, -atau paling tidak- memperkuat sistem pembelajarannya agar lebih berkesesuaian dan terus mampu menjawab konteks serta kebutuhan masyarakat modern sekarang ini.
Sosok yang akrab kita sapa Kiai Said itu menyebut terdapat tiga variabel yang mesti kita perkokoh dalam dunia pesantren. Terutama dari segi penyajian kurikulum atau seri penyampaian materi pembelajaran. Pertama, manhajut taklim (metode pengajaran), manhajut tadris (pola pengajaran), dan ketiga manhajut takdib (fokus pengajaran).
Tiga Sasaran
Pertama, kita membutuhkan terobosan yang berani dalam memperkuat sisi manhajut taklim. Pesantren, harus tetap berdiri dengan daya tawarnya yang berkiblat pada pengajaran klasik, seperti pembelajaran langsung oleh para ustaz dan kiai. Akan tetapi, sejalan dengan itu, pesantren juga harus benar-benar bisa memastikan para santrinya memahami betul substansi pelajaran yang telah tersampaikan di kelas-kelas atau madrasah.
Para santri, tidak hanya kita bentuk agar cakap dengan bermodal hafalan. Tetapi juga harus punya kemampuan menalar dengan kritis terhadap setiap persoalan lapangan yang dinilai bersentuhan langsung dengan teori-teori yang selama ini telah mereka dapatkan.
Kedua, memperkuat sisi manhajut tadris. Pesantren harus bisa terus menguatkan sisi pengajaran yang dialogis dan mandiri. Selain itu, penguatan sisi ini juga mesti kita isi dengan penyajian pelajaran yang lebih bersifat tematik. Lewat pola ini, para santri kita berikan kemerdekaan dan keleluasaan untuk membedah persoalan-persoalan sosial dengan menggunakan pisau bedah keagamaan yang mereka dapatkan selama di pesantren.
Di dalam ruang ini, para santri kita dorong untuk bisa memecahkan masalah secara faktual, ilmiah, logis, dan kontekstual. Para santri bisa menggunakan alat-alat keilmuan mulai dari nahu-saraf, ushul fikih, mantiq, maupun perangkat lain yang telah mereka dapatkan guna memecahkan satu persoalan yang ditemukan di tengah masyarakat.
Dalam tahap ini, para kiai dan ustaz hanya berposisi sebagai pembimbing atau teman belajar demi menguatkan jawaban yang akan mereka dapatkan.
Ketiga, memproyeksikan manhajut takdib. Pesantren harus mulai menetapkan konsenstrasi keilmuan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kecenderungan yang para santri miliki. Pola ini mirip dengan sistem penjurusan. Tujuannya agar pesantren bisa menghasilkan lulusan yang kian matang dan siap mencurahkan pengabdiannya di tengah masyarakat.
Yang Berbeda dari Dulu dan Kini
Dalam penjelasannya itu, Kiai Said begitu yakin bahwa pola-pola penguatan tersebut sangat cocok dan ideal bagi generasi Muslim hari ini. Para santri yang mayoritas generasi Z dirasa perlu kita berikan keleluasaan dalam belajar dan berpikir. Tetapi tetap dalam naungan norma, akhlak, dan sistem keteladanan yang luhur dalam dunia pesantren.
Umat Islam sangat beruntung dengan kehadiran generasi muda yang dalam banyak penelitian disebut memiliki nalar kritis yang tinggi. Selain itu mempunyai keinginan untuk mandiri secara lebih kuat. Belum lagi, usia-usia pelajar cenderung terus tumbuh dengan kapasitas kecerdasan dan rasa keingin-tahuannya yang begitu tinggi.
Di sisi lain, Kiai Said menyebut dunia modern membatasi tradisi keilmuan hari ini tidak seperti apa yang tumbuh dan terjadi di masa klasik. Di masa lalu, satu orang ulama mampu menguasai beragam cabang keilmuan.
Contohnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau yang masyhur dengan nama Imam Al-Ghazali. Di mana ia tercatat sebagai ahli dalam bidang fikih, ushul fikih, tasawuf, filsafat, dan banyak cabang keilmuan lainnya.
Oleh karena itu, selain membutuhkan pemfokusan dalam penyajian keilmuan, menurut pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Jakarta itu juga kita membutuhkan satu tambahan terobosan sekaligus penguatan dalam manhajut tarbiyah. Dengan pola ini, para santri harus lebih ditekankan dalam kematangan sisi spiritualitas. Selayaknya para ulama terdahulu, kealiman mereka akan beriringan dengan tingkat kesalehan yang juga matang.
Kelahiran Ulama Tafsir Al-Qur’an
Dalam kasus ini, Kiai Said mengutip QS. Ali Imran: 7. Allah Swt berfirman:
هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dialah (Allah) yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat,84) itulah pokok-pokok isi Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari Tuhan kami.’ Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ululalbab.”
Ayat inilah, menurut Kiai Said, yang mendorong kelahiran para ulama tafsir Al-Qur’an dengan tingkat keilmuan di atas keumuman. Mereka, tidak hanya mendapatkan karunia kecerdasan, akan tetapi juga dikaruniai bimbingan langsung oleh Allah Swt karena memiliki tingkat ketaatan yang penuh sebagaimana sejatinya seorang hamba.
Membumikan Pesantren
Terakhir, dari sisi para pengajar, pesantren juga perlu memperbaharui dan mengembangkan bahasa pengantar dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Istilah-istilah yang terdapat dalam pelajaran fikih. Misalnya, butuh terus kita sesuaikan dengan kelaziman sebutan yang kita kenal hari ini. Hal ini bertujuan agar apa-apa yang tersampaikan dari dunia pesantren bisa betul-betul membumi dan berkesesuaian dengan konteks di masa kini.
Ketika membacakan kitab Fath al-Qarib, misalnya, Kiai Said menekankan agar para ustaz dan kiai meremajakan kembali istilah-istilah yang sudah terlampau lama kita adopsi. Tetapi sebutan itu sudah tercerabut oleh perubahan zaman.
Para kiai harus berani menyebut faslun fi hiwalah (pasal pemindahan utang) dengan letter of credit. Bukan lagi dengan kata “ligeran” dalam bahasa Jawa klasik. Begitu juga dengan akad salam sebagai bab yang menerangkan dengan sistem indent, atau pasal musyarakah dengan istilah profit sharing.
Dengan pola-pola pembaruan itu, Kiai Said yakin, bahwa hukum Islam akan terus membumi dan berkesesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, para santri dan jebolan pesantren akan menjadi sosok-sosok yang siap pakai di masyarakat tanpa rasa minder, apalagi gagap. []